Salin Artikel

Kisah Orangutan Junai yang Buta Tertembus Peluru, Melanjutkan Hidup di Gunung Tarak

Saat diselamatkan Junai dalam kondisi memprihatinkan. Tubuhnya kurus dan mata kiri buta yang setelah diperiksa oleh tim medis, ternyata ditemukan dua butir peluru di dalam tengkorak tepat di belakang bola matanya.

"Sungguh suatu mukjizat ia bisa bertahan hidup dengan kondisi tersebut," kata Argitoe Ranting, Manager Survey, Release, dan Monitoring IAR Indonesia, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (12/11/2019).

Setelah sebulan menjalani masa pemulihan di IAR Indonesia yang memiliki fasilitas perawatan bagi satwa liar terutama orangutan, Junai dinilai siap untuk kembali hidup di habitat alaminya.

Menurut Argitoe, kedua peluru di belakang mata kirinya diputuskan tak diambil dengan pertimbangan bahwa operasi yang akan dilakukan sangat berisiko mengancam keselamatannya.

Gunung Tarak yang berada tidak jauh dari kawasan Taman Nasional Gunung Palung pun akhirnya dipilih sebagai lokasi pelepasliarannya.

Di kawasan hutan lindung gunung ini, IAR Indonesia bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah Ketapang Selatan, dan Balai Taman Nasional Gunung Palung melepaskan Junai, Senin (11/11/2019).

Kejadian tragis orangutan

Kepala Balai Taman Nasional, M Ari Wibawanto mengatakan, kejadian yang dialami Junai, hanya kejadian yang kebetulan dapat ditemui atau di permukaan saja, sebab masih banyak kejadian-kejadian tragis yang dialami oleh orangutan lainnya.

"Hal itu menyadarkan kita bahwa sampai saat ini masih ada sebagian dari masyrakat yang masih belum mampu atau mau untuk hidup berdampingan dangan orangutan, dan mungkin belum mau bersahabat dengan alam," kata Ari.

Tugas penyadartauan terkait satwa dan habitatnya tidak hanya tugas pemerintah tetapi tugas seluruh masyrakat untuk bersama sama.menjaga alam dan segala isinya.

"Mari bersahabat dengan alam," ajaknya.

Tempuh waktu 12 jam

Kegiatan pelepasan ini menempuh waktu sekitar 12 jam menggunakan kendaraan mobil dan menempuh perjalanan kaki menuju titik pelepasan.

Pelepasliaran di Gunung Tarak ini merupakan kali pertama sejak terakhir kali melepasliarkan orangutan bersama BKSDA Kalbar dan KPH Ketapang Selatan pada 2017.

"Total sudah 15 orangutan dilepaskan di kawasan ini sejak tahun 2014," lanjutnya.

Untuk memastikan kondisi Junai terus selamat dan mampu melanjutkan hidupnya, IAR Indonesia menempatkan tim patroli dan monitoring yang telah berada di sana sebagai bagian dari prosedur yang ditetapkan IAR Indonesia dalam program pelepasliaran orangutan.

Meskipun salah satu matanya mengalami kebutaan, tim pelepasan yakin bahwa hal tersebut tidak akan mengurangi kemampuannya untuk bertahan hidup selayaknya orangutan.

Dia menjelaskan, orangutan dikenal sebagai satwa cerdas dengan tingkat kemampuan adaptasi yang tinggi.

“Kehilangan satu matanya tidak akan berpengaruh banyak dalam kemampuan bertahan hidupnya karena kemampuan adaptasi orangutan cukup bagus di alam liar. Kami yakin Junai akan baik-baik saja dan senang dengan rumah barunya ini,” tambahnya.

Korban karhutla

Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L Sanchez berujar, orangutan Junai ini adalah salah satu korban kebakaran hutan dan lahan pada bulan kemarin.

"Kita sangat sedih melihat areal yang telah terbakar di sekitar kawasan hutan yang menjadi habitat orangutan Junai," ucapnya.

Menurut Karmele, orangutan yang terpaksa kehilangan habitat tidak jarang masuk di areal kebun warga atau areal kampung. 

Di mana kadang ada juga masyarakat yang sangat tidak bertanggung jawab yang hanya ingin ‘bermain-main’ dengan menyakiti orangutan dengan menembak peluru pada matanya.

Jika peluru sampai kena kedua matanya, orangutannya bisa menjadi cacat untuk selamanya dan kesulitan untuk melanjutkan hidupnya.

"Kami sangat yakin bahwa sebagian dari masyarakat di Ketapang, dan di seluruh Kalimantan tidak menyetujui dengan cara tersebut," terangnya.

Bangun pola pikir masyarakat

Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sadtata Noor mengatakan, sebagai penggiat konservasi, mereka mempunyai satu pekerjaan rumah, yakni membangun pola pikir masyarakat untuk lebih peduli pada hutan, ekosistem dan satwa liar.

Menurut dia, kerja-kerja konservasi sudah banyak dilakukan, tapi penganiayaan terhadap satwa liar masih saja terus berlangsung.

"Penyelamatan satwa liar sudah sering dilakukan, namun itu tidak akan pernah cukup selama kita tidak mampu merubah mindset masyarakat dan generasi muda untuk lebih ramah pada satwa liar," kata Sadtata.

Orangutan terancam punah

Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Kalimatan Barat, Untad Dharmawan menambahkan, pelepasliaran satwa liar ke habitat aslinya pada dasarnya bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekologis pada suatu ekosistem dalam hal ini adalah ekosistem hutan.

Hal itu, karena masing-masing dari setiap komponen yang ada dalam kesatuan ekosistem tersebut pada dasarnya memiliki peran dan relung ekologisnya masing-masing sehingga akan tercipta suatu keseimbangan yang saling tergantung antara satu dengan yang lainnya.

"Orangutan sebagai salah satu dari satwa langka yang dilindungi adalah merupakan satwa khas bumi Kalimantan yang saat ini kehidupannya "terancam punah" akibat berbagai macam tekanan terhadap keberadaan hutan sebagai habitat kehidupan orangutan," ucapnya.

Dia menjelaskan, orangutan terancam punah akibat tekanan berupa deforestasi, desertifikasi, overeksploitasi hutan, kebakaran hutan dan ditambah lagi perburuan liar.

https://regional.kompas.com/read/2019/11/12/21214391/kisah-orangutan-junai-yang-buta-tertembus-peluru-melanjutkan-hidup-di-gunung

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke