Salin Artikel

Selamat Berpulang Mas Djaduk...

Tiba di rumah, Djaduk langsung beristirahat. Tidak lama kemudian dia terbangun dan merasa kesakitan. Saat itu ia merasa kesemutan dan bicaranya sudah tidak jelas.

Djaduk mendapatkan serangan jantung. Pihak keluaga segera memanggil dokter dari RS JIH untuk memeriksa.

Dokter yang memeriksa memastikan bahwa Djaduk meninggal dunia.

Rabu (13/11/2019) sekitar pukul 02.30 WIB, seniman kelahiran Yogyakarya itu meninggal di pangkuan istrinya d usia 55 tahun.

Di padepokan tersebut, dilaksanakan misa requiem yang dipimpin oleh Romo Gregorius Budi Subanar, SJ.

Sekitar pukul 15.51 WIB, ambulans yang membawa peti mati Djaduk tiba di makam keluarga Sembungan, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.

Makam keluarga tersebut tak jauh dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja.

Prosesi pemakaman inisiator gelaran Ngayogjazz selesai sekitar pukul 17.30 WIB.

"Atas nama keluarga, saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas kesediaan dan waktunya bersama-sama disini, mengantar Bapak pulang," ujar putra nomor tiga almarhum Djaduk Ferianto, Gallus Presiden Dewagana usai upacara pemakaman, Rabu (13/11/2019).

Ayahnya Bagong Kussudiarja adalah seorang koreografer dan pelukis senior. Ia memiliki padepokan seni yang digunakan sebagai pusat latihan tari.

Djaduk adalah adik bungsu dari Butet Kartaredjasa.

Pada tahun 1972, pria jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta itu mendirikan kelompok musik anak-anak Rheze dan grup musik Wathathitha di Taman Madya Taman Siswa.

Grup yang dibentuk Djaduk, Wathathitha keluar sebagai Juara I Lomba Musik Humor Tingkat Nasional pada tahun 1978.

Dilansir dari pemberitaan Kompas.com, Rabu (13/11/2019)), Djaduk membentuk Orkes Keroncong Sinten Remen yang dilebur dari dua grup keroncong binaan Djaduk.

Selain Sinten Remen, Djaduk juga membina grup musuk Kua Etnika.

Selama ini Djaduk dikenal sangat piawai mengolah musik kolaborasi  antara tradisonal dan modern. Ia juga membuat lagu rohani di album Dia Sumber Gembiraku.

Kepada Jodhi Yudono, penulis di Catatan Kaki Jodhi Yudono di Kompas.com, Kamis (24/10/2013), Djaduk smepat menggambarkan arti dari menghadirkan musik jazz di desa.

"Sekarang saya menjadi penggagas sebuah event dan punya beberapa ruang di festival seperti Ngayogjazz, Jazz Gunung, kemudian ada yang berskala dunia dan punya jaringan ke internasional, tetapi semua saya meyakini basik saya adalah tradisi."

"Kami melihat potensi yang luar biasa di tradisi itu, hanya memang persoalan yang muncul adalah tarik-ulur. Kami mempercayai tradisi kan selalu berkembang, jadi kami sangat membuka diri pada tradisi, karena kami juga tidak mau terkungkung dalam tradisi," kata Djaduk kepada Jodhi Yudono, kala itu.

"Kami akhirnya bergaul dengan tradisi-tradisi lain untuk menjawab suatu tantangan. Kami harus mengembangkan tradisi itu, yang tidak ada harus kita bangun yang baru, yang sudah tidak zamannya kita buang."

"Djaduk itu orangnya baik," kakak Kandung Djaduk Ferianto Otok Bima Sidharta saat ditemui dirumah duka Kembaran, Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Rabu (13/11/2019)

Otok bercerita bahwa adik bungsunya adalah pribadi yang serius saat mengerjakan apapun. Namun Djaduk juga sosok yang humoris dan mudah bergaul dengan siapa saja.

Menurutnya, Djaduk memilih berkecimpung di kesenian walaupun sang ayah tidak pernah memaksa anaknya mengikuti jejaknya.

Dari tujuh bersaudara, ada empat anak Bagong Kussudiardjo yang berkecimpung di dunia kesenian.

"Yang menjadi seniman ada tiga orang, sebenarnya empat, tetapi satu sudah meninggal. Ada Mba Ita seniman tari, saya karawitan, Butet seni monolog dan segala macam seni, kemudian Djaduk seni musik," tegasnya.

Hal yang sama juga disampaikan Butet Kartaredjasa. Ia mengatakan kakaknya sangat serius menggarap Ngayogjazz 2019.

Ia mengatakan, pada acara yang digelar 3 hari lagi itu, Djaduk sudah meminta penggagas Ngayogjazz untuk naik ke panggung mendampingi Menko Polhukam Mahfud MD membuka acara tersebut.

"Dia memang dikenal pekerja keras, penuh disiplin, menyiapkan segala sesuatunya secara perfeksionis," ucapnya.

"Sehingga saya bisa memahami dari setiap persiapan-persiapan yang dilakukan itu menyedot energy, menyedot konsentrasi yang berlebih dari dosisnya. Dan itulah Djaduk," tambahnya.

Butet berharap, Ngayogjazz bisa terus dilanjutkan walaupun Djaduk telah meninggal

Gelaran Ngayogjazz 2019 rencananya digelar pada Sabtu (16/11/2019) di Padukuhan Kwagon, Desa Sidorejo Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman.

"Yang pasti mudah-mudahan Ngayogjazz bisa terus diwujudkan, dilaksanakan tanggal 16 November ini sebagai monumen terakhirnya Djaduk," ujarnya.

Bahkan Djaduk dan kakanya, Butet sempat pergi ke Table Mountain, Afrika Selatan.

Kala itu, Djaduk bercerita pada kakaknya bahwa ia sudah menemukan melodi yang akan dimainkan di Cape Town Jazz.

Djaduk melaporkan kepada saya kalau dia sudah menemukan melodi yang akan dimainkan untuk satu komposisi, kolaborasi dengan para pemusik dari Afrika itu. Dia lalu bersiul-siul dan direkam melodi itu," katanya.

Setelah Djaduk meninggal, Butet izin kepada istri Djaduk untuk membuka ponselnya agar bisa mencari melodi tersebut.

Ia berharap musisi Kua Etnika binaan Djaduk bisa memuwujudkan komposisi yang ditemukan Djaduk di puncak gunung.

"Mudah-mudahan kawan-kawan Kuaetnika yang sudah biasa bekerja sama dengan Djaduk bisa mewujudkan komposisi melodinya yang sudah ditemukan di puncak gunung yang sangat tinggi itu," tutur Butet sambil menahan tangis.

Selamat berpulang Mas Djaduk...

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Wijaya Kusuma, Dandy Bayu Bramasta, Kurnia Sari Aziza | Editor: Khairina, Kurnia Sari Aziza, Sari Hardiyanto, Michael Hangga Wismabrata, Aprillia Ika, Farid Assifa)

https://regional.kompas.com/read/2019/11/14/05160071/selamat-berpulang-mas-djaduk--

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke