Salin Artikel

Warung Mak Eha yang Melegenda: Pelanggannya Mulai Orang Belanda, Keluarga Soekarno hingga Artis

Orang-orang mengantre makanan yang disajikan secara parasmanan di atas meja. Ada gepuk, ayam goreng, ayam bakar, rendang, pepes jamur, sayur kepala kakap, dan tentunya tiga jenis sambal.

Di belakang meja, terlihat para pelayan begitu sibuk. Sedangkan di bagian kasir terlihat sang pemilik, Mak Eha.

Di usianya yang ke-89 tahun, ia masih terlihat bugar. Ia begitu gesit menghitung jumlah yang harus dibayar pelanggan. Ia pun akan mengingatkan jika ada makanan yang hampir habis.

“Segini mah (antrean) berkurang neng. Sekarang, pembelinya sedikit karena banyak warung makan,” ujar Mak Eha mengawali perbincangan dengan Kompas.com, belum lama ini.

Sambil membenarkan hijabnya, Mak Eha menunjukkan beberapa barang dan menceritakan kisah hidupnya dan Warung Ibu Eha (Mak Eha).

Warung ini dibuka thun 1947 oleh ibu kandungnya, Ibu Nok. Kemudian, sepulangnya Mak Eha dari Agresi Militer II di Yogyakarta, ia meneruskan warung tersebut.

“Dulu emak bagian koperasi (di TNI). Nyari beras ke sana ke mari untuk membantu kebutuhan para tentara. Di sana juga (Yogyakarta) bertemu bapak (suaminya yang juga tentara, Abdurrahman),” tuturnya.

Mak Eha mengungkapkan, tak ada yang berubah dari warungnya, baik menu maupun tempat. Bahkan minyak goreng dan bahan makanan lain yang digunakan masih sama.

Yang berubah hanya sebagian alat masak. Dulu ia menggunakan hawu (perapian). Kini ia menggunakan kompor gas.

Karena kalau pakai perapian ia harus memasang cerobong asap dan itu tidak memungkinkan.

Orang Belanda

Sejak berdiri, warung nasi ini selalu diburu pembeli. Orang Belanda yang masih ada di Indonesia menjadi pelanggan warung ini di awal pembukaan.

Ada beberapa menu yang disukai orang Belanda, seperti kentang ongklok, yakni kentang rebus yang penyajiannya dicampur susu murni. Namun menu itu kini tak dijual.

Selain orang Belanda, warung ini diburu kaum pribumi. Puncaknya di tahun 1960-1970an. Pada tahun-tahun itu, setiap hari warungnya menghabiskan 1 kuintal beras.

Orang yang makan di sana beragam dari mahasiswa hingga pejabat. Bahkan keluarga Soekarno kerap bolak-balik ke warung tersebut.

“Bu Hartini, istrinya Pak Soekarno yang suka datang kesini. Biasanya Bu Hartini beli udang juga otak,” tutur Mak Eha.

Anak-anak Soekarno seperti Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri kerap datang ke sini saat masih mahasiswa. Begitu pun Jeihan Sukmantoro, Bagir Manan, dan lainnya.

Tak hanya mahasiswa, artis dan pejabat pun kerap datang ke warung yang berada di tengah Pasar Cihapit tersebut.

Mak Eha menyebut beberapa nama seperti Abdullah Puteh, Adi Sasono, Dibyo Widodo, dan Bagir Manan. Kalau pejabat sekarang seperti Ridwan Kamil dan Oded M Danial menjadi pelanggannya.

“Artis juga suka datang ke sini. Emak lupa siapa saja,” tuturnya.

Mahasiswa dan “Tolombong” Bon

Pada masa kejayaannya, Warung Mak Eha populer di kalangan mahasiswa. Makanya tak heran jika Guntur dan Megawati suka makan di sini.

Namun, namanya mahasiswa, uang mereka terbatas apalagi jika kiriman dari orangtua terlambat datang. Alhasil, banyak mahasiswa yang ngutang di warung ini.

Saking banyaknya mahasiswa yang ngutang, tumpukan kertas kasbon begitu menumpuk. Mak Eha menggambarkannya seperti tolombong (tempat nasi yang besar).

“Satolombong mah aya,” imbuhnya.

Utang-hutang tersebut ada yang langsung dibayar begitu mahasiswa punya uang. Ada pula yang tidak dibayar.

Jika itu terjadi, Mak Eha mengikhlaskannya. Ia berpikir, mahasiswa tersebut belum punya uang makanya tidak bayar utang.

Uniknya, setelah bertahun-tahun, suka ada orang yang datang ke warungnya untuk makan sekaligus membayar utangnya saat masih mahasiswa.

Meski diutangi banyak orang, Warung Mak Eha malah semakin maju. Penghasilannya pun lumayan. Mak Eha menyebutnya mungkin itu berkah untuk diri dan warungnya.

“Tapi kalau sekarang nggak boleh ngutang. Minta boleh, ngutang jangan,” tuturnya.

Menapaki kenangan

Meski Mak Eha menyebut saat ini pengunjungnya berkurang, namun secara kasat mata, pengunjung warung ini masih membeludak.

Salah satu alasannya adalah kenangan. Sebab memasuki Pasar Cihapit dan mencicipi makanan Mak Eha bagi banyak orang seperti menapaki kenangan.

Tak heran jika ada turis Belanda yang tiba-tiba makan di sini untuk mengenang masa lalu. Ada pula orang-orang yang kini tinggal di berbagai negara sengaja makan di sini.

“Banyak yang suka reunian di sini,” tutur ibu dari 7 anak tersebut.

Salah satu pengunjung, Sukma (48) mengatakan, sejak kecil sering dibawa ibunya membeli makanan di warung ini.

Karena itu, jika ia kangen sang ibu yang sudah tiada, salah satu tempat yang dikunjungi adalah Warung Mak Eha.

“Rasa masakan Mak Eha itu selalu sama. Selalu cinta sama masakannya Mak Eha,” imbuhnya.

Mengenai kualitas makanan, almarhum Bondan Winarno pernah mengulasnya di Kompas.com beberapa tahun lalu.

“Mak Eha fully in charge. Ia bagaikan seorang matriach yang menjadi pusat dari semua kegiatan di warungnya,” kata Bondan.

Dengan punggung jari-jarinya ia menyentuh makanan-makanan yang disajikan untuk menguji suhu masing-masing. Bila perkedel sudah dingin, ia segera memerintahkan pegawannya agar menggoreng perkedel baru.

Ketika salah seorang pembantunya mengulek sambal, ia datang untuk mencicipi. Lalu menambahkan sedikit garam untuk menyeimbangkan cita rasanya.

“Mak Eha melakukan quality control secara terus-menerus terhadap masakannya. Mungkin itulah kiat sukses usahanya selama puluhan tahun ini,” tutur Bondan.

Warung Mak Eha buka setiap hari. Bagi yang tidak ingin kehabisan, datanglah sebelum jam 13.00 WIB.

Selain disajikan makanan lezat, pengunjung juga akan disuguhi pemandangan zaman dulu di warung ini. Mulai dari alat masak yang digunakan hingga foto lama Soekarno dan beberapa pahlawan yang terpajang di salah satu dinding warung.

https://regional.kompas.com/read/2019/12/04/09554931/warung-mak-eha-yang-melegenda-pelanggannya-mulai-orang-belanda-keluarga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke