Salin Artikel

Diduga Robek Uang dari Perusahaan Tambang, 3 Warga Makassar Diperiksa Polisi

Direktur Ditpolairud Polda Sulawesi Selatan Kombes Hery Wiyanto mengatakan, ketiga warga tersebut diperiksa setelah pada pemanggilan pertama tidak memenuhi panggilan.

Ketiganya diperiksa terkait dugaan tindak pidana perusakan mata uang.

"Kemarin kita sudah melayangkan beberapa waktu yang lalu surat panggilan kepada warga masyarakat Kodingareng terkait tindak pidana yang terjadi yaitu perusakan uang rupiah asli," kata Hery saat diwawancara wartawan di kantornya, Senin siang.

Hery mengatakan, kasus perobekan uang itu bermula ketika PT B yang menambang pasir untuk penimbunan di proyek Makassar New Port memberikan amplop berisi uang kepada sebagian warga Kodingareng sebagai upah survei lokasi pengerukan pasir.

Namun, warga yang tidak setuju dengan pengerukan pasir di wilayah tangkap ikan mereka dan melihat pemberian upah tersebut langsung menggagalkan pemberian uang itu dan merobek amplop yang berisikan uang.

"Setelah kita lakukan penyelidikan dan kita kembangkan, kita dapatkan juga uang yang dirobek kemudian kita melakukan pemeriksaan juga di BI, bahwa itu merupakan uang murni sebanyak lima lembar yang sudah rusak," imbuh Hery.

Diungkapkan Hery, petambangan pasir tersebut memang membuat perselisihan antara warga  yang berprofesi nelayan dengan perusahaan petambang pasir.

petambangan tersebut dilakukan PT B, dari lokasi Copong yang jaraknya sekitar 8 mil dari Pulau Kodingareng.

Namun Hery memastikan kasus perusakan uang tersebut diusut polisi bukan dari laporan pihak perusahaan.


Polisi menggunakan laporan model A berdasarkan video perobekan uang itu yang tersebar di media sosial Facebook.

Perobekan itu kata Hery termaktub dalam Pasal 257 UU Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang.

"(Perobekan uang) masih di amplop, tapi dia pasti tahu bahwa di dalam amplop itu isinya adalah uang karena itu merupakan upah dari masyarakat yang ikut melaksanakan survei," ujar Hery.

Sementara itu Direktur WALHI Sulsel Muhammad Al Amin mengatakan pemeriksaan ketiga warga yang diduga merobek itu merupakan upaya kriminalisasi nelayan yang selama ini menolak petambangan pasir laut.

Al Amin mengungkapkan, awalnya beberapa warga Kodingareng memang diajak oleh perusahaan untuk datang mengikuti survei.

Pasalnya, perusahaan tersebut disinyalir hendak menggeser wilayah tambang mereka.

Namun nyatanya perusahaan itu, kata Amin, tidak berkeinginan untuk memindahkan wilayah tambang.

"Nelayan yang hadir mengikuti survei itu kemudian diberikan amplop dari perusahaan. Amplop itu ternyata bagi masyarakat itu bagian dari gratifikasi atau sogokan. Menurut masyarakat amplop itu sogokan yang tidak layak diambil oleh masyarakat," kata Amin.

Para warga yang mayoritas nelayan itu sebelumnya juga sudah menggelar musyawarah nelayan dengan keputusan tidak menerima amplop dari pihak perusahaan.

Dia menepis bila aksi warga itu untuk melecehkan atau merendahkan mata uang negara.

"Jadi ada sebab yang mengapa kemudian nelayan atau warga melakukan perusakan amplop karena amplop tersebut berasal dari perusahaan," kata Al Amin.

Pemeriksaan tiga warga Kodingareng itu selain didampingi WALHI juga dihadiri oleh puluhan ibu-ibu dari Pulau Kodingareng yang membawa spanduk penolakan terhadap tambang pasir yang menurutnya mengancam ekosistem laut serta pulau itu sendiri. 

Mereka menolak upaya hukum kepolisian dan menunut polisi menghentikan upaya kriminalisasi nelayan yang ingin menyelamatkan ekosistem laut di wilayah tempat tinggalnya itu.

"Teman-teman ada di sini untuk memberikan support bahwa apa yang disangkakan, apa yang didugakan kepada nelayan di Pulau Kodingareng itu tidak benar. Ini adalah bagian dari skenario Boskalis untuk melemahkan gerakan masyarakat atau nelayan serta perempuan di Pulau Kodingareng," sebut Al Amin. 

https://regional.kompas.com/read/2020/08/03/16114281/diduga-robek-uang-dari-perusahaan-tambang-3-warga-makassar-diperiksa-polisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke