Salin Artikel

Kisah Ridho, Perajin Eceng Gondok: Tembus Eropa hingga Omzet Rp 120 Juta Per Bulan

Meski hanya usaha sampingan di sela bercocok tanam, tetapi penghasilan mereka cukup besar untuk menopang ekonomi keluarga. 

Salah seorang penggagas kerajinan eceng gondok adalah Rasidha atau biasa dipanggil Ridho (48), warga Desa Ngeposari.

Awalnya, pria asal Cirebon, Jawa Barat, ini pindah ke Gunungkidul pada tahun 2002 sekaligus merintis usaha barunya, yaitu membuat berbagai perabotan yang terbuat dari eceng gondok.

"Warga sekitar bisa membuat tikar mendong. Saya berpikir, ini masuk jika dikembangkan dan diganti bahan menggunakan eceng gondok," katanya kepada wartawan, Sabtu (30/11/2019). 

Keberanian dan tekadnya tidak mudah, selama lima tahun pertama dirinya harus berjuang memperkenalkan anyaman produksi masyarakat itu. Mulai tahun 2007, produksi sudah diterima pasar.

Adapun kerajinan yang dibuat berupa keranjang hingga perabot rumah tangga. Kerajinan tersebut dihasilkan oleh tangan-tangan sekitar 300 warga Dusun Kangkung B dan Keblak, hingga warga di luar Desa Ngeposari.

Hasil produksinya diminati tak hanya konsumen dalam negeri, tetapi juga pasar kerajinan eceng gondok ke Australia dan Eropa.  

Untuk hasil kerajinan yang diminati adalah keranjang, yang digunakan warga Eropa menaruh kayu bakar untuk perapian. Sebab, jika rusak, warga di Eropa langsung membakarnya.

Sekarang omzetnya lebih dari Rp 120 juta per bulan.

"Produk kami juga diminati oleh masyarakat luar, dan kini sudah dipasarkan ke beberapa negara di Australia dan Eropa. Pasar ekspor lebih mendominasi," ujarnya. 

"Kalau kerja sama dengan orang luar negeri, terutama Eropa, mereka sangat disiplin. Jika saya telat beberapa hari, saya akan mendapatkan penalti yang harus saya bayarkan," katanya.

Ridho mengatakan, untuk menembus pasar Eropa dan negara lainnya, ia harus bekerja sama dengan delapan perusahaan. 

Diakuinya, ia tak mematok target produksi untuk setiap perajin. Selain karena sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga, pekerjaan sebagai perajin pun hanya sambilan.

Sementara untuk bahan baku diperoleh dari luar daerah, seperti Salatiga dan Demak, Jawa Tengah.

Pada musim hujan, Ridho mengaku menghadapi kendala, yakni sulitnya mendapatkan bahan baku.

Sebab, pada musim hujan, para pencari eceng gondok akan kembali pada pekerjaan sebagai petani.

"Kedua, sulit mendapatkan eceng gondok yang sudah kering karena minimnya sinar matahari untuk menjemur," ucapnya. 

Mayoritas perajin eceng gondong di Desa Ngeposari, Kecamatan Semanu, berasal dari kalangan ibu-ibu.

Setelah tugas sebagai ibu rumah tangga beres, mereka membantu mengamankan ekonomi keluarga.

Seorang warga, Sri Handayani, mengatakan, ia sudah menjadi perajin eceng gondok sejak 2002.

"Pendapatan sehari Rp 60.000. Bisa lebih kalau memang fokus dan mengesampingkan pekerjaan lain. Tapi namanya ibu-ibu ya, pekerjaannya banyak. Selain mengurus rumah tangga, juga ada kegiatan lain," ucapnya. 

Saat ini Sri juga menjadi mentor bagi perajin lain untuk melatih mengemas bahan mentah menjadi produk kerajinan jadi.

"Jadi, bayarannya setiap dua minggu sekali. Cukuplah untuk bantu-bantu bapak (suami) mencukupi kebutuhan keluarga," ujarnya. 

Menurut dia, melatih ibu-ibu di desanya tak begitu sulit karena mereka mempunyai keinginan untuk belajar.

"Kalau memiliki semangat belajar tinggi, biasanya tidak sampai satu minggu pasti sudah bisa," ucapnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/12/02/10480561/kisah-ridho-perajin-eceng-gondok-tembus-eropa-hingga-omzet-rp-120-juta-per

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke