Salin Artikel

Problem Jalur Parung Panjang yang Tak Kunjung Selesai: Truk Parkir di Bahu Jalan, Kemacetan hingga Paparan Debu

Berbagai persoalan pun masih banyak ditemui, seperti kerusakan infrastruktur, kemacetan, paparan debu hingga kecelakaan lalu lintas.

Lemahnya pengawasan aparatur pemerintah dinilai menjadi penyebab semakin kompleksnya masalah jalur truk tambang hingga meluas ke perbatasan Bogor-Tangerang.

Kompas.com mencoba menelusuri dan melintas sampai wilayah perbatasan Parung Panjang, Kabupaten Bogor dan Legok, Tangerang pada Sabtu (18/1/2020) hingga Minggu (19/1/2020).

Sedikitnya ada tiga kecamatan yang merasakan dampak buruk dari truk tambang itu, yakni Kecamatan Rumpin, Gunung Sindur dan Parungpanjang.

Saat melintasi tiga wilayah itu, hilir mudik truk tronton angkutan tambang seperti tak ada habis-habisnya.

Ruas jalan desa yang biasa dilintasi warga sekitar kini telah didominasi oleh truk-truk dengan beragam ukuran.

Jalan yang lebarnya hanya sekitar 5 meter itu pun menjadi sempit untuk dilintasi.

Truk parkir bikin macet

Tak jarang truk tersebut parkir begitu saja sambil menunggu muatan dan tanpa menghiraukan pejalan kaki serta pengendara.

Tampak seorang petani yang ingin membajak sawah dengan kerbaunya harus berjibaku saat melintas di pinggir jalan tersebut.

Pasalnya, membawa kerbau ke sawah bukan hal yang mudah di tengah lalu lalang truk. Salah sedikit fatal akibatnya.

Pemandangan kerbau dengan ratusan truk itu sudah tak asing lagi jika melintasi Jalan Leuwiranji (sebutan warga) Kecamatan Rumpin.

Selama perjalanan, terlihat pula beberapa kerusakan infrastruktur jalan di tiga kecamatan tersebut.

Para pengendara dibuat kewalahan menghadapi jalan berlubang dan bergelombang itu.

Sabtu itu, tak ada hujan turun sehingga debu pekat jelas terlihat bertebaran di atap rumah setelah dilintasi truk tambang yang hendak mengisi muatannya.

Mata dan hidung akan mulai terasa panas dan perih saat debu dari ban belakang truk tersebut menyembur. Masker yang digunakan pun seperti tak ada gunanya.

Mau tak mau, pengendara harus berani mendahului truk tersebut agar tidak terpapar debu.

Namun, perlu kehati-hatian karena jalan di daerah ini bak kubangan lumpur ketika hujan turun dan debu pekat ketika kemarau.

Jika malam hari, jalan berlubang itu tidak akan terlihat karena minimnya penerangan sehingga warga yang ingin melintas diharap berhati-hati.

Pun demikian dengan warung yang ada di pinggir jalan. Bagi mereka, membersihkan debu halus hingga kasar sudah jadi hal biasa.

Begitu juga, suara truk yang amat bising ketika malam tiba membuat sulit untuk tidur.

Setibanya di Jalan Moch Toha, Parung Panjang, menjelang malam minggu, tampak sejumlah truk parkir begitu saja di sepanjang bahu jalan sejak pukul 18.00 WIB.

Jalur itu merupakan jalan yang biasa dilewati truk-truk pengangkut batu dan pasir hasil tambang dari sejumlah perusahaan.

Truk yang terdiri dari golongan dua hingga lima ini berasal dari titik pusat galian C batu andesit di Kecamatan Cigudeg melewati Jalan Sudamanik.

Truk tambang ini menunggu jam operasional yang akan dibuka pada pukul 22.00 WIB menuju arah Legok, Tangerang.

Mirisnya, tak terlihat petugas yang berjaga untuk mengatur dan mengarahkan truk-truk tersebut.

Akibatnya, ruas jalan pun menyempit yang menyebabkan kendaraan roda dua dan empat hanya bisa melewati satu titik. Itu pun dalam kondisi dua lajur.

Setidaknya, dibutuhkan kelihaian saat berkendara melintasi jalan perbatasan tersebut. Salah sedikit, kendaraan akan saling bersenggolan.

Seorang pengendara, Riski (23), mengaku, sangat terganggu karena keberadaan truk yang parkir sembarangan di bahu jalan.

Imbasnya, aktivitas warga dan akses ekonomi jadi terganggu.

Ia menilai, setiap malam, kemacetan di jalan perbatasan itu menghantui pengguna jalan dan pengendara.

Pasalnya, antrean truk bertonase besar yang terparkir itu bisa mencapai tujuh kilometer.

Lebih-lebih saat akihir pekan tiba, kemacetan panjang akan semakin menjadi-jadi.

"Jam 8 ngantre dan stand by di sini. Panjangnya bisa sampai ke Desa Jagabaya sekitar 7 kilometer, saya saja bawa motor itu masih panjang ke sana," ucap Riski, warga Cibunai.

Mulyana (29), warga Parungpanjang menyatakan bahwa tak sedikit warga geram dengan ulah para sopir yang main parkir di bahu jalan tersebut.

Sebab, pemberlakuan jam operasional truk di Tangerang rupanya menjadi persoalan baru bagi warga di Kabupaten Bogor.

Menurutnya, pengaturan jam operasional angkutan barang dan tambang tidak efektif yang kemudian banyak sopir truk tambang melanggar aturan.

Berdasarkan aturan yang dimuat dalam Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Tangerang Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pembatasan Jam Operasional Angkutan Tambang (Pasir, Batu, Tanah) menyebutkan bahwa truk dilarang melintas mulai pukul 05.00 hingga 22.00 WIB.

Namun, truk tambang yang menunggu jam operasional dibuka kerap kali nekat melanggar dengan cara memilih lebih awal keluar dari kantong-kantong parkir.

"Nah, yang di Parungpanjang ini sebenarnya enggak ada jam operasional tapi menunggu jam operasional di Tangerang, kan perbatasan itu di jembatan malang tengah ke sana sudah Legok," ujar Yana.

"Jadi terkait kemacetan itu, jam 10 di Tangerang itu baru dibuka, nah sekarang itu ada beberapa sopir yang nekat melintas sebelum jamnya dibuka dan berhenti di pinggir jalan (antre)," sambung dia.

Dilema sopir truk

Sementara itu, seorang sopir truk, Mustofa (22), mengaku tidak bisa berbuat banyak atas kemacetan yang terjadi di sepanjang Jalan Sudamanik hingga Jalan Moch Toha.

Ia mengatakan, hanya berusaha semaksimal mungkin untuk bisa bekerja dengan memacu truk tambangnya.

Meskipun warga marah pada dirinya, namun ia menolak untuk disalahkan.

"Iya kan jam segitu sudah dikeluarkan dari kantong parkir karena berangkatnya jam 10 malam. Kantong parkir itu ada yang punya lahannya kita juga bayar. Terus gaji kita yang enggak nentu sebulannya berapa, sebulan paling dapat Rp 1 juta, kadang juga enggak," ujarnya.

Menurutnya, kemacetan juga terjadi karena tidak adanya kesiapan dan kesepakatan antar Pemerintah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tangerang terkait aturan jam operasional truk angkutan tambang yang juga banyak merugikan sopir.

"Kita ngandelin gaji bulanannya doang itu kotor belum yang lain kadang-kadang kasbon ke warung karena dari pagi sampai malam kita habisin waktu di sini," ungkapnya.

Selain itu kata dia, aturan jam operasional yang selama ini diterapkan tak menjadi solusi, bahkan cenderung merugikan para sopir yang sedang mencari nafkah.

Tak jarang para sopir sering menunggu perbatasan dibuka dengan menghabiskan waktu dengan sia-sia.

Seperti sopir truk lainnya, Fikri (21), juga mengakui bahwa dirinya sering menghabiskan waktu dengan mengecat bagian mobil, memeriksa ban dan melakukan perbaikan kecil-kecil pada mobil truk sebelum waktu keberangkatan tiba.

"Jalurnya ke Jabodetabek, jalannya kena di jalur sini karena cuman di sini lewatnya, Parung Panjang. Mau enggak mau habisin waktu seharian ngecat bodi truk sama bersih-bersih, dan penghasilan kita juga jelas berkurang," ujar pemuda asal Bogor itu.

Secara terpisah, Ketua Aliansi Gerakan Jalur Tambang (AGJT) Junaedi Adi Putra berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor bisa menebalkan kembali asa warga sekitar yang selama ini masih merasakan kemacetan, suara bising, paparan debu hingga kecelakaan lalu lintas.

Warga Bogor hanya berharap dan meminta solusi jangka pendek berupa Perbup/SK Bupati di empat kecamatan, yakni Rumpin, Gunung Sindur, Parung Panjang dan Ciseeng.

"Kalau Bogor sama Tangerang ini beda soal, karena tidak punya payung hukum. Kalau di Tangerang ada Perbupnya, tapi di Bogor dia enggak ada aturan sehingga meresahkan masyarakat. Artinya kan pengawasan di bawah juga kurang ketat dan perlu adanya Perbup juga," tambahnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/01/22/18490851/problem-jalur-parung-panjang-yang-tak-kunjung-selesai-truk-parkir-di-bahu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke