Salin Artikel

Tangannya Menggantung-gantung Patah Belasan Tahun, tapi Sonto Wiryo Tetap Semangat Bekerja

Sonto bertubuh mungil sekitar 150 cm. Garis keriput memenuhi wajahnya. 

Ia muncul dari balik kebun yang sepi sambil memikul tumpukan bongkok atau dahan kering pelepah kelapa. Tumpukan yang dipikulnya itu lebih panjang dan lebih lebar dari ukuran tubuhnya. Tapi, si kakek tetap saja tenang berjalan, seolah bongkok bukan beban.

Warga memanggilnya Mbah Sonto. Hari-hari mencari bongkok yang digunakan sebagai bahan bakar memasak nira menjadi gula kelapa. Produksi gula kelapa ini dijalani bersama Mujikem (80 tahun), istrinya.

"Niki ngangge genen (ini untuk pengapian tungku)," kata Sonto, Minggu (17/11/2019). Sonto masih memikul bongkok di bahu kiri. Ujung bibirnya sering kali menyungging senyum.

Kakek Sonto seperti halnya warga lain, sejatinya tampak biasa saja. Namun, Sonto menarik perhatian lantaran lengan atas sebelah kanan patah sehingga lengan bawahnya menggantung. 

Daging lengan atas yang biasanya otot berganti bulat tonjolan tulang patah. Kondisi ini dibiarkannya selama lebih 19 tahun sampai sekarang. 

"Niki patah. Mboten saget (tangan diangkat). Kulo dawah saking inggil," kata Sonto. Ia mencoba menjelaskan bahwa tangannya patah karena terjatuh dari ketinggian. Suaranya terdengar parau dan seperti hampir habis ketika berbicara. 

"Tulang itu nggantung tertahan urat dan otot saja," kata Barno (48), anak Sonto yang paling bungsu.

Dalam perjalanan waktu, kondisi kakek renta Sonto pun menjadi pemandangan biasa.

"Dengan kondisi seperti itu, warga sangat memahami. Misal dia tidak ikut kegiatan di warga, warga mengerti," kata Nartono (44), tetangga dekat sekaligus kerabat si kakek di Crangah.

Tangan kanannya memang tidak digunakan maksimal, tapi Sonto tidak terlambat mencari ramban pada pukul 06.00. Ramban sebutan bagi pakan sapi atau kambing. 

Ia juga rajin mencari kayu bakar dari blarak kering atau pelepah pohon kelapa yang gugur dan kering di kebun-kebun tak bertuan. Ia mencari pakan ternak naik turun di antara tebing, jurang dan lereng bukit ekstrem khas kontur Dusun Crangah. 

Ia tak lupa merapikan ramban dan bongkok sepulang ke rumah. Ia bekerja sampai menjelang sore. 

Begitu terus setiap hari. "Palingan hanya pulang istirahat siang 1 jam lalu pergi lagi mencari ramban," kata Barno. 

Sementara itu, warga juga menilai aksi sosial pria kelahiran tahun 1935 ini baik. Nartono bercerita, Sonto suka terlibat dalam kerja bakti. Ia menunjukkan bahwa keterbatasan manusia bukan halangan. Sonto masih mampu mengangkat pacul hingga memecah batu.

Soal sumbangan juga serupa. "Jiwa sosialnya besar. Saat mau ada kegiatan sadran, dia duluan menyumbang. Orang lain belum," kata Nartono.

Sonto menjalani masa muda sebagai penderes nira kelapa. Ia melakukan pekerjaan ini sejak masih bujang. Ia bisa memanjat 20 pohon di kebun miliknya setiap hari kala sehat bugar. Mujikem yang memasak nira jadi gula. Produksi gula merah ini menjadi penghasilan utama mereka.

Musibah jatuh dari pohon membuat rumit keadaan belasan tahun silam. Musibah mengakibatkan lengannya patah. Kini, suami istri ini mengandalkan cucunya untuk menyadap nira. 

Sonto dan Mujikem kini menghabiskan sisa hari untuk membuat gula nira kelapa. Sonto mencari bongkok sebagai bahan bakar produksi gula. Mujikem memasak gula. Mereka berdua membuat 1-4 kilogram gula merah setiap hari. Mereka menghasilkan Rp 50.000 setiap dua hari.

"Palingan dapat uang 2 hari sekali dari gula" katanya.

Sonto nekat memotong sekalipun Mujikem sudah mengingatkan bahwa daya tolak dahan pohon bisa berbahaya. 

"Baru sekali tebas dahan langsung patah dan pohon langsung tegak. Dia ini terlempar melewati pohon durian dan berhenti karena terbentur pohon kajar," kata Nartono. 

"Tingginya 9 meter," kata Sonto mengenang tragedi itu.

"Kejadian itu 2001. Saya dan kakak yang menolong pertama kali Pak Tua," kata Nartono.

Sonto masih setengah baya ketika itu. Ia dalam kondisi sadar setelah terjatuh. Tapi, ia muntah darah tak lama kemudian. Ia dilarikan ke RSUD Wates,  lantas dirujuk ke Yogyakarta. Ia dirawat selama 3 bulan di sana. 

Masa pengobatan itu menghabiskan harta. Ia terpaksa menjual kebun sekitar 3.600 meter persegi berisi pohon durian, manggis dan petai. 

"Kebun dijual karena punya utang dan biaya kontrol terus ke RS. Belum lagi untuk makan. Dulu belum ada BPJS dan bantuan-bantuan lain. Informasi juga tidak mengalir cepat seperti sekarang," kata Nartono. 

Penyembuhan pada luka dalam itu membuat Sonto terlambat untuk mengembalikan tangannya yang patah jadi dua. Awalnya tangan itu hanya digibs. Tulang malah tidak menyambung secara sempurna. 

Akibat kecelakaan kerja itu, Sonto juga sampai kehilangan suaranya. "Yang tersisa adalah suaranya yang parau," kata Nartono.

Lebih 19 tahun berlalu, Sonto mengaku tidak perlu lagi ada kesembuhan dan pemulihan pada tangan kanannya. Ia akan membiarkannya seperti apa adanya.

"Mboten. Ora (tidak mau/tidak perlu disembuhkan)," katanya sambil geleng-geleng. Lagi-lagi ia menjawab sambil tersenyum simpul. Ia juga memastikan patahan itu tidak lagi sakit, ngilu, kram, atau pedih. 

Ia bahkan diam saja ketika lengan patah itu diraba, dipegang bahkan ditekan. Hanya orang lain yang memandang terbelalak seolah ikut  merasa ngilu. 

Lagipula tangan kiri sudah bisa menjadi andalan baik untuk menyabit, memacul, memanggul. Tangan kanan memang masih bisa digunakan meski tidak sempurna. Ia hanya memakai tangan kanan untuk menahan dengan tekanan ringan saja.

"Lengan kanan ini hanya untuk nglawehi atau membantu. Kiri yang utama. Kalau mau salaman, yang kiri mengangkat dan membantu tangan kanan," kata Nartono.

Nartono menilai, Sonto mungkin sudah merasa nyaman dengan keadanya sekarang sehingga tidak perlu lagi ada rekayasa tulang padanya.

Rumah terlihat jauh di bawah jurang maupun di atas tebing. Satu rumah ke lainnya terpisah kebun lebar. Rumah Sonto juga berada di tebing yang curam. 

Sonto dan Sajikem tinggal di sana sejak awal. Keduanya ditemani anak dan cucunya kini.

Mereka tinggal di rumah sederhana dari dinding kayu dan asbes. Semuanya tertata baik. Kandang kambingnya juga terlihat rapi di halaman depan rumah yang bersih.

Lantainya separuh sudah semen halus. Semua terlihat rapi juga bersih. "Rumah bikin sendiri. Dinding sendiri. Membangun sendiri. Lantai ini (semen) dibantu anak-anak," kata Sajikem.

Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) untuk Desa Hargotirto, Rina Rohman Iyati mengungkapkan, kehidupan Sonto dan Mujikem mendapat perhatian pemerintah lewat bantuan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia.

Lansia ini memperoleh bantuan tunai yang disalurkan 4 kali dalam satu tahun dengan total Rp 5.000.00 untuk tahun 2019. Bantuan lain, kata Rina, juga mengalir dari pemerintah daerah. 

Terdapat 596 keluarga penerima manfaat PKH di desa ini, baik untuk kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas dan lansia. Masing-masing punya latar belakang iba sebagai keluarga miskin.

Khusus untuk lansia, menurut Rina, bantuan pemerintah sejatinya untuk menjaga kualitas kesehatan dan gizi lansia agar mereka bisa terus beraktivitas secara baik di usia senja. 

"Salah satunya bisa rutin cek kesehatan atau ke posyandu (lansia). Dengan harapan, mereka tetap bisa hidup secara terawat dan tidak tersia-sia," kata Rina via telepon, Selasa (19/11/2019). 

https://regional.kompas.com/read/2019/11/20/09103591/tangannya-menggantung-gantung-patah-belasan-tahun-tapi-sonto-wiryo-tetap

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke