Salin Artikel

Tren Batik Pewarna Alami di Cirebon, Tradisi Masa Lalu yang Selaras dengan Alam

Namun proses tersebut tidak mudah dan butuh waktu bertahun-tahun.

Hal tersebut diceritakan Misnen saat menghadiri peresmian Institut Pewarnaan Alami Indonesia / Indonesia Natural Dye Institute (INDI), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (10/12/2019).

“Kita mengadakan pelatihan, waktu itu kita punya rumah budaya untuk belajar membatik di Indocement. Kemudian kita perkenalkan ekonomi produksi bersih yang termasuk juga IPAL-nya, kemudian ada warna alami. Kemudian tahun 2013 sampai 2018 dengan UGM untuk membuat batik tulis pewarna alam,” kata Misnen.

Ia mengatakan gerakan memproduksi batik dengan pewarna alami sebenarnya adalah upaya kembali ke tradisi masa lalu.

Dilansir dari VOA Indonesia, kawasan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat telah mengenal batik sejak tahun 1800.

Batik dikenalkan oleh para penyebar agama dari Pantai Utara Jawa Tengah seperti Lasem dan Rembang yang datang ke Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat untuk mendirikan pesantren.

Para santri di Ciwaringin yang belajar membuat batik membuat wilayah tersebut berkembang menjadi pusat batik Cirebon.

Menurut Misnen, pewarna sintetis mulai digunakan saat sistem produksi batik cap mulai diterapkan.

Hal tersebut membuat ciri khas batik tulis Ciwaringin hilang.

Selain itu penggunaan pewarna sintetis yang menghasilkan limbah membuat lingkungan mengalami kerusakan.

 

Saat ini 90 persen pembatik Ciwaringin kembali memproduksi batik tulis khusus dengan pewarna alami.

Pada Desember 2017, Ciwaringin telah mendeklarasikan diri sebagai pusat batik pewarna alami.

Lalu pada Maret 2019, mereka telah menerima sertifikat eco label dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menurut Misnen, untuk pewarna alami para pembatik menggunakan mangga, indigo (nila), jambu dan ketapang. Mahoni, nangka, tegeran, merbau, tingi dan jolawe diambil kulit batang kayunya.

Sedangkan rambutan, manggis, jengkol, tepes, dan kelapa dimanfaatkan kulit buahnya.

“Benar-benar limbah yang dimanfaatkan kembali. Dan sumbernya bisa dari bagian daun, kulit batang dan kulit buah, bahkan jengkol dan rambutan ketika musimnya. Yang paling banyak memang mahoni dan indigo sama mangga. Hasil kajian kita pernah mengeksplorasi sekitar 23 jenis tanaman di sana yang bisa dipakai,” kata Misnen.

Di acara yang sama, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Sleman, Pustopo berbicara mengenai tata kelola batik ramah lingkungan di wilayahnya.

Hal tersebut dilakukan setelah muncul dampak buruk industri batik pewarna sintetis di kawasan tersebut.

“Batik Sleman dengan warna sintetis jumlahnya kita identifikasi 50 kelompok. Kalau satu kelompok ada 20 orang, sudah berapa? Kalau dia memproduksi setiap hari dengan sintentis, kemudian limbahnya dibuang begitu saja, minimal sumur miliknya sendiri akan tercemar. Dan lebih tragis, perajin batik itu kecenderungannya mendekati daerah aliran sungai. Bagaimana kalau itu dibuang ke aliran sungai?,” jelas Pustopo.

Menurutnya banyak masyarakat yang mengeluhkan aliran sungai yang berubah warna warni sesuai dengan jenis limbah batik yang dibuang.

Padahal Sleman berada di kaki Gunung Merapi dan suangainya mengalir melewati Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul sebagai hilir.

Limbah tersebut berdampak buruk pada lingkungan dan menimbulkan protes dari warga yang tinggal di kawasan lebih rendah.

“Karena itulah kita membuat regulasi, tata kelola batik. Wajib menggunakan green batik. Boleh memproduksi dengan warna sintesis, tetapi minimal separuh harus green batik,” ujar Pustopo.

 

Ia menjelaskan mesin untuk pewarnaan sintetis, tidak bisa dipakai untuk warna alami karena karakter keduanya berbeda.

“Kami sebagai perekayasa memang betul-betul harus berkolaborasi. Jadi memang itu kolaborasi yang harus intens, supaya kita bisa mengkreasikan mesin baru yang cocok dan kemudian siap untuk dikomersialisasikan. Untuk realisasi prototyping mesin pertama ini kami targetkan antara 6 sampai 8 bulan,” ujar Aryono.

Ia mengatakan produsen busana dari Swedia telah sepakat untuk terlibat dalam pengembangan pewarnaan warna secara alami.

Mereka memahami bahwa masa depan bisnis busana dengan pewarna alami cukup baik.

Aryono menyebut tantangan ke depan terkait penggunaan pewarna alami adalah mengubah pola pikir konsumen untuk menerima produk yang ramah lingkungan karena harganya lebih mahal.

Sementara itu Ai Sugiura dari kantor UNESCO Jakarta mengatakan pengembangan batik ramah lingkungan bisa disebut sebagai ekonomi sirkular karena menggunakan panduan untuk pembuatan keputusan.

“Dalam model ini, pengelolaan limbah, desain produk hulu, dan pengembangan layanan dibuat dengan upaya memperpanjang masa guna produk, mengurangi penggunaan sumber daya alam, dan pada sisi lain menciptakan lapangan kerja dan mendukung upaya pengurangan kemiskinan,” kata Sugiura.

 

Menurutnya ada beberapa hal yang membuat penggunaan warna alami untuk kain berkurang.

Salah satunya adalah hilangnya tanaman tradisional saat hutan diubah menjadi perkebunan. Selain itu, pola pewarisan kekayaan tekstil tradisional tidak dilakukan secara maksimal.

“Kalau kita melihat ibu-ibu duduk di teras rumah adat, bersenandung menggendong bayi sambil menenun kain, kita anggap itu mengisi waktu luang, tidak bekerja. Tetapi dalam konteks kebudayaan, mereka profesional. Justru saat menenun itu, mereka mewariskan nilai-nilai. Jadi, sudut pandang kita harus berubah,” kata Fajar.

Sementara itu PM Laksono antropolig dari UGM mengatakan warna memiliki peran besar dalam masyarakat tradisional karena mewakili filosofi tertentu.

Ia mencontohkan masyarakat Jawa yang mengenal lima warna atau panca warna yakni hitam, merah, kuning, putih, dan satu warna campuran dari empat warna tersebut.

“Keempat warna itu adalah gambaran hati nurani manusia,” ujar PM Laksono.

Selain itu masyarakat tradisional percaya bahwa warna dari bahan alami muncul dari matahari melalui proses fotosintetis.

Laksono mengatakan kala itu para ahli warna yang mampu memunculkan warna-warni dari bahan alam, memiliki posisi sosial cukup tinggi.

“Para penemu warna zaman dahulu itu sering disamakan dengan orang yang sakti, alkemis. Karena dia bisa secara ajaib memindahkan warna yang ada pada proses alami ke dalam substansi material, dalam kain, dan semacamnya. Ahli warna itu statusnya tinggi sekali,” tambahnya.

Ia menjelaskan warna sintetis muncul pada pertengahan abad ke-19 dan menggeser posisi pewarna alami.

Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia.

Jika saat ini ada tren kembali ke pewarna alami, Laksono mengatakan sebenarnya mereka telah kembali ke tradisi masa lalu.

Hal tersebut juga salah satu upaya agar masyarakat kembali hidup selaras dengan alam.

https://regional.kompas.com/read/2019/12/12/15160051/tren-batik-pewarna-alami-di-cirebon-tradisi-masa-lalu-yang-selaras-dengan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke