Salin Artikel

Surat dari Pedalaman Papua untuk Menteri Nadiem: Ibu Guru, Kami Takut Meja Patah

Surat tersebut dia tulis di Facebook pada 7 November 2019.

Hingga Senin (11/11/2019) malam, tulisan tersebut telah dibagikan 313 kali dan direspons oleh 517 akun.

Dalam surat itu, Diana menceritakan tentang kondisi pendidikan di kampung tempatnya bertugas, yakni di Kaibusune, Kabupaten Mappi, Papua.

Kompas.com kemudian menghubungi Diana melalui telepon seluler untuk mengklarifikasi surat tersebut.

Diana membenarkan bahwa ia yang menulis surat terbuka itu untuk Menteri Nadiem.

Diana tiba di Tanah Cenderawasih pada 3 Oktober 2019.

Dengan menggunakan perahu ketinting, Diana bersama dua teman guru GPDT, Antonius Tampani dan Inda Rovitha Meyok, menuju Kampung Kaibusene, Distrik Assue, dengan menempuh perjalanan selama sembilan jam.

Perjalanan yang cukup berat karena ia dan rombongan harus melewati rumpun tebu rawa yang menghalangi perahu yang mereka gunakan.

Pada 16 November 2018, Diana tiba dan Kampung Kaibusene.

Dalam surat terbukanya, Diana bercerita bahwa sekolah tempatnya mengajar hanya memiliki tiga ruangan. Para siswa harus berbagi ruang untuk belajar.

Hanya dua orang guru yang mengajar 50 siswa. Satu guru PNS dan satu guru honorer.

Kepada Diana, para siswa bercerita bahwa sekolah akan libur jika kepala sekolah harus ke kabupaten untuk urusan kedinasan.

Jika libur sudah mencapai seminggu, maka para siswa akan berangkat ke hutan mengikuti orangtua mereka mencari gaharu. Bahkan sekolah pernah libur berbulan-bulan hingga setahun karena guru beralasan ada kegiatan kedinasan di kota.

Salah seorang siswanya mencoba duduk di bangku tersebut, ternyata bangku tersebut langsung roboh. Saat menulis di atas meja, mereka pun takut karena mejanya bergoyang.

"Ibu guru, kami takut meja patah," kata seorang murid kepada Diana.

Secara diam-diam, siswanya sepakat duduk di lantai dan harus membungkuk saat belajar menulis.

"Kami semua duduk melantai sambil belajar menulis abjad," tulis Diana.

Diana dalam suratnya bercerita bahwa banyak sekolah dijuluki sekolah ujian karena hanya aktif menjelang ujian semester dan ujian nasional.

Bahkan Diana mengungkapkan bahwa ada sekolah yang memungut biaya sebesar Rp 500.000 saat ujian nasional.

"Ini namanya pendidikan mematikan masyarakat, pikirku. Orang tua itu melanjutkan keresahannya. Bayangkan saja kalau dalam rumah ada tiga sampai empat anak yang ikut ujian nasional. Sudah berapa biaya yang dikeluarkan. Dengan susah payah ia mencari biaya tersebut agar anak-anaknya bisa mendapat ijazah sekolah dasar, sedang pejabat sekolah kenyang dengan uang pungutan. Hanya ada satu kata untuk ini, kejam!," tulis Diana.

"Indonesia bukan hanya Jawa, kami pun Indonesia. Indonesia bukan hanya kota-kota besar yang sudah canggih dengan aplikasi-aplikasi pendidikan yang mudah didapat lewat Android. Kami di pedalaman yang masih belajar mengenal abjad juga Indonesia," kata Diana.

"Pak Surya Paloh pernah berkata dalam sebuah acara bertemakan 'Pertaruhan Sang Ideologi'. Saya mau lihat Indonesia yang seutuhnya. Saya mau lihat seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, suatu ketika dalam waktu yang tidak lama ada anak-anak Indonesia yang rambutnya keriting, kulitnya hitam, jadi presiden di republik ini," tulis Diana.

Diana setuju dengan pernyataan Surya Paloh, tetapi untuk saat ini Diana hanya ingin melihat buta huruf mati terkapar saat suara lantang anak-anak pedalaman Indonesia membaca buku.

"Seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, saya ingin melihat anak-anak sekolah di pedalaman Mappi bisa menulis cerita mereka dari pena dan kertasnya tanpa merasa sulit menyusun kata pada kumpulan aksara yang terbentang dari A-Z," tutup Diana, dalam surat terbukanya.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Irsul Panca Aditra | Editor: Robertus Belarminus)

https://regional.kompas.com/read/2019/11/12/06060031/surat-dari-pedalaman-papua-untuk-menteri-nadiem-ibu-guru-kami-takut-meja

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke