Salin Artikel

Dilema Pabrik Tahu Gunakan Limbah Plastik untuk Produksi, Biaya Murah, tapi Dianggap "Racuni" Indonesia

Selama itu Gufron memanfaatkan sampah plastik untuk bahan bakar memasak kedelai menjadi tahu.

Sampah plastik dipilih karena harganya murah, lebih cepat panas, dan nyalanya lebih lama.

Gufron tidak sendiri. Ada puluhan pengusaha tahu di sentra industri Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Sidoarjo. Seperti Gufron, sebagian besar pengusaha menggunakan limbah plastik impor untuk bahan bakar.

Biasanya mereka membeli limbah plastik dari perusahaan kertas dengan harga Rp 200.000 per truk. Limbah tersebut bisa digunakan untuk memproduksi tahu selama empat hari.

"Saya punya pabrik tahu sudah berjalan tiga tahun dan sejak awal menggunakan sampah plastik. Kenapa menggunakan sampah plastik, ya karena lebih murah, lebih cepat panas, lebih kuat, dan lebih lama habis," kata dia, Selasa (26/11/2019).

"Limbah sampah plastik yang dibakar itu polusinya bukan main, polusi di udara tidak bisa hilang, dan mencemari udara kita," kata Saiful Ilah.

Ia mengatakan, pengusaha tahu harus beralih menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, seperti pelet kayu, walaupun biaya produksi lebih mahal.

"Penjualan tahu dinaikkan sedikit-sedikit tidak masalah. Masyarakat pasti tidak mempermasalahkan adanya kenaikan karena mereka tahu bahan bakar yang ramah lingkungan itu sedikit lebih mahal," ujar dia.

Ia mengklaim pelet kayu adalah bahan bakar yang ramah lingkungan dengan kadar CO2 yang rendah sehingga menghasilkan pembakaran yang sempurna.

Rencananya, para pengusaha tahu akan mendapatkan subsidi pelet kayu sebagai bahan bakar.

"Ya, awalnya nanti kita subsidi. Kita akan bicarakan dengan ibu gubernur. Karena di sini ada Pak Drajad sebagai kepala dinasnya (Disperindag Jatim). Nanti bisa kita bicarakan bersama. Pasti kita bantu," imbuh Saiful.

Pernyataan tersebut disayangkan oleh pengusaha tahu karena hampir 20 tahun mereka menggunakan limbah plastik sebagai bahan bakar.

"(Penggunaan plastik impor) sudah sejak zaman dulu digunakan (sebagai bahan bakar pembuatan tahu). Siapa bisa melarang? Ya tidak bisa," ujar Gufron.

"Kenapa tidak dari dulu, kenapa baru sekarang dilarang?" katanya.

Menurut dia, solusi bahan bakar menggunakan wood pellet atau pelet kayu tidak tepat karena diinilai terlalu mahal dan proses perapian tidak stabil.

Selain itu, mereka juga harus mengganti mesin ketel senilai puluhan juta rupiah.

"Sebenarnya memang lebih enak pakai kayu bakar, tapi mesin ketel harus diganti. Harga ketel ada yang Rp 65 juta, Rp 80 juta, tergantung kualitas. Bahkan ada yang sampai Rp 200 juta," ujar dia.

Namun, jika memang harus berganti bahan bakar maka dia meminta bantuan berupa mesin ketel sebagai alat produksi berbahan bakar kayu.

Hal senada juga dikatakan Agus Suyanto, pengusaha tahu. Menurut dia, bahan bakar pengganti tidak sesuai dengan alat produksi.

"Kurang enak ya kalau pakai itu (pelet kayu). Cost-nya juga mahal," tutur dia.

Organisasi non-profit, International Pollutans Elimination Network (IPEN) menemukan adanya kandungan polutan berbahaya di telur ayam yang diproduksi di Desa Bangun.

Polutan tersebut bisa menyebabkan penyakit kanker, parkinson, hingga cacat saat lahir.

Temuan tersebut dirilis dalam laporan berjudul Plastic Waste Poisons Indonesia's Food Chain atau Sampah Plastik Meracuni Rantai Makanan Indonesia.

Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa Desa Tropodo dan Desa Bangun setiap hari menerima 50 ton plastik berkualitas rendah dari sampah plastik yang dimpor Indonesia.

Di Desa Tropodo disebutkan bahwa sampah plastik digunakan untuk bahan bakar pembuatan tahu dan di Desa Bangun sampah plastik ada yang ditimbun dan dibakar di area terbuka.

Akibatnya, telur dan ayam di dua desa tersebut tercemar oleh limbah plastik yang dibakar.

Ada lima besar negara uang mengespor sampah palstik ke Indonesia pada tahun 2018, yakni Australia, Jerman, Kepulauan Marshall, Belanda, serta AS.

Timbunan sampah plastik juga ditambah dengan produksi sampah palstik dalam negeri, yakni 9 ton plastik setiap tahun.

"Sampah plastik yang tidak diinginkan lalu dibeli oleh para broker, pedaur ulang kecil, atau 'disumbangkan’ kepada komunitas sebagai bagian dari program pengembangan komunitas dari pabrik kertas," tulis IPEN.

Sampah-sampah plastik berkualitas rendah itu kemudian berakhir di penimbunan terbuka atau open dumps, pabrik tahu, pabrik kapur, atau tempat-tempat di mana masyarakat membakar plastik sebagai bahan bakar.

Menanggapi hal itu, Bupati Sidoarjo Saiful llah sudah meminta kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk melarang impor sampah plastik ke Indonesia, khususnya di Jawa Timur.

Ia juga tidak ingin pencemaran akibat pembakaran limbah sampah plastik dari pabrik tahu itu semakin meluas dan berdampak terhadap kesehatan sehingga pengusaha harus menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.

Apalagi, telah ditemukan sampel telur ayam di Malang mengandung racun karena tercemar pembakaran sampah plastik di pabrik tahu di desa tersebut.

Saiful sendiri baru mengetahui penggunaan limbah plastik untuk bahan bakar pembuatan tahu sudah dilakukan selama 20 tahun.

"Ya, 20 tahun kita enggak tahu. Tahu-tahu kita ada berita telur mengandung racun, masak kita teruskan. Apalagi nanti (pencemaran) sampai (menyebar) ke yang lain, makanan ternak yang lain," kata Saiful.

Menurut dia, saat ini semua pihak harus berbenah dan membiasakan diri untuk hidup lebih sehat.

"Sekarang ini kita mulailah untuk membenahi masyarakat kita supaya hidup sehat. Ya kita pakai bahan-bahan yang sehat dan ramah lingkungan," ujar Saiful.

Deklarasi tersebut digelar bersama Pemkab Sidoarjo di Dusun Areng-Areng, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Sidoarjo, Jawa Timur.

Ada enam poin deklarasi yang dibacakan tiga perwakilan pengusaha tahu di Desa Tropodo.

Pertama, para pengusaha menyatakan tidak akan menggunakan bahan bakar sampah plastik pada proses pembuatan tahu.

Kedua, para pengusaha akan menggunakan bahan bakar alternatif yang aman dan ramah dari lingkungan.

Ketiga, para pengusaha tidak akan menimbulkan polusi yang berdampak pencemaran lingkungan.

Keempat, para pengusaha menanti segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Kelima, para pengusaha aka menjaga kualitas tahu yang dihasilkan.

Keenam, para pengusaha akan mengurangi emisi gas buang pada proses produksi.

Gufron, salah satu pengusaha tahu yang ikut dalam acara deklarasi, berjanji tidak akan lagi menggunakan limbah plastik. Namun, mereka meminta bantuan mesin ketel agar mereka tetap bisa produksi tahu.

"Kayu bakar ini merupakan solusi terbaik karena mudah didapatkan. Cuma itu tadi, pemerintah mesti memberi bantuan mesin ketel," ujar dia.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Ghinan Salman, Rosiana Haryanti | Editor: Farid Assifa, Dony Aprian, Sari Hardiyanto, David Oliver Purba)

https://regional.kompas.com/read/2019/11/28/06160021/dilema-pabrik-tahu-gunakan-limbah-plastik-untuk-produksi-biaya-murah-tapi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke