Salin Artikel

Cerita Perjuangan TKI di Singapura, Mengejar Asa hingga Meraih Sarjana

Selama 5,5 tahun terakhir, Umi memberikan upaya terbaik untuk bisa menyelesaikan studi S1 nya.

Semua ini ia lakukan sambil tetap menjalankan tugas sebagai seorang seorang asisten rumah tangga di Singapura.

Umi Nadhiroh sebenarnya tidak pernah merasakan bangku SMP, SMA, apalagi kuliah. Besar di Magelang, Umi hanya berkesempatan meyelesaikan pendidikannya hingga tingkat sekolah dasar.

“Orangtua saya hanya bertani dan bekerja serabutan. Tidak sanggup membiayai sekolah saya,” cerita Umi yang kini berusia 45 tahun.

Umi sebenarnya merasa sangat berat untuk meninggalkan bangku sekolah. Tapi, ia mengaku saat itu memang tidak ada pilihan lain.

Meninggalkan pendidikan dan teman-teman sekolahnya, Umi kemudian mulai membantu orangtuanya dengan ikut kerja serabutan.

Bahkan ia sempat bekerja di usianya yang masih sangat muda, menjadi buruh di sebuah pabrik handuk, dan petugas kebersihan di sebuah pusat belanja.

Ide untuk menjadi Pekerja Migran (saat itu lebih umum disebut sebagai TKI - Tenaga Kerja Indonesia) ia dapatkan saat mendengarkan radio.

“Dulu kan di radio ada iklannya. Katanya bisa dapat penghasilan lebih besar kalau mau kerja di luar negeri jadi pembantu. Ya saya coba aja daftar,” ujar Umi.

Tidak ada teman atau kenalan yang mengajaknya, bahkan di kampungnya ia tidak mengenal seorangpun yang pernah menjadi TKI.

Umi berinisiatif sendiri untuk mencari informasi lebih jauh dan mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk dikirim menjadi perawat lansia (caregiver).

“Sebenarnya saya bilang, saya maunya dikirim ke Malaysia saja, karena saya tidak bisa bahasa Inggris, dan badan saya kecil. Tapi akhirnya saya malah ditempatkan di Singapura, ya saya terima saja,” ujar Umi.

Umi akhirnya berangkat pada tahun 1994.

Penghasilan Umi memang meningkat. Uang yang ia dapatkan dari pekerjaannya menjadi perawat lansia bisa ia gunakan untuk menyekolahkan ke-3 adik perempuannya, sekaligus untuk menghidupi kedua orangtuanya.

Hidup keluarganya membaik secara ekonomi. Namun ia mengaku, selalu ada sesuatu yang mengganjal.

Umi selalu merasa tidak cukup pintar.

“Saya merasa saya masih sering tidak bisa jawab kalau ditanya orang,” akunya.


Umi lebih terpicu lagi setelah salah satu adiknya berhasil lulus kuliah dengan bantuan dana dari Umi.

“Saya senang, tapi juga saya merasa ketinggalan, saya juga ingin pintar,” ujar Umi menambahkan.

Terbitlah terang

Harapan datang saat ia mendengar tentang pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh KBRI Singapura bersama Sekolah Indonesia Singapura (SIS).

Selain pelatihan keterampilan seperti menjahit, merias, memasak, dan komputer, kedutaan juga menyediakan program Kejar Paket A, B, dan C bagi siapapun Pekerja Migran Indonesia yang ingin menambah skill dan pengetahuan mereka.

Umi tidak menyianyiakan kesempatan ini. Karena meski ia hanya tamatan SD, ia merasa bisa memperoleh gelar sarjana seperti adiknya, asal mau belajar dan bekerja keras.

Pada tahun 2009, Umi pun mendaftar untuk bisa ikut Kejar (Kelompok Belajar) Paket B. Ia mengaku telah berusaha keras, tapi tetap sulit baginya untuk memahami pelajaran.

Iapun gagal. Namun, Ia mencoba lagi di kesempatan berikutnya, dan kembali gagal. Umi tidak menyerah dan mendaftar untuk ke-3 kalinya.

Umi akhirnya berhasil lulus, dan bahkan lulus dengan nilai terbaik di angkatannya. Tanpa ragu, ia langsung mendaftarkan diri untuk mengikuti Kejar Paket C.

“Mengapa baru mendaftar di tahun 2009? Padahal sudah bekerja sejak 1994?” tanya saya.

"Karena dulu saya tidak punya hari libur,” jawabnya.

Sejak awal bekerja, ia tidak pernah mendapatkan libur rutin. Umi merawat lansia tujuh hari sepekan, hingga akhirnya aturan lokal mengharuskan atasan memberikan libur sedikitnya satu hari setiap pekan.

Inilah yang menjadi celah bagi Umi untuk mulai mengejar pendidikan yang selama ini hanya tampak bagai impian yang tidak pernah bisa diraih.

Sejak itu, setiap akhir pekan datang, Umi tidak lagi pergi bersama teman-teman sesama asisten rumah tangga ke taman dan “nongkrong”, duduk-duduk, dan makan-makan.

Akhir pekan Umi dihabiskan di ruang kelas SIS, mengejar pelajaran yang tertinggal, dan mengerjakan tugas kuliahnya. Keesokan harinya, ia kembali bekerja seperti biasa.

Umi bisa dikatakan cukup beruntung. Selama 25 tahun berada di Singapura, ia tidak pernah berganti atasan.

Meski awalnya hubungannya dengan keluarga yang memperkerjakannya sempat kurang akur. Namun, seiring tahun berjalan, Umi maupun atasannya akhirnya bisa saling memahami.

Keluarga yang memperkerjakannyapun mendukung kebiasaan Umi mencoba berbagai kelas keterampilan yang disediakan KBRI Singapura, dan bisa memahami kalau Umi harus tidur larut malam untuk membaca buku dan mengerjakan tugas kuliahnya.

“Kalau namanya jaga orangtua kan harus nempel terus, takutnya dia kenapa-kenapa. Jadi tiap hari tidak ada waktu sendiri. Jadi kalau belajar saya harus tunggu sampai mereka tidur baru saya bisa buka buku,” ucap Umi.

Bahkan setelah lansia yang dirawatnya meninggal dunia, Umi terus dipekerjakan oleh keluarga yang sama. Umi disarankan untuk terus melanjutkan pendidikannya.

Gagal

Dua kali gagal Kejar Paket B ternyata tidak menjadi satu-satunya cobaan bagi Umi untuk meraih pendidikan.

Saat mengambil program sarjanapun, Umi sempat mengalami musibah. Nilai-nilai Umi selama tiga semester hangus karena kesalahan administrasi.

“Saya stres, saya sempat benar-benar kecewa. Tapi saya pikir ya mau bagaimana lagi, sudah tidak bisa saya kembalikan satu setengah tahun itu. Saya enggak mau semua kerja keras saya sia-sia, ya saya ulang tuga semester itu,” ungkap Umi.

Akhirnya melampaui kekecewaannya, dan berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya dalam 11 semester.

Suaranya bergetar menceritakan apa yang ia rasakan saat menghadiri wisudanya sendiri di Jakarta.

“Sampai sekarangpun saya suka enggak percaya kalau saya jadi sarjana. Yang pasti saya tidak bisa melakukannya sendiri, banyak sekali bantuan dari SIS, dari kedutaan, dari tutor, dari teman-teman sesama pekerja migran yang juga kuliah sambil kerja yang saling mendukung berbagi ilmu,” kata Umi dengan mata berkaca-kaca.


Lalu apakah setelag mendapat gelar sarjana, Umi akan berhenti dan mencari pekerjaan baru?

Ia menjawab, “Enggak Mas, enggak kepikiran begitu. Saya inginnya suatu hari bisa bikin sesuatu yang bisa bantu banyak orang, dan saya butuh pendidikan sarjana untuk membuatnya. Sekarang pun saya ngerasa belum cukup ilmunya,” ujar dia.

Umi melanjutkan bahwa sementara ini ia memutuskan untuk meneruskan pekerjaannya sebagai ART di Singapura, sambil memulai persiapan untuk mendaftar kelas pasca-sarjana tahun 2020.

Tidak Sendirian

Pertemuan dengan dengan Umi sebenarnya bukan kebetulan. Di hari yang sama, Duta Besar RI untuk Singapura Ngurah Swajaya memang terjadwal untuk menerima 13 PMI (Pekerja Migran Indonesia) yang baru saja lulus sarjana melalui program kerjasama KBRI dengan Universitas Terbuka.

Umi pun mengajak saya untuk ikut, mendengar perjuangan orang-orang untuk menjadi sarjana sambil tetap menjadi asisten rumah tangga. Bahkan ada yang sudah selesai S2.

Sore itu, bersama sang Duta Besar saya bertemu dengan semuanya. 13 sarjana yang belum sebulan diwisuda.

Ada yang mengambil jurusan Manajemen, Akuntansi, Sastra Inggris, dan bahkan Ilmu Pemerintahan.

Semuanya PMI di Singapura. Dengan semangat, para sarjana baru yang seluruhnya perempuan ini, bergantian bercerita.

Hampir setiap sore ia mengaku selalu pergi berbelanja ke pasar, padahal ia naik ke unit apartemen tempat temannya bekerja untuk membaca dan mengetik.

“Terus ketahuan enggak sama atasan?” tanya Dubes Swajaya.

“Ya ketauan Pak,” jawab Saryanti, disambut tawa seluruh ruangan.

“Atasan saya itu kenal sama atasan teman saya. Bosnya dia terus cerita kalau saya suka naik ke atas main-main komputer,” ujar Saryati.

Saryati mengaku sempat dimarahi oleh atasannya. Namun, bukan karena ia diam-diam bersekolah, tapi karena ia merasa harus berbohong untuk belajar, bahkan berbohong selama dua tahun.

Syukur, bukannya dipecat, atasan tersebut malah menawarkan untuk mengganti biaya kuliah yang sudah dikeluarkan, dan akan menanggung biaya kuliah yang masih tersisa.

Sarjana saja tidak cukup

Ada pula kisah Ester Mulatsari, PMI asal Blitar yang kini telah bergelar Magister Management.

Datang ke Singapura berbekal ijazah SMEA, Ester hanya ingin bekerja sebagai PMI untuk memperbaiki ekonomi keluarganya.

Tapi seperti Ibu Umi, ada sesuatu yang selalu mengganjalnya.

“Saya ingin lihat seperti apa dunia di luar sana, Mas,” aku Ester.

Sejak awal Ester sudah tahu bahwa yang ia inginkan adalah pendidikan formal. Meski ditawari mengikuti berbagai kelas keterampilan, tekadnya sudah bulat untuk mendaftar di Universitas Terbuka.

Sambil bekerja sebagai ART, Ester membagi waktunya untuk membaca bahan pelajaran sambil mengerjakan tugas tengah malam.

Tapi menyelesaikan S2 tidak sama dengan S1, pelajarannya lebih rumit, dan tugas-tugasnya lebih berat.

“Agar bisa selesai S2, butuh kerja 10 kali lebih keras daripada saat belajar untuk menyelesaikan S1,” ujar Ester.

Ester hidup dari tekad. Tidak ada yang bisa menghalanginya untuk memperoleh gelar pasca-sarjananya.

Benar saja, pada tahun 2017 ia pun berhasil diwisuda. Tawaran bekerjapun mulai berdatangan, termasuk tawaran untuk menjadi dosen di Batam.

Apakah ia lantas berhenti menjadi ART? Tidak juga.

“Saya masih merasa pengetahuan saya kurang. Kalau ada kesempatan, dan kalau ada yang membiayai, saya ingin lanjutkan ke jenjang S3,” ujar Ester.

Namun pendidikan yang ia tempuh tidak lantas sia-sia. Ester mengaku cara pikirnya berubah, pola hidupnyapun berubah.


Ester mengaku tidak akan bisa menyelesaikan S2 kalau tidak memperbaiki pola kerja dan pola hidup.

Apa yang dilakukan Ester kini menjadi lebih terstruktur dan terencana dalam menyelesaikan tanggung jawabnya. Hasilnya lebih baik.

Meski memutuskan untuk tidak mengambil pekerjaan sebagai dosen, Ester tetap membantu para PMI lainnya yang sedang menempuh pendidikan dengan menjadi tutor online mereka.

Di sana, Ester mengajar dan membimbing lebih banyak lagi PMI yang memiliki impian yang sama, untuk menjadi sarjana dan mengubah nasib mereka.

“Suatu saat nanti saya akan berhenti kalau saya sudah bisa membuat sesuatu yang membantu banyak orang seperti saya,” janji Ester.

Mungkin sebagian kita akan bertanya, mengapa mereka tetap menjadi ART meski telah bergelar sarjana? Tidakkah tujuan mereka mengambil pendidikan adalah agar bisa mencari pekerjaan baru dengan penghasilan yang lebih baik?

Dari pembicaraan saya dengan para PMI sarjana ini, tujuan mereka menempuh pendidikan bukanlah dilatarbelakangi dorongan pendapatan semata. Namun, keinginan memperbaiki kualitas diri dan membantu sesamanya.

Mereka punya mimpi, dan tentu perbaikan ekonomi menjadi salah satu tujuannya.

Tapi itu hanya salah satu, bukan tujuan utamanya. Pada dasarnya mereka hanya mencoba memenuhi hak mereka untuk memperoleh pendidikan, yang selama ini belum bisa mereka penuhi sebelum menjadi PMI.

Setelah itu terpenuhi, langkah selanjutnya bukan memperkaya diri, tapi bagaimana mereka bisa menggunakan pendidikan yang telah susah payah mereka raih untuk membangun sesuatu yang bisa membantu orang lain.

https://regional.kompas.com/read/2019/12/04/11130511/cerita-perjuangan-tki-di-singapura-mengejar-asa-hingga-meraih-sarjana

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke