Salin Artikel

Kak Seto: Kebiri Kimia Harus Dimaknai Pengobatan, Bukan Hukuman

Menurutnya, hukuman kebiri kimia jangan diartikan sebagai aksi balas dendam, tetapi upaya rehabilitasi dan pengobatan.

"Jika kebiri kimia dimaknai balas dendam, maka setelah menjalani kebiri kimia, pelaku akan melakukan dengan cara lebih sadis lagi," terang Kak Seto di Markas Polda Jatim, Jumat (29/11/2019).

Kebiri kimia, kata dia, harus dimaknai sebagai pengobatan dan upaya rehabilitasi karena libidonya terlalu tinggi.

"Karena itu sebelum dilakukan kebiri kimia perlu ada pendekatan psikologis dan atas kesadaran sendiri bahwa libidonya terlalu tinggi karena itu perlu dilakukan hukuman yang tidak menyakitkan," ujarnya.

Kebiri kimia, kata dia, sempat ditolak oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), karena hal itu dimaknai sebagai hukuman.

"Dokter pasti menolak karena dokter itu mengobati, bukan menghukum. Lain jika kebiri kimia dimaknai sebagai pengobatan atau rehabilitasi," ujarnya.

Meski aturan teknis tentang hukuman kebiri kimia belum turun, namun 2 orang terpidana pelaku pencabulan anak sudah mengantre.

Keduanya adalah Rahmat Santoso Slamet (30), pembina kegiatan Pramuka asal Surabaya, dan Muhammad Aris, pemuda 20 tahun asal Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Rahmat Santoso Slamet selain divonis kebiri kimia selama 3 tahun, dia juga divonis penjara 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya.

Rahmat Santoso diamankan Polda Jatim pada Juli 2019 lalu. Dia adalah seorang pembina gerakan Pramuka di Surabaya. Dengan dalih latihan Pramuka di rumahnya, dia melakukan pencabulan terhadap anak didik laki-laki.

Pelaku merayu para korban untuk menghadiri pendalaman materi Pramuka di rumahnya agar menjadi tim Pramuka elite.

Berdasarkan laporan yang masuk ke polisi, hingga saat ini anak yang mengaku menjadi korban sebanyak 15 anak. Mereka bukan hanya siswa Pramuka, anak tetangga juga kerap menjadi korban.

Selain Rahmat Santoso Slamet, Muhammad Aris juga divonis hukuman yang sama. Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PN Mojokerto nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk tanggal 2 Mei 2019. Selain vonis kebiri kimia, Aris juga dihukum 12 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Vonis penjara untuk Aris dari PN Mojokerto lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kendati demikian, Aris masih saja mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya. Para hakim PT pun menguatkan putusan PN Mojokerto. Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PT Surabaya nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY tanggal 18 Juli 2019.

Aris disebut memperkosa 9 anak di Mojokerto dalam kurun waktu 2015-Oktober 2018. Aris memerkosa korbannya di tempat sepi. Bahkan dia juga pernah melakukan aksi bejatnya itu di kamar mandi masjid.

Menurut Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Herry Pribadi, meski sudah ada terpidana, namun untuk saat ini acuan teknis hukuman kebiri kimia belum bisa dilaksanakan karena peraturan pemerintah (PP) yang mengatur belum ada.

"Tapi saya dengar PP-nya sebentar lagi turun. Drafnya sudah di sekretaris kabinet," ujarnya, Selasa (19/11/2019).

Meski begitu dia memastikan hukuman kebiri kimia akan dapat dilaksanakan setelah para terpidana menjalani hukuman badan sesuai bunyi putusan hakim.

"Yang pasti hukuman kebiri kimia bukan permanen, namun hanya sementara untuk membuat terpidana jera sehingga tidak melakukan aksi yang sama karena dampaknya bisa merusak masa depan anak," ucapnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/11/29/15280551/kak-seto-kebiri-kimia-harus-dimaknai-pengobatan-bukan-hukuman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke