Salin Artikel

Kokohnya Kelenteng Thien Le Kong di Samarinda Berusia 115 Tahun, Tiang Miring di Bom Jepang

Dibangun 1905, Kelenteng Thien Le Kong kini berusia 115 tahun.

Kelenteng ini pernah dibom Jepang saat hendak memberanguskan pabrik minyak goreng yang berada tepat berada di belakang Kelenteng.

Ada delapan tiang penyangga dari bangunan kuno ini.

Salah satu tiang muka penyangga bangunan ini miring akibat dibom.

Kompas.com mencoba melihat Kelenteng Thien Le Kong dari dekat, saat perayaan Cap Go Meh, Sabtu (8/2/2020).

Saat tiba, aroma asap dupa menjadi ciri khas tempat ibadah ini begitu terasa.

Tampak sebagian orang membakar lilin, sebagian lagi berdoa.

Dari depan hingga seluruh bangunan dipenuhi warna merah dan gambar naga.

Dalam ruangan, tiang yang menyangga bangunan di cat hitam dengan ukiran khas Tionghoa keemasan.

Rumah panggung

Bangunan ini awalnya berbentuk rumah panggung karena berada di pinggir pertemuan muara Sungai Karang Mumus dengan Sungai Mahakam.

Bangunan ini telah melewati tiga era, yaitu kolonialisme Hindia Belanda, Jepang, hingga era kemerdekaan RI.

"Sejak berdiri, bangunan ini masih kokoh. Kita belum apa-apain, hanya cat saja. Usianya sudah mencapai 115 tahun," ungkap Pengurus Kelenteng Efendy Oetomo saat ditemui Kompas.com saat perayaan malam Cap Go Meh, Sabtu malam.

Bangunan kuno ini dibangun 1903, tapi rampung dua tahun kemudian, 1905.

Semua material dibawa dari China, bangunannya tanpa paku dan hanya menggunakan pasak.

Tokoh pelopor pendiri bangunan bersejarah ini bernama Oey Khoey Gwan atau lebih dikenal Oey Thjing Tjawan.

Sebagai informasi, tujuh abad silam sebuah bukit di muara Sungai Mahakam jadi sejarah tonggak etnis Tionghoa menginjak kaki di Bumi Kalimantan Timur.

Kala itu, para saudagar dari Tionghoa menjahit layar kapal di perbukitan itu.

Tempat itu kemudian dinamakan jahitan layar oleh Aji Batara Agung Dewa, pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara.

Hilir mudik para pedagang Tionghoa pada abad pertengahan banyak meninggalkan jejak artefak, seperti pecahan guci dan keramik yang sebagiannya kini dikoleksi Museum Mulawarman Tenggarong, Kutai Kertanegara.

Kala itu mereka menempati kawasan tepian Sungai Mahakam dari arah timur muara Sungai Karang Mumus ke arah barat Samarinda.

Kini kawasan ini jadi permukiman warga Tionghoa yang disebut Pecinan.

Hingga kini, sepanjang tepi sungai ini terdapat banyak bangunan kuno milik etnis Tionghoa.

Sejak kedatangannya, interaksi etnis Tionghoa dan masyarakat sekitar terjalin baik.

Etnis Tionghoa juga terlibat dalam perlawanan terhadap kolonialisme demi kemerdekaan Indonesia.

https://regional.kompas.com/read/2020/02/09/14434071/kokohnya-kelenteng-thien-le-kong-di-samarinda-berusia-115-tahun-tiang-miring

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke