Salin Artikel

21 Tahun Konflik Maluku dan Harapan Masyarakat

AMBON, KOMPAS.com - Konflik kemanusiaan yang pernah berkecamuk di Maluku pada tahun 1999 silam telah menjadi sejarah paling kelam sekaligus pembelajaran berharga bagi warga di daerah itu bahwa perang hanya akan melahirkan penderitaan yang berkepanjangan.

Bagi warga yang mengalami langsung konflik Maluku di tahun 1999-2003, hidup di zaman konflik tak ubahnya seperti hidup dalam situasi paling kejam, di mana setiap hari akan ada nyawa yang melayang dan rumah warga yang dibakar.

Sepanjang periode konflik Maluku, tercatat ribuan warga mati terbunuh, ribuan rumah dan fasilitas umum termasuk rumah ibadah hangus terbakar serta ratusan ribu warga terpaksa mengungsi dan meninggalkan Maluku.

Bagi penduduk yang perkampungannya hangus terbakar, tak ada pilihan lain kecuali memilih hidup di lokasi pengungsian dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Hari ini, tepat 19 Januari 1999 atau 21 tahun silam, konflik Maluku terjadi.

Saat ini, masa kelam yang pernah menyelimuti Maluku itu telah berlalu di mana warga di daerah itu telah hidup rukun dalam suasana yang damai seperti sediakala.

“Kami bersyukur karena saat ini situasinya sudah jauh berubah, sudah damai dan sudah berbaur kembali,” kata Fauzi, salah seorang warga Ambon kepada Kompas.com, Minggu (19/1/2020).

Pegawai suwata ini mengaku saat konflik terjadi dia dan keluarganya juga ikut mengungsi setelah rumah mereka di Kecamatan Nusaniwe, ikut terbakar.

Bagi Fauzi, hidup dalam situasi konflik sangatlah buruk, karena nyawa manusia menjadi tidak berharga di zaman tersebut.

Dia mengaku, saat itu dia tidak pernah membayangkan bahwa konflik Maluku akan berakhir secara damai dan kondisi Maluku akan kembali pulih seperti saat ini.

“Siapa yang berpikir saat itu konflik akan berakhir?, tapi memang ini sudah menjadi kehendak Tuhan dan kejadian lalu (konflik) itu harus kita jadikan sebagai pembelajaran,” ujar dia.

Martinus, warga lainnya mengaku, konflik di Maluku telah menyisikan kenangan pahit yang harus dapat dijadikan sebagai pembelajaran berharga agar warga di Maluku tidak lagi mengulangi peristiwa berdarah tersebut.

Martinus menuturkan, konflik Maluku tidak hanya membawa kesengsaraan bagi warga di sana tapi juga telah meruntuhkan peradaban kemanusiaan saat itu.

“Karena hukum tidak lagi berlaku, saling membunuh seperti hal biasa, tidak ada lagi nilai-nilai kemanusiaan, saya kira itu pelajaran paling berharga bagi kita orang Maluku,” kata dia.

Martinus yang juga korban konflik ini mengaku bersyukur karena atas kesadaran seluruh masyarakat Maluku, konflik dapat diakhiri dengan kesepakatan damai.

Dia pun berharap kedamaian yang sudah dirasakan ini dapat terus dipelihara sehingga Maluku dapat lebih maju lagi untuk mengejar ketertingalan.

“Apalagi, kita orang Maluku ini orang bersaudara, jangan lagi kita dibodohi untuk saling bermusuhan,” ujar dia.

Komitmen persaudaraan

Setelah konflik berakhir, warga di Maluku pun perlahan mulai kembali hidup berdampingan dan saling menghargai satu sama lain.

Ketua Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Wilayah Maluku Pendeta Jhon Ruhulesin mengatakan, sejarah kelam konflik Maluku kini telah menjadi kenangan, dan saat ini upaya menatap masa depan Maluku yang lebih cerah menjadi salah satu tujuan semua elemen masyarakat di daerah berjuluk seribu pulau tersebut.

“Kami pernah punya sejarah yang pahit ya, jadi saya rasa sejarah itu sendiri sudah menjadi  kenangan bagi kita dan yang paling penting adalah kita menatap masa depan,” kata dia.

Mantan Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku ini mengaku konflik Maluku tahun 1999 harus dapat dijadikan pengalaman berharga agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Bagi Jhon, semua warga Maluku harus berpikir kembali untuk menata Maluku yang lebih baik dan yang paling penting adalah mempertegas komitmen persaudaraan, sebab dengan hal itulah Maluku dapat lebih maju.

“Kita harus mempertegas komitmen persaudaraan dan perdamaian sebagai kekuatan untuk membangun masa depan Maluku yang lebih baik, dan saya rasa dalam komitmen itu kita harus ikut memperjuangkan Maluku yang berkeadilan saya rasa itu penting,” ungkap dia.

Menurut Jhon, persoalan keadilan dan kesejahteraan menjadi faktor penting agar Maluku dapat keluar dari keterpurukan.

Kuncinya seluruh masyarakat Maluku harus dapat bahu-membahu untuk membangun Maluku.

Dia juga mengingatkan agar elit politik dapat meninggalkan politik yang berorientasi kekusaaan menjadi politik yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, dengan begitu apa yang menjadi harapan seluruh masyarakat Maluku dapat terwujud.  

“Persoalan keadilan dan kesejahteraan menjadi faktor paling penting, kita tidak mungkin keluar dari kemelut jika kita tidak mampu mewujudkan Maluku yang berkeadilan dan berperadaban. Saya kira itu poinnya bagaimana mau mewujudkan Maluku yang berkeadilan,” ungkap dia.

Di samping itu, dia juga menekankan agar warga Maluku tetap memperkuat kohesi sosial dan memperkuat kearifan lokal sebagai modal soisial masyarakat di Maluku.

“Kemudian menegakan supermasi hukum, kearifan itu kekuatan kita dan dengan itu kita akan memperjuangan Maluku yang berkeadilan,” kata dia.

Rawat perdamaian

Upaya merawat pedamaian pascakonflik Maluku terus dilakukan berbagai pihak dengan berbagai cara agar sejarah kelam yang terjadi di Maluku tidak terulang lagi.

Direktur Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) IAIN Ambon, Abidin Wakano mengatakan, konflik Maluku telah menjadi sejarah kelam dan juga memori kolektif bagi seluruh masyarakat Maluku.

Abidin yang juga mantan Wakil Ketua MUI Maluku ini menururkan konflik Maluku telah menyisikan penderitaan dan kesedihan mendalam.

Karena, dampak dari konfik yang terjadi telah menimbulkan banyak warga meningal dunia dan kehilangan tempat tinggal.

“Jadi, kita harus belajar dari sejarah, ini telah menjadi memori kolektif dan kesedihan bersama bagi warga Maluku, banyak korban meninggal dan juga kehilangan tempat tinggal saat itu,” ujar dia.

Masa sulit yang pernah terjadi telah dilalui, karena itu warga Maluku yang saat ini telah hidup dalam suasana yang damai harus lebih mempererat tali persaudaraan, menghilangkan rasa curiga dan harus memiliki perasaan yang sama bahwa hidup berdampingan jauh lebih baik daripada bermusuhan.

Abidin mengatakan, warga Maluku juga harus terus menumbuhkan rasa saling memiliki di antara sesama.

“Kearifan lokal harus dihidupkan, karena itu menjadi modal kita dan satu hal yang penting lagi kita belajar di masa itu (konflik) kita tidak boleh melakukan glorifikasi atau mensucikan kekerasan di masa lampau, itu tidak boleh,” kata dia.

Abidin menambahkan, untuk mewujudkan perdamaian abadi di Maluku, maka proses perjumpaan antara sesama umat bergama harus tetap digalakan.

Selain itu, proses pemulihan terhadap warga yang terdampak konflik juga harus dipulihkan.

“Kita bersyukur kondisi Maluku sudah sangat baik tapi proses perjumaan guna mewujudkan perdamaian sejati harus terus berlanjut,” kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2020/01/19/18392561/21-tahun-konflik-maluku-dan-harapan-masyarakat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke