Salin Artikel

Perjuangan Paramita Jalani Hidup Pascagempa Palu, Lumpuh Separuh Badan dan Andalkan Suami

PALU, KOMPAS.com - Rumah kos di bilangan Jalan Sungai Manonda, Lorong Syukur, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah tampak lengang.

Waktu saat itu tengah menunjukkan pukul 14.00 Waktu Indonesia Tengah. Para penghuni kos memilih untuk berdiam di dalam rumah,  untuk ngaso.

Tak terkecuali Paramita (29), seorang ibu rumah tangga dengan dua anak.

Saat KOMPAS.com bertandang  ke rumahnya, ia tengah berbaring di kamarnya.

Ia tak bisa bangun kalau tak dibantu. Bencana alam yang terjadi 28 September 2018 silam menjadi mimpi buruk buat Paramita.

Setengah badannya, dari pinggul hingga kaki lumpuh. Saat gempa terjadi, Mita berusaha lari keluar. Namun, tembok kamar roboh dan menimpa setengah badannya.

"Saya teriak minta tolong, untung ada tetangga yang mencoba membantu mengeluarkan saya dari reruntuhan tembok kamar," tutur Mita, Rabu (1/7/2020).

Sejurus kemudian dia terdiam, matanya berkaca kala mengingat peristiwa itu. Tak mudah menghapus kenangan buruk yang dialaminya. Namun dengan tegar ia terus bertutur.

Kala itu, Jumat 28 September 2018, saat adzan Magrib berkumandang, tiba-tiba lantai yang dipijaknya bergoyang hebat.

Dengan sekuat tenaga ia berusaha lari keluar rumah bersama dua buah hatinya Mohammad Agung  dan Lutfia. Saat peristiwa itu terjadi Agung berusia 5 tahun, dan adiknya,Lutfia baru berusia 4 tahun.

Saat hendak  lari keluar rumah, ia sempat tertahan di ruang keluarga. Brakkkkk…. Tiba-tiba dinding kamar  di BTN Puskud, Kelurahan Palupi, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, yang dtinggalinya runtuh mengenai dirinya. Panik, takut semuanya beradu saat itu.

"Tolong...tolong...tolong…" teriakan Mita didengar tetangganya.

Ia tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya.  Ia kemudian dibawa ke lapangan Doyota Puskud.

"Saya tidak pingsan, saya sadar saat dibawa ke lapangan, tapi…(Mita menarik nafas panjang) saya tidak merasakan lagi kaki hingga pinggul saya. Saya melihat darah begitu banyak, tapi saya tidak merasa sakit," tuturnya.

Selain bagian pinggul ke bawah, lengan sebelah kiri Mita juga patah.  

Saat peristiwa itu terjadi, suami Mita, Abdul Gafur (32) tidak sedang berada di Palu.

"Suami saya di Kalimantan kerja sopir,  bawa oto," katanya.

Kondisi Mita yang parah, terpaksa harus dirujuk ke Makassar, Sulawesi Selatan.  Ia baru bisa bertemu dengan suami tercinta, ketika dirawat di Makassar.

"Nanti sudah satu minggu di Makassar baru suamiku datang," katanya.

Namun, ia bersyukur Allah masih memberi kesempatan kedua terhadap dirinya untuk hidup. Ia juga bersyukur diberi suami yang sabar untuk mengurusi dirinya.

Gafur menggantikan peran Mita

Singkat cerita, mereka akhirnya kembali ke Palu ketika kondisi kesehatan Mita membaik. Pen atau implan untuk menyangga tulang yang patah di lengan kirinya sudah dilepas.

Namun, Mita harus menggunakan kursi roda. Sudah hampir dua tahun pasca gempa, kursi roda menjadi pengganti kakinya yang lumpuh.

Aktivitas Mita berubah total. Ia merasa dirinya tak berguna karena kondisinya. Ia tak bisa lagi memasak di dapur, mencuci, dan segala aktivitas lainnya seperti dulu.

Namun, Mita beruntung ada Abdul Gafur, suaminya  yang kini menjadi tumpuan hidupnya. Selalu memberi semangat, ketika dia mulai putus asa. Dan ada keluarganya yang selalu mendukung dia.

Gafur, begitu pria ini disapa. Orangnya ramah, sederhana dan nrimo. Karena kondisi istrinya, ia pun rela menggantikan peran istrinya di dapur.

Karena kondisi istrinya yang lumpuh, ia juga yang harus  menggantikan popok istrinya, memandikan sampai harus mengganti pembalut ketika sang istri datang bulan.

Termasuk mengurus dua buah hatinya yang masih bocah, sebelum ia berangkat kerja menjadi buruh bangunan.

"Saya sudah bangun dari jam 5 subuh. Memasak dulu saya, kalau sudah kelar semua di rumah  baru saya berangkat kerja," kata Gafur lirih.

Dari raut wajahnya terlihat lelah yang amat sangat. Namun, Gafur tak menampakannya. Sebagai buruh bangunan pendapatan Gafur tak seberapa.

Kalau ada pekerjaan per hari upahnya Rp 80 ribu. Kadang dalam seminggu ia bisa membawa pulang uang sebesar Rp 500 ribu.

"Kalau lagi sepi pekerjaan  terpaksa saya menganggur, tapi kadang ada ipar saya biasa bawa beras,dan bawakan makan," ungkapnya.

Karena tak ada kendaraan, Gafur biasa menyewa ojek atau jalan kaki untuk menuju tempat kerjanya.

Ketika jam makan siang tiba, Gafur bergegas meninggalkan pekerjaannya sebagai buruh, dan kembali ke rumah makan siang dan mengurusi  istri dan buah hati tercinta. Begitu rutinitas yang jalani Gafur saban harinya.

Berangkat pukul 07.00 Wita dan kembali ke rumah pukul 17.00 Wita.

Tak dapat bantuan

Sifat nrimo, itulah Gafur. Menjadi korban saat bencana ia tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Pernah mengurus dengan  mengisi berkas untuk mendapatkan bantuan. Tapi sampai saat ini, ia tak pernah menerima bantuan.

"Lalu ada kita urus. Saya masukkan berkas untuk mendapatkan bantuan, tapi petugasnya cuma bilang, ' saya terima ini berkas, tapi jangan berharap'. Begitu kata petugasnya," jelas Gafur.

Setelah itu, Gafur tak pernah mengeluh. Gafur tak pernah mendatangi kantor Kelurahan atau kantor sosial untuk bertanya.

"Segan dan takut saya kalau bertanya lagi," ujar Gafur.

Namun begitu, Gafur tak berputus asa. Ia tetap berharap  suatu saat bisa mendapat Progam Keluarga Harapan (PKH). Agar ia bisa hidup lebih baik bersama keluarganya.

Tak hanya Gafur, Mita berharap suatu saat ia bisa kembali normal dan bisa menjalani kehidupan bersama suami dan anak tercinta seperti sedia kala. 

https://regional.kompas.com/read/2020/07/04/06550061/perjuangan-paramita-jalani-hidup-pascagempa-palu-lumpuh-separuh-badan-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke