Salin Artikel

Lapak Akan Digusur, 5 PKL Aksi "Topo Pepe" Di Depan Keraton Yogyakarta

Aksi ini dilakukan karena lapak jualan mereka akan digusur.

Mengenakan baju Jawa, ditengah terik matahari lima orang pedagang kaki lima berjalan kaki dari Jalan Brigjend Katamso, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta menuju Alun-alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Mereka membawa beberapa poster antara lain bertuliskan "Sultan, Kami digusur", "Tahta untuk Rakyat, Mukti Bareng PKL" , dan "Jogja Istimewa Mboten Wonten Gusuran".

Sesampainya di Alun-alun, lima orang pedagang kaki lima ini duduk bersila di depan gerbang Pagelaran Keraton. Mereka tetap duduk bersila ditengah teriknya matahari.

"Iya mau digusur, besok pagi jam 9 mau dieksekusi," ujar Sugiyadi (53) salah satu pedagang kaki lima di jalan Brigjend Katamso,  Kecamatan Gondomanan, saat ditemui di Alun-alun Utara, Senin (11/11/2019)

Sugiyadi menyampaikan melakukan topo pepe karena ingin bisa bertemu dengan Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan HB X. Kepada Sri Sultan HB X, Sugiyadi ingin mengadu tentang apa yang dialaminya

Selain itu juga meminta agar tetap diizinkan berjualan di tanah keraton (Sultan Ground) di jalan Brigjend Katamso, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.

"Ya maunya kita menghadap Sultan agar bisa sithik edhing (saling berbagi tempat) gitu lho menempati lokasi itu," urainya.

Menurutnya lokasi tersebut sudah ditempati secara turun temurun. Setelah orang tuanya, dirinya melanjutkan berjualan di lokasi tersebut.

Sugiyadi mengaku sudah sekitar 20 tahun berjualan di atas tanah keraton.

Lokasi itu digunakan untuk berjualan bakmie saat malam hari.

Sementara pagi hari hingga sore digunakan untuk lapak jasa duplikat kunci.

Dituduh tempati tanah keraton tanpa izin

Namun situasi berubah ketika pemegang surat kekancingan memutuskan mengungat secara perdata para PKL ini.

Para PKL ini digugat karena dituding menempati tanah Kraton Yogyakarta tanpa izin.

Gugatan ini pun sampai Mahkamah Agung (MA). Hingga akhirnya, gugatan dimenangkan oleh pihak yang memang surat kekancingan.

Rencananya, eksekusi oleh pengadilan akan dilakukan pada Selasa (12/11/2019) pagi.

"Mau mengadu ke Sultan bagaimana pendapat Sultan kalau rakyatnya yang kecil mau digusur gimana solusinya. Digusur mau buat akses jalan ke garasi (toko)," urainya.

Salah satu pedagang PKL lainya yang turut dalam aksi "topo pepe" Suwarni (53) berharap agar Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan HB X dapat menjadi penengah. Sehingga dirinya bisa tetap berjualan di lokasi tersebut.

"Harapannya kita tetap boleh berjualan di situ. Sekecil apa lahan kita tetap bersyukur, karena ini satu-satunya mata pencaharian untuk menyambung hidup," tutur Suwarni sembari meneteskan air mata.

Dulu ditempatkan oleh Sri Sultan HB IX

Budi Hermawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menjelaskan kasus ini sudah bergulir cukup lama.

Para pedagang kaki lima sudah berjualan di lokasi tersebut sejak tahun 1960-an.

"Mereka ditempatkan di situ oleh Sri Sultan HB IX, karena di situ kawasan sepi dan untuk meramaikan dan banyak pedagang dikoordinir di situ," ungkapnya.

Saat ini yang memanfaatkan lokasi untuk berjualan sudah generasi kedua.

Meski tidak memiliki surat kekancingan dari keraton, namun para PKL ini selalu taat membayar pajak termasuk listrik.

Mereka juga mempunyai bukti SPPT. Sehingga keberadaan mereka tidak liar.

Surat kekancingan

"Tahun 2010 teman-teman ini sudah pernah mengajukan ke keraton untuk meminta kekancingan, saat itu ditolak dengan alasan penerbitan kekancingan sedang dihentikan. Tapi di tahun 2011 pihak Eka Aryawan mendapatkan kekancingan tanah seluas 73 meter persegi," katanya. 

Pada tahun 2015 lanjutnya para PKL ini digugat oleh pihak pemegang surat kekancingan yakni Eka Aryawan dengan permintaan ganti rugi Rp 1 miliar.

Selain itu para PKL diminta mengosongkan lokasi tersebut.

"Nah kemudian kita sudah berjuang hingga tahapan kasasi. Setelah putusan kasasi 2018, di akhir 2019 ada penetapan eksekusi. Besok tanggal 12 penetapan eksekusinya rentang waktunya agak lama, ada apa juga ini," urainya.

Padahal seharusnya para PKL tidak perlu mengosongkan lokasi. Sebab faktanya, lapak kelima PKL berada diluar lahan yang 73 meter persegi.

"Dan yang ditempati (para PKL) bukan merupakan bagian 73 meter persegi kekancingan yang ditempati Eka," bebernya.

Sultan Ground

Sementara itu, Kuasa Hukum Kraton Yogyakarta Achiel Suyanto mengungkapkan tanah tersebut merupakan Sultan Ground. Sehingga tidak ada sengketa kepemilikan tanah.

"Yang bersengketa itu haknya. Kalau tanah Itu tanah milik keraton, jadi saya mau mempertanyakan pengadilan kok mau mengeksekusi tanah dan bangunan," tegasnya.

Menurutnya Eka Aryawan memegang hak kekancingan selama 10 tahun. Sehingga akan berakhir pada tahun 2021 mendatang.

"Apakah nantu akan memperpanjang atau tidak, ya itu hak keraton yang memutuskan," ucapnya.

Aksi topo pepe ini bukanlah yang pertama kalinya dilakukan oleh kelima orang PKL. Sebelumnya pada tahun 2015 silam, kelimanya melakukan aksi serupa.

Lima orang yang melakukan aksi "topo pepe" adalah Budiyono, Sutinah, Agung, Sugiyadi dan Suwarni.

Saat itu, mereka meminta keadilan dari Raja Keraton Ngayogyakarta, sekaligus meminta pertolongan agar Surat Kekancingan yang dimiliki oleh pengusaha Eka Aryawan yang berujung pada gugatan Rp 1 miliar dan pengusuran lapak mereka dicabut.

https://regional.kompas.com/read/2019/11/11/22041751/lapak-akan-digusur-5-pkl-aksi-topo-pepe-di-depan-keraton-yogyakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke