Salin Artikel

Cerita Penyintas Covid-19, Hafalkan Al Quran Saat Diisolasi hingga Khawatir Dikucilkan

Firasatnya tak nyaman ketika datang perangkat desa mengetuk pintu rumah yang berdinding papan.

“Saya baru saja dikabari dinas kesehatan, hasil swab Hartini sudah keluar dan positif corona. Hartini harus segera dibawa ke rumah sakit, sebentar lagi ada ambulans yang jemput,” kata perangkat desa itu dengan rona penuh gelisah.

Lidah Hartini tercekat, dia tak mampu lagi berkata-kata. Dibantu sang ibunda, dia mulai berkemas.

Kekhawatiran bersarang di hati satu keluarga. Ibunda bersikeras mendampingi buah hatinya di sana, di kamar isolasi RS Panti Nugroho Purbalingga.

Rabu (25/3/2020), sirene ambulans meraung-raung memecah kesunyian jalan Desa Gunungwuled, Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah.

Petugas medis berbusana pelindung lengkap turun menjemput dara berusia 15 tahun itu tepat pukul 22.00 malam.

Di dalam ambulans, Hartini tak mampu lagi membendung air mata, tangisnya tumpah di pelukan ibunda.

“Kayak mimpi, sedih banget, gak pernah nyangka saya positif corona, karena sama sekali tidak ada gejala batuk apalagi sesak nafas, sebelumnya juga sempat dirawat tapi dipulangkan karena kata dokter cuma gejala typus,” kata Hartini saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (16/4/2020).


Sesampainya di beranda rumah sakit, Hartini langsung dilarikan ke ruang isolasi. Berdua dengan ibunda, dia menjalani masa karantina, 23 hari lamanya.

Selama masa karantina, lanjut Hartini, tidak ada perlakuan khusus seperti pemasangan alat pendukung perawatan medis atau selang oksigen.

Hal ini karena Hartini tidak menunjukkan gejala kritis seperti sesak nafas dan pneumonia.

“Saya banyak berdoa, berhubungan dengan teman-teman lewat whatsapp, berjemur setiap pagi di jendela kamar, minum obat dan vitamin juga, kalau bosan makanan rumah sakit boleh pesan Go Food, nanti diantar perawat,” terangnya.

Tidak ada yang membuat Hartini gusar selama masa karantina.

Petugas medis sangat humanis dan terus memberikan optimisme pada gadis mungil itu.

Sementara teman sejawat menyalurkan semangat lewat pesan singkat.

Namun tekanan justru datang dari dunia maya. Perundungan dan kabar tak benar datang berduyun-duyun membanjiri media sosialnya.

Pesan berantai negatif tak hanya merundung Hartini dan keluarga, namun juga menyudutkan teman dan kekasih hatinya.

“Jujur, itu (medsos) yang bikin saya resah, hampir di semua medsos saya di bully, banyak hoaks tapi saya tidak bisa ngapa-ngapain, sampai pacar saya ikut jadi DPO (Daftar Pencarian Orang) sama netizen. Yang saya heran, justru yang bikin kabar hoaks itu bukan teman saya, saya tidak kenal sama sekali,” katanya.


Kamis (16/4/2020), purna sudah masa karantina.

Hartini dan dua pasien lain, yakni Agus, warga Kecamatan Kalimanah, dan Wariyah, warga Kecamatan Pengadegan dinyatakan sembuh dari virus corona.

Ketiganya secara khusus diundang oleh Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi dalam sebuah jamuan makan di Pendopo Dipokusumo Pemkab Purbalingga.

Melalui rilis Humas Pemkab Purbalingga, Agus mengungkapkan rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada petugas medis yang merawatnya.

Agus menuturkan, selama masa karantina dia memanfaatkan waktu untuk menghafal Al Quran.

“Selama masa isolasi di rumah sakit, saya gunakan untuk menghafal al quran, khatam 30 juz. Ini salah satu hal positif yang saya manfaatkan selama karantina,” paparnya.

Agus berpesan kepada masyarakat agar mengikuti anjuran pemerintah yang meliputi menghindari kerumunan (social distancing) maupun menjaga jarak secara fisik dengan orang lain (physical distancing).

“Perlu dipedomani juga untuk menjaga jarak, rajin cuci tangan dengan menggunakan sabun. Dan tetap tinggal di rumah bila tidak ada kepentingan yang mendesak. Pasalnya berdasarkan pengalaman selama masa isolasi di rumah sakit, yang ada di pikiran adalah rindu pulang ke rumah,” jelasnya.

Kepada pasien lain yang masih menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit, Agus berpesan agar tetap menjaga semangat hidup.

Semangat menjadi obat paling mujarab dalam menghadapi mimpi buruk masa karantina.

Kepala Dinas Kesehatan Purbalingga, Hanung Wikantono merinci, dari total enam pasien positif, tiga orang telah dinyatakan sembuh dan tiga lainnya masih dalam perawatan medis.

“Sementara pasien dalam pengawasan (PDP) ada 90 orang. 44 orang dinyatakan negatif dan sudah dipulangkan, 33 masih menunggu hasil swab. PDP yang meninggal total 7 orang, 2 negatif dan 6 positif,” terangnya.

Hanung menambahkan, ketiga pasien yang dinyatakan negatif telah menjalani dua kali tes swab. Oleh karena itu mereka dinyatakan sembuh dan boleh pulang ke rumah.

“Saya mohon ketiga pasien yang sembuh tetap menjaga jarak dan menjalankan protokol kesehatan. Di rumah wajib karantina mandiri selama 8 hari,” ujarnya.


Satu dusun diisolasi


Kisah para penyintas Covid-19 di Purbalingga menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak.

Hampir seluruh pasien positif yang dirawat di Purbalingga memiliki riwayat mobilisasi ke wilayah zona merah terutama Jakarta.

Seperti Hartini, yang sebelumnya bekerja di sebuah rumah makan di ibu kota. Dia mengeluh sakit sejak masih berada di Jakarta.

“Saya tidak tahu ketularan dimana, waktu saya dinyatakan positif, semua teman kerja melakukan tes alhamdulillah negatif. Kemungkinan saya ketularan di pasar waktu belanja,” katanya.

Ketika di Jakarta, Hartini sempat berinisiatif memeriksakan diri ke dokter, tapi tidak kunjung sembuh. Hingga akhirnya dia pulang ke kampung dan langsung dibawa ke RSUD Goeteng Taroenadibrata.

“Di RSUD dia dirawat di bangsal biasa. Karena tidak ada gejala yang mengarah ke Covid-19, diagnosisnya cuma typus, sambil nunggu hasil swab saya boleh pulang,” katanya.

Setelah dipulangkan dari rumah sakit, Hartini diminta untuk melakukan karantina mandiri.

Namun karena budaya solidaritas warga desa yang masih erat, tetangga, sanak saudara dan teman sejawat Hartini datang menjenguk ke rumah.

Kegegeran pun terjadi setelah warga mengetahui jika Hartini divonis positif Covid-19. Para pembesuk yang merasa berinteraksi langsung dengan dia khawatir tertular virus.

Kepala Desa Gunungwuled, Nashirudin Latif mengatakan, secara mandiri melakukan tracing siapa saja dari warganya yang berinteraksi langsung dengan Hartini.


Hasil tracing menemukan sedikitnya 90 orang dari 30 Kepala Keluarga (KK) di tiga dusun.

“Atas keputusan musyawarah perangkat dan BPD, dan konsultasi dengan bupati, kami mengambil langkah untuk lockdown satu dusun, karantina masal selama 14 hari,” katanya ketika dihubungi Kompas.com, Sabtu (28/3/2020).

Pemdes dan pemuda setempat menutup total akses di Dusun Bawahan, tempat tinggal Hartini.
Satu-satunya jalan masuk ke dusun dipasang portal untuk menghalau semua kendaraan yang lalu-lalang.

Agar warganya tetap fokus dan taat dengan program social distancing, pemdes juga mengalokasikan pos anggaran khusus untuk kompensasi biaya hidup seluruh warga dusun.
“Besarannya Rp 50.000 per KK per hari dalam bentuk sembako,” ujarnya.

Dengan pulangnya Hartini, Latif memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan edukasi kepada warga agar tidak memberikan stigma kepada Hartini dan keluarga.

“Nanti saya mau edukasi warga dan menunjukkan bahwa saya tidak takut, yang bersangkutan sudah sembuh, sudah tidak nularin lagi,” ujarnya.

Di akhir percakapan, Hartini berharap agar masyarakat tidak mengucilkannya dan keluarga. Dia ingin kembali diterima di lingkungan tempat tinggalnya seperti sedia kala.

“Saya mohon jangan dikucilkan, karena kehidupan seperti roda yang berputar, saat ini keluarga saya sedang di bawah, tapi ini semua musibah, bisa menimpa siapa saja,” katanya.

https://regional.kompas.com/read/2020/04/17/08160261/cerita-penyintas-covid-19-hafalkan-al-quran-saat-diisolasi-hingga-khawatir

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke