Salin Artikel

2 Kabupaten Sumbar Melarang Perayaan Natal, Dibantah Pemkab hingga Umat Ibadah di Rumah Pribadi

Hal yang sama juga dirasakan oleh umat nasrani di Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung. Mereka dilarang merayakan hari raya.

Selain tak bisa merayakan natal, mereka juga tak bisa melakukan ibadah seperti umat beragama lainnya.

Dilansir dari VOA Indonesia, pelarangan tersebut berawal dari rapat pemerintahan Nagari (kelurahan) Sungai Tambang yang dilakukan pada awal Desember 2019 lalu.

Rapat tersebut dihadiri oleh ninik mamak (penghulu adat), tokoh masyarakat, dan pemuda setempat.

Hasil dari rapat tersebut, mereka tidak mengizinkan kegiatan ibadah dalam bentuk apapun secara bersama-sama, termasuk perayaan Natal dan Tahun Baru,

Bukan hanya itu, pemerintahan nagari dan ninik mamak juga meminta agar umat Nasrani di wilayahnya membuat surat perjanjian tidak melaksanakan ibadah termasuk natal.

Andi adalah salah seorang jemaah dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Sungai Tambang.

Ia bercerita di wilayahnya ada tiga denominasi HKPB dengan umat sebanyak 120 kepala keluarga. Sedangkan untuk umat Katolik sebanyak 60 kepala keluarga, dan umuat Gereja Bethel Indonesia sekitar 30 kepala keluarg.

"Memang dari awal kami selalu ditolak tapi kami belum mau banyak bicara ke publik karena kami juga mengusahakan bagaimana bernegosiasi. Jemaah sudah terlalu jenuh dengan hal-hal begini," kata Andi saat dihubungi VOA Indonesia, Selasa (17/12/2019) malam.

Ia menjelaskan, penolakan ibadah umat Nasrani di Dharmasraya dan Sijunjung sudah berlanjung sejak awal tahun 2000.

Kala itu, sekelompok warga menolak pelaksanaan ibadah dan membakar salah satu rumah yang digunakan untuk kebaktian.

Akibat kejadian itu, umat Katolik di Jorong Kampung Baru tidak bisa melaksanakan kebaktian secara berjemaah sejak tahun 2004 hingga 2009.

Umat Katolik hanya bisa melaksanakan kebaktian secara pribadi di rumah masing-masing.

"Intinya kemarin itu ya jelas mereka menolak, bukan hanya sebatas ibadah Natal. Tapi semua bentuk ibadah. Mereka izinkan kalau ibadah di rumah masing-masing. Bagaimana mungkin ada izin ibadah di rumah, itu konyol. Mereka tidak pernah izinkan ibadah berjemaah. Kalau kami ingin beribadah jemaah maka harus di tempat ibadah yang resmi. Itu sama saja dengan menolak, bagaimana resmi mereka tidak izinkan," ucap Andi.

Andi juga bercerita beberapa tahun lalu, mereka terpaksa membayar dua ekor kambing karena dituduh melanggar ketentuan adat karena melaksanakan ibadah berjemaah.

Selain itu tiga demomasi juga ditolak untuk melakukan ibadah berjemaah di komunitasnya.

"Secara pribadi melihat ini dampak dari otonomi daerah. Memang benar ada undang-undang yang melindungi semua masyarakat Indonesia dengan latar belakang agamanya yang diakui bahkan aliran kepercayaan. Namun ketika kembali ke otonomi daerah tentu seakan-akan yang dikedepankan adalah kebijakan di masing-masing daerah. Dengan alasan itu muncul penolakan-penolakan terhadap tempat ibadah bahkan secara pribadi agama seperti di Sumatera Barat. Saat ini dengan atas dasar kearifan lokal mereka menolak ibadah dan tempat ibadah. Lucu saja, ternyata tidak semua masyarakat Indonesia memahami soal Bhinneka Tunggal Ika," tutur Andi.

Namun pemerintahan Nagari Sikabau keberatan dan tidak mengeluarkan izin pelaksanaan ibadah di wilayahnya.

"Tahun lalu pernah juga buat seperti itu lalu mereka tersinggung karena ninik mamak tidak ada surat izin. Mereka merasa tidak dihargai. Tahun ini bukan saja kepada pihak keamanan kami buat, tapi juga kepada pemerintah camat, wali nagari, dan ninik mamak kita berikan justru di situ yang menjadi blunder. Kami sepertinya dicari-cari masalah padahal kami menghargai ninik mamak setempat, pemerintah, dan pihak keamanan agar bisa menjaga kami," ungkap Freli.

"Tapi kenyataannya, kemarin meraka rapat dan memutuskan tidak boleh dan sudah dikeluarkan oleh pihak wali nagari (lurah) itu di Sikabau enggak boleh mengadakan perayaan Natal dan Tahun Baru serta ibadah lainnya. Hanya boleh merayakan Natal di rumah pribadi," tambahnya.

Ia menjelaskan bahwa Pemkab Dharmasraya hanya menghargai kesepakatan yang telah dibuat tokoh masyarakat Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung dan umat Kristiani yang berasal dari warga transmigrasi di Jorong Kampung Baru.

"Kedua belah pihak sepakat dengan tidak adanya larangan melakukan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing di rumah masing-masing," kata Budi yang dihubungi Kompas.com, Rabu (18/12/2029).

Menurut Budi surat yang dikeluarkan Wali Nagari Sikabau bukan pelarangan, tapi pemberitahuan bahwa pernah ada kesepakatan untuk tidak melaksanakan Natal secara berjemaah dan tidak mendatangkan jemaah dari luar wilayah.

Budi mengatakan untuk umat yang akan melaksanakan ibadah secara berjemaah bisa melakukannya di tempat ibadah yang resmi dan memiliki izin dari pihak terkait.

Menurutnya, hal tersebut dilakukan agar tidak ada konflik antara umat Nasrani di Jorong Kampung Baru dengan ninik mamak Nagari Sikabau seperti yang terjadi pada tahun 1999 lalu.

Hal senada juga diungkapkan Zefnifan, Sekda Pemkab Sijunjung.

Ia mengatakan bahwa Pemkab Sijunjung tidak pernah melakukan pelarangan ibadah.

Ia juga meminta agar masyarakat tidak mudah terpancing provokasi untuk memecah kerukunan umat beragama.

"Tidak ada pelarangan. Selama ini, antara Muslim dengan Kristiani hidup berdampingan tanpa ada gesekan," kata Zefnifan.

Seperti di Kampung Baru, Dharmasraya, jumlah umat Nasrani mencapai 19 kepala keluarga. Sementara di Sungai Tambang, Sijunjung, terdapat 120 KK.

Dari keterangan resminya, Sudarto mengatakan pelarangan perayaan natal terjadi saat oknum polisi di salah satu polsek di Kabupaten Sijunjung meminta agar umat Nasrani membuat surat izin kepada pemerintahan nagari agar bisa melakukan ibadah.

"Mereka mengadakan rapat koordinasi dengan perangkat nagari, ninik mamak, tokoh masyarakat setempat. Namun hasil dari rapat koordinasi pada 16 Desember 2019 menyepakati sepihak beberapa hal seperti menolak pelaksanaan ibadah apapun termasuk Natal bersama jika tidak di tempat ibadah resmi. Ibadah termasuk perayaan Natal hanya boleh dilaksanakan di rumah masing- masing dan tidak boleh bersama-sama," tulis Sudarto dalam keterangan resminya.

Sementara di Sikabau, Dharmasraya, Sudarto mengatakan ada kesepakatan yang melarang umat Kristiani melaksanan perayaan agama secara terbuka.

"Ibadah termasuk perayaan Natal hanya boleh dilaksanakan di rumah masing-masing dan tidak boleh bersama-sama," kata Sudarto.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Perdana Putra | Editor: Khairina), VOA Indonesia

https://regional.kompas.com/read/2019/12/19/06060071/2-kabupaten-sumbar-melarang-perayaan-natal-dibantah-pemkab-hingga-umat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke