Salin Artikel

Sanksi Menyanyi dan Rencana Denda untuk Warga yang Tak Pakai Masker, Apakah Efektif?

Kini Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyiapkan sanksi denda hingga Rp150.000. Apakah akan efektif?

Pemprov Jawa Barat dan Jawa Timur mulai akhir Juli memberikan sanksi adminstrasi bagi warganya yang tidak mengenakan masker di tempat umum, guna menekan penyebaran Covid-19.

Sampai Selasa (14/7/2020), Jawa Timur masih berada di urutan pertama dengan jumlah kasus terbesar, sementara Jawa Barat berada di urutan kelima, menurut data gugus tugas penanganan Covid-19.

Warga di Jawa Barat yang diketahui tidak mengenakan masker di tempat umum, terutama di pusat-pusat keramaian, akan didenda antara Rp100.000 dan Rp150.000 mulai akhir Juli, ujar seorang pejabat.

Sementara, Pemprov Jawa Timur menyatakan pihaknya dan DPRD sedang menyiapkan peraturan daerah yang isinya antara lain mengatur tentang sanksi bagi warganya yang tidak mengenakan masker di tempat umum.

Sanksi ini akan diberlakukan pada dua provinsi itu karena masih ditemukan sebagian warganya enggan mengenakan masker di tempat umum.

Dua orang pakar kesehatan menyambut baik rencana pemberian sanksi ini, namun salah seorang di antaranya tidak terlalu yakin peraturan itu akan berjalan efektif.

Sanksi ini diterapkan di tengah adaptasi kebiasaan baru (AKB) yang diberlakukan di Provinsi Jabar sejak awal Juni lalu.

"Wacananya dengan pergub (peraturan gubernur), tapi masih dalam kajian tim ahli, termasuk oleh kejaksaan tinggi," kata Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid 19 Jabara, Berli Hamdani, di Bandung, Selasa (14/7/2020).

Disebutkan bagi warga yang ketahuan tidak mengenakan masker di tempat umum, terutama di pusat-pusat keramaian, akan didenda antara Rp 100.000 hingga Rp 150.000.

Menurut Berli, mekanisme pembayaran denda akan menggunakan fitur pada aplikasi Pusat Informasi dan Koordinasi Covid 19 Jawa Barat (Pikobar).

"Warga di seluruh Jawa Barat akan diminta mengunduh Pikobar. Setiap kali ada pelanggaran, mekanismenya dilakukan melalui Pikobar, dan (uang denda) langsung masuk ke kas daerah," jelas Berli.

Dalam aturan itu, denda bisa diganti sanksi kurungan atau kerja sosial.

Kendati demikian, ada pengecualian bagi warga yang sedang pidato, sedang berolahraga kardio tinggi, mengkonsumsi makanan, serta swafoto, dibolehkan untuk melepaskan maskernya, sementara waktu hingga kegiatannya selesai.

Dalam jumpa pers Senin (13/72020), Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengatakan pihaknya memberikan sanksi denda, karena "masih banyak" warga yang mengabaikan aturan memakai masker di tempat umum.

"Karena kita monitor dan laporan dari Kapolda [Jabar], orang sudah cuek tidak mengenakan masker di tempat umum," kata Ridwan Kamil.

"Maka opsi ketiga setelah edukasi dan teguran, masuk [penerapan] denda yang akan kita lakukan dan pilihannya, kalau tidak bisa membayar denda, salah satu opsinya adalah kurungan atau kerja sosial yang finalisasi [aturan]nya akan dikerjakan oleh pak kajati (kepala kejaksaan tinggi)," jelasnya.

Salah seorang warga yang berada di sekitar Pasar Kiaracondong, Yudi Setiawan, mengaku lupa mengenakan masker.

"Ketinggalan," aku pria 31 tahun itu.

Walaupun begitu, Yudi menyatakan setuju jika denda diberlakukan bagi warga yang tidak memakai masker di tempat umum.

"Kalau menurut saya sih memang harus didenda kayak gitu, biar penyebarannya nggak terlalu [meluas], karena lihat sekarang makin bertambah kasusnya.

"Untuk mengatasinya yah jaga kebersihan, jaga jarak gitu, kalau pemerintah, saya ikut aja [aturan pemerintah]," ujarnya.

Sementara, seorang pedagang sayur keliling, Alis Rosnawati, mengaku sebagian besar penjual di pasar tradisional tidak memakai masker, begitu pula para pembeli.

Hal ini dia saksikan di Pasar Caringin, Bandung, yang setiap hari dia kunjungi.

Menurut Alis, para penjual enggan memakai masker karena "sulit bernapas".

Dengan denda hingga Rp 150.000, menurutnya, akan membuat warga mematuhi aturan tersebut.

"Cukup sih (denda sebesar itu), karena memang kalau orang yang mengerti nggak usah didenda atau disuruh-suruh, mereka memakai masker dengan kesadaran sendiri."

"Tapi, bagi orang yang di pasar itu duit Rp 100.000 atau Rp 150.000 itu besar bagi mereka dan itu mungkin cukup buat mereka takut kehilangan uang itu, sehingga mereka bisa memakai masker," kata warga Kelurahan Jatisari, Bandung ini.

Namun, menurut Alis, denda saja tidak cukup, tapi harus diikuti "pengawasan".

"Sebenarnya sanksi ini kalau mau disiplin harus ada pengawasan, misalnya dari Satpol PP yang turun ke pasar-pasar. Jadi percuma kalau pengumuman saja, karena mereka juga tidak akan menghiraukan, kalau tidak ada pengawasan langsung," kata Alis.

Namun ibu dua putra ini menyatakan tidak setuju dengan besaran denda hingga Rp 150.000.

Menurutnya, lebih tepat jika sanksi yang diberikan berupa hukuman sosial..

"Lebih baik pakai sanksi sosial saja, seperti push up, sapu jalan, squat jump, terus pakai rompi bertuliskan pelanggar protokol kesehatan Covid 19," kata Popi.

Sementara warga bernama Firmansyah menyatakan setuju dan tidak setuju diberlakukan denda.

Ia menjelaskan, setuju bila diterapkan di wilayah yang masih tinggi kasus positfi Covid 19, dan tidak setuju bila diterapkan di zona hijau.

"Saya pikir ketika ada zonasi, satu daerah dikategorikan zona merah, hijau, dan sebagainya. Jadi, pemberlakuan itu nggak boleh sama, nggak boleh dipukul rata.

"Mereka yang tergolong kategori masyarakat di zona hijau, saya pikir tidak adil jika harus dikenakan denda yang sama," ujar warga Purwakarta ini.

Firmansyah berpendapat, pemerintah daerah seharusnya lebih menekankan pada pembatasan sosial berupa pengawasan ketat di perbatasan antara daerah yang rawan dengan daerah yang tidak rawan Covid-19.

Pemerintah juga diminta lebih tegas menerapkan aturan protokol kesehatan.

"Dalam hal ini pemerintah kurang begitu tegas, hitung-hitungannya masih kapitalis, bisnis. Jadi sangat longgar pada bisnis, sangat longgar pada yang terkait dengan yang mendatangkan uang.

"Padahal itu bisa jadi sumber dari penyebaran virus corona," katanya.

Dia menyebutkan, ada tiga cara untuk mengubah perilaku, yaitu dibujuk, diberi penghargaan, dan dihukum.

Menurutnya, tidak salah jika pemerintah akan memberlakukan sanksi bagi warga yang tidak memakai masker.

Namun, Deni berpendapat, cara itu tidak akan efektif. "Jadi menurut saya, kalaupun diterapkan (denda) tidak akan efektif karena belum siap mekanismenya maupun regulasinya."

"Lihat di DKI Jakarta, sampai sekarang tidak dijalankan, padahal peraturannya sudah ada. Permasalahannya itu pada sosialisasi," kata Deni kepada wartawan BBC Indonesia di Bandung.

Ia menjelaskan, diseminasi informasi itu hanya memberikan informasi, sedangkan sosialisasi adalah suatu proses yang mengubah perilaku seseorang agar menjadi bagian kehidupan sehari-hari.

Deni memberikan contoh, perilaku masyarakat Jepang yang memakai masker saat sedang sakit influenza agar tidak menulari orang lain.

"Perilaku itu sudah menjadi kebiasaan warga Jepang sejak belasan tahun lalu," ungkapnya.

Supaya berjalan efektif, Deni menyarankan agar pemerintah menggulirkan penggunaan masker dengan titik tekan pada kearifan lokal, yaitu menghormati orang lain.

"Kalau dibilang untuk mencegah supaya tidak sakit, itu bakal banyak penolakan dari orang-orang yang memang tipenya tidak mau.

"Jadi caranya adalah mereka harus bersama-sama [dibangkitkan rasa] melindungi dan menghormati orang lain, ketika mereka pakai masker," paparnya.

"Kita harus punya kerangka konsep. Perubahan perilaku tidak hanya sekedar menegakkan aturan," ujar Ketua Prodi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unpad.

Meskipun demikian, hasil penelitian CEDS Universitas Padjajaran, yang melibatkan dirinya, pada Maret-April lalu, lebih banyak masyarakat yang patuh pada protokol kesehatan ketimbang mayarakat yang tidak patuh, ungkapnya.

Kesimpulan penelitian terhadap 1.465 responden dari kelompok mahasiswa, menurutnya, sebanyak 80% reponden "patuh pada protokol kesehatan, termasuk mengenakan masker", katanya.

Daud sendiri menyadari mengubah perilaku masyarakat itu tidak mudah.

"Mengenai efektif atau tidak efektif, paling tidak menurut kami, kalau sampai terjadi pengenaan denda itu, masyarakat jadi aware (sadar),' katanya.

"Mengubah perilaku tidak mudah. Saya kira sosialisasi kita terus lakukan, tidak berarti pengenaan denda, terus sosialisasi berhenti.

"Denda sebagai salah satu upaya, supaya masyarakat lama-lama bisa sadar. Poinnya adalah pakai masker itu penting. Segala upaya kita lakukan," tambahnya.

Upaya lain yang dilakukan Pemprov Jabar, lanjut Daud, adalah pembagian 10 juta masker untuk masyarakat.

Pemda Jabar juga, kata Daud, terus berupaya melakukan pelacakan dan pengetesan masif sesuai target yang ditetapkan.

Meski diakui Daud, masih ada kendala sumber daya manusia dan keterbatasan alat tes.

Berdasarkan data Pikobar per 14 Juli 2020, kasus terkonfirmasi positif Covid 19 di Jawa Barat berjumlah 5235 kasus, positif aktif berjumlah 3,125, kasus sembuh 1.924, dan meninggal 186 kasus.

Pada Selasa (14/7/2020), Jawa Barat berada di urutan lima provinsi terbanyak kasus positif Covid 19.

"Di situ ada sanksi administrasi, dan bisa didampingi sanksi pidana," kata Heru Tjahjono, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jatim, kepada wartawan BBC Indonesia di Surabaya

Tujuannya, "agar masyarakat disiplin terhadap protokol kesehatan," jelasnya.

Rencananya, revisi dari Peraturan Daerah nomor satu tahun 2029 itu akan disahkan DPRD Jatim pada 27 Juli nanti.

"Dimasukkanlah pasal-pasal yang sifatnya bencana alam, nonalam dan bencana sosial. Di situ ada sanksi administrasi dan sanksi pidana [tentang protokol kesehatan]", ungkap Heru.

Namun demikian, lanjutnya, Pemprov Jatim akan mendahulukan pendekatan persuasif terlebih dahulu.

"Kita akan lakukan sosialisasi terlebih dulu, dan sanksi itu bisa dilakukan apabila sangat, sangat harus dilakukan," tegasnya.

Dia mengklaim Pemprov Jatim terus mensosialisasikan penggunaan masker di tempat-tempat umum.

Hal itu dilakukan, karena menurutnya, belum semua masyarakat memiliki kesadaran mengenakan masker.

Seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia pada Selasa (14/07), masih ada sebagian warga Surabaya tidak mengenakan masker di tempat-tempat umum.

Di pusat perniagaan, seperti pasar tradisional terbesar di Surabaya, Pasar Keputran, juga terlihat sejumlah warga tidak mengenakan masker.

Di beberapa warung kopi, para pelanggannya duduk berdekatan dan di antaranya tidak bermasker.

Arwan, salah-seorang pengunjung warung kopi yang tidak mengenakan masker, mengaku dia mengetahui adanya aturan yang mewajibkan pengenaan masker.

Namun dia mengeklaim "lupa membawa" dari rumah.

"Tadi itu sakjane (sebenarnya) sudah inget, tapi karena lupa yo wis lah daripada balik (ke rumah)," ungkap Arwan.

"Ngerti sebenarnya [kalau ada aturan wajib masker], tapi ada banyak yang masih belum pakai yo kan. Takut enggak takut ya, kalau pakai masker kan lebih aman. Tapi kalau nggak pakai ya jaga jaraklah," elaknya.

Pemkot Surabaya bahkan sudah memberlakukan sanksi sosial kepada para pelanggarnya, di antaranya dengan menyita kartu tanda penduduk (KTP), kata salah-seorang pejabatnya.

"Kita tahan KTP-nya selama 14 hari, dan nantinya bisa diambil di Satpol PP, sambil buat pernyataan untuk taat protokol kesehatan," kata Eddy Christijanto, Koordinator Bidang Pengamanan dan Penegakan Hukum Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Pemkot Surabaya.

"KTP yang kita sita sampai 5 Juli sekitar 270 KTP," katanya. "Terus sanksi lainnya, menyapu di jalan, itu 156 (kasus). Terus yang kita bawa ke Liponsos untuk kerja sosial ada 102 orang."

"Yang lain-lain, [kita] suruh push-up, suruh nyanyi itu sekitar ada 254 [orang].

"Itu kita akan lakukan sampai tidak ada pandemi," tambah Eddy Christijanto.

Dia mengeklaim pemberian sanksi seperti itu, disertai sosialisasi terus-menerus, membuat kepatuhan warga Surabaya agar mengenakan masker "sudah mulai membaik".

"Kesadaran mulai tumbuh," kata Eddy.

"Kalau ada perdanya, akan ada law enforcement (penegakan hukum). Artinya ada sanksi. Kalau sekarang baru sebatas imbauan," kata Laura kepada wartawan di Surabaya, Roni Fauzan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Namun demikian, Laura mengingatkan, penggunaan masker saja tidak cukup untuk membentengi dari potensi penularan Covid-19.

"Dengan penggunaan masker saja, ya tidak cukup. [Harusnya] kombinasi jaga jarak, perilaku hidup sehat, seperti cuci tangan, itu baru bisa menurunkan peluang kita tertular," ujarnya.

Laura juga mengingatkan, masyarakat harus memahami kualitas masker.

Idealnya adalah memakai masker bedah, tetapi apabila dalam kondisi sehat, warga dapat mengenakan masker kain di tempat umum.

"Ada beberapa penelitian yang menyebutkan material dari kain memang berhasil secara efektif melindungi penyebaran dari Covid", papar Laura.

"Tapi jangan kenakan masker kain yang tipis," ujarnya. Jika bahannya tipis, dia menyarankan agar mengenakan dua rangkap.

https://regional.kompas.com/read/2020/07/17/06160061/sanksi-menyanyi-dan-rencana-denda-untuk-warga-yang-tak-pakai-masker-apakah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke