Salin Artikel

Virus Corona di Papua, Tenaga Medis: Hanya Merawat dengan Meraba-raba

Di Papua Barat, pengujian hasil tes Covid-19 masih berjalan lambat, kondisi yang menurut seorang dokter bisa berujung pada outbreak.

Jika hal itu terjadi, fasilitas kesehatan, baik di Papua Barat maupun Papua, dinilai tak akan siap melayani pasien yang ada.

Pemerintah mengklaim akan mempercepat tes untuk daerah itu dengan melakukan tes cepat molekuler (TCM) Tubercolosis (TBC), sebagai alternatif tes reaksi rantai polimerase (PCR).

Namun, hingga pertengahan April, menurut Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Papua Barat, tes itu belum bisa dilaksanakan di provinsi tersebut.

Faisal, seorang perawat di RSUD Kota Sorong, Papua Barat, menjelaskan spesimen tes sempat tidak bisa diuji selama sekitar tiga minggu karena akses dari dan keluar kota Sorong ditutup sejak awal April.

Padahal, pengujian harus dilakukan di luar kota, baik Jakarta atau Makassar, karena Papua Barat belum memiliki laboratorium yang bisa mengecek spesimen Covid-19.

"Kami hanya merawat pasien dengan meraba-raba, artinya nggak tahu (mereka) positif atau negatif. Tetap (menjaga) safety kita," ujar Faisal (13/4/2020).

"Masyarakat di luar was-was, terlebih kami di rumah sakit, dengan APD yang terbatas."

Hingga pertengahan April, di Kota Sorong, satu orang telah meninggal akibat positif Covid-19.

Faisal menambahkan satu pasien dalam pengawasan, PDP, yang merupakan tetangga korban meninggal itu tak lama juga meninggal sebelum sempat dites Covid-19.

Spesimen dari Sorong baru kemudian diuji lagi sejak pengiriman sejumlah hasil tes ke Makassar tanggal 15 April, ujar Dokter Tumpal Simatupang, yang berdinas di RSUD Sorong.

Meski jaraknya lebih dekat dengan Jayapura, Papua, yang telah memiliki Balitbangkes untuk mengecek spesimen, Tumpal menyebut akses Jayapura yang dibatasi mempersulit petugas kesehatan mengirim spesimen ke sana.

Hingga Minggu (19/4/2020), setidaknya ada 7 kasus positif Covid-19 di Papua Barat dengan 1 kematian

Adhe menceritakan, spesimen awalnya hanya bisa dikirim ke Jakarta, sebelum kemudian diputuskan untuk bisa dikirim ke Makassar.

"Sampai Jakarta pun masih mengantre lagi dengan provinsi lain. Kami Manokwari harus menunggu 10 hari bahkan dua minggu untuk mendapat hasil," kata Adhe.

Untuk pertama kalinya, spesimen dikirimkan ke Makassar dengan pesawat sipil (11/4/2020).

Kesulitan dalam transportasi ini, disebut Adhe, telah mempersulit tenaga kesehatan mencari kasus positif di masyarakat.

Hal itu, katanya, berdampak terhadap penanganan dan kebijakan-kebijakan yang akan diambil pemerintah.

"Kami tidak tahu berapa banyak pasien di luar sana yang sebenarnya sesuai prosedur harus diambil swab-nya," ujar Adhe.

"Yang kami khawatirkan, jika ada pasien-pasien di luar tidak bergejala di luar sana, ini akan berbahaya sekali untuk masyarakat... akhirnya penyebaran akan semakin meluas di Manokwari."

Hingga 19 April, Papua Barat sudah mengirim 81 sampel ke Balitbangkes di Jakarta dan Makassar. Sebanyak 30 hasil tes belum mereka terima.

Merespons hal tersebut, juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto mengatakan pihaknya telah mengupayakan tes cepat molekuler (TCM), yang selama ini digunakan untuk tuberkulosis atau TBC, untuk mengetes Covid-19.

Dia mengatakan 305 fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia sudah bisa menggunakan alat itu sebagai alternatif tes PCR.

"(Sebanyak) 305 (faskes) itu termasuk di Mimika, Merauke, Sorong, Fakfak, Sikka (NTT), Lembata (NTT)," ujarnya.

Meski begitu, Juru bicara Gugus tugas COVID-19 Papua Barat, Arnoldus Tiniap, mengatakan TCM belum bisa dilaksanakan di wilayahnya.

"Sudah ada alatnya tapi perlu di-install dan perlu pemasangan cartridge (untuk pengetesan Covid-19)," ujar Arnoldus.

Sebelumnya, Yurianto mengatakan, Indonesia akan memesan 112.000 cartridge untuk melaksanakan TCM dari Swedia. Namun belum jelas kapan komponen ini tiba.

Dari 14 rumah sakit yang ditunjuk untuk menangani Covid-19 di Papua Barat, hanya ada tujuh ventilator yang aktif, ujar Juru bicara Gugus tugas COVID-19 Papua Barat, Arnoldus Tiniap.

Menurut data BPS, penduduk Papua Barat mencapai sekitar 900.000 orang.

Provinsi itu hanya memiliki satu orang dokter paru-paru, yakni di Teluk Bintuni.

Papua Barat kini tengah mencoba merekrut lima dokter spesialis, termasuk dua dokter paru-paru, spesialis anastesi, radiologi, dan patologi, seperti diberitakan Antara.

Dokter Tumpal Simatupang, yang berdinas di RSUD Sorong, mengatakan kasus Covid-19 di daerah itu dipegang oleh dokter penyakit dalam juga dokter THT seperti dirinya.

Ia memberi contoh, kapasitas RSUD Sorong, yang merupakan satu dari dua rumah sakit rujukan pemerintah di Papua Barat, hanya bisa menampung 15 pasien.

"Gubernur sudah ambil langkah, sudah direncanakan satu rumah sakit lapangan di sini, untuk mengantisipasi peningkatan pasien," katanya.

"Kalau mereka tidak merespons dengan baik, kasus itu di bawah sudah berkecamuk, tapi orangnya masih santai," kata Hasmi.

Ia menyarankan wilayah itu tidak bergantung pada PCR, tapi dengan melakukan pemantauan agresif pada Orang Dalam Pemantauan (ODP) bahkan orang yang tak memiliki gejala.

Mereka yang memiliki gejala harus segera dikarantina, baik mandiri maupun di rumah sakit, ujar Hasmi.

'Infrastruktur kesehatan kami tidak siap'

Sementara, di Provinsi Papua, yang sudah bisa menguji hasil tes Covid-19 di Jayapura, jumlah angka kasus meningkat setiap hari, mencapai lebih dari 100 kasus dengan tujuh kematian (data 19/4/2020).

Setiap harinya laboratorium di Jayapura memeriksa 40-50 spesimen, kata Juru Bicara Satgas Covid-19 Papua Silwanus Sumule.

Papua sendiri telah menerapkan pembatasan pergerakan, yang disebut Silwanus sebaga Pembatasan Sosial yang Diperluas.

Papua, provinsi terluas di Indonesia dengan lebih dari 3,4 juta penduduk, hanya memiliki sekitar 75 ventilator di semua rumah sakit yang ada di Papua.

"Pembatasan sosial yang diperluas dilakukan karena kami tidak siap. Infrastruktur kesehatan kami tidak siap melakukan hal ini (menangani lonjakan pasien Covid-19). Sosial budaya kami bisa mempercepat penyebaran," ujarnya.

Ia merujuk pada kebudayaan warga Papua yang sering berkumpul.

Di daerah-daerah pegunungan yang akses komunikasinya terbatas, perkumpulan-perkumpulan bahkan masih terjadi, ujarnya.

Doktor Hasmi, yang juga pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih mengatakan hal tersebut membuat permodelan Covid-19 di penyebaran di Papua hasilnya "mengerikan".

Apalagi, tambah Hasmi, gizi sejumlah masyarakat di Papua masih belum baik, yang bisa memperburuk imunitas masyarakat.

"Papua dan Papua Barat kalau bisa ditingkatkan dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)," ujarnya.

Sebelumnya, Kabupaten Mimika, Papua, juga Kabupaten Fakfak dan Kota Sorong di Papua Barat, telah mengajukan permohonan melaksanakan PSBB kepada Kementerian Kesehatan, tapi ditolak karena dianggap belum memenuhi sejumlah syarat.

https://regional.kompas.com/read/2020/04/21/10300001/virus-corona-di-papua-tenaga-medis--hanya-merawat-dengan-meraba-raba

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke