Salin Artikel

Kisah Warga di Grobogan yang Kini Bebas dari Krisis Air berkat Mata Air Berusia Ratusan Tahun

Sudah hampir dua pekan ini, ribuan warga di Dusun Sanggrak, Galeh, Canden dan Kuncen, tak lagi dipusingkan dengan persolan membeli atau mencari pasokan air.

Empat dusun tersebut adalah salah satu permukiman di Kabupaten Grobogan yang mengalami krisis air terparah setiap kemarau. 

Kemarau pun menjadi puncak krisis air yang kerap melanda desa di kaki perbukitan Kendeng selatan itu setiap tahun. 

Sumur tadah hujan serta sungai setempat yang menjadi andalan warga mulai mengering sejak lima bulan lalu.  

Terlebih lagi, instalasi program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) yang terealisasi sejak 2008 gagal beroperasi karena kesulitan mengidentifikasi sumber mata air.

Selama itu pula warga lebih memilih berburu air dengan menciptakan "belik" di sungai yang telah mengering. Belik adalah lubang-lubang yang digali di dasar sungai untuk mencari sumber air.

Warga yang bermukim di sekitar kawasan hutan ini juga mengandalkan pasokan air bantuan dari pemerintah untuk mencukupi kebutuhan air. 

Kekeringan yang berujung suram bagi warga ini memicu naluri tokoh masyarakat setempat untuk berburu sumber mata air.

Mereka pun bersepakat mencari sumber mata air peninggalan lelulur yang diyakini masih bersemayam di bawah tanah di tengah hutan. 

Ratusan tahun silam, warga setempat mengandalkan dua sendang yang konon tak pernah mengering itu untuk mencukupi kebutuhan air. Hanya saja, seiring berjalannya waktu, sumber air jernih berlimpah itu perlahan terkubur oleh rimbunnya hutan.

Sejumlah warga, perwakilan petugas Perhutani serta beberapa orang "pawang sumber air" berjalan kaki menembus kawasan hutan yang membungkus perbukitan Kendeng selatan.

Setelah berjalan kaki hampir 5 kilometer, beberapa pawang sumber air itu pun meminta warga untuk menggali tanah yang telah tertutup oleh sampah-sampah organik berupa tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan itu.

Bagi kepercayaan orang Jawa, pawang sumber air terlebih dahulu menjalani ritual puasa sebelum mencari sumber air.

Lokasi yang ditunjuk oleh beberapa pawang hujan itu diyakini merupakan sumber air peninggalan leluhur mereka.

Dekat instalasi pamsimas yang mangkrak

Letak penggalian sumber air di petak 72 RPH Genengsari, BKPH Kuncen, KPH Gundih, wilayah Kecamatan Toroh, Grobogan, itu tak jauh dengan instalasi Pamsimas yang mangkrak.

Upaya warga mencari sumber air ternyata tidak sia-sia. Di kedalaman penggalian sekitar lima meter muncul aliran air jernih yang terus mengalir deras. 

Sesepuh desa pun langsung mengamini bahwa muncratan air itu berasal dari sendang peninggalan leluhurnya yang selama ini lenyap tertimbun hutan.

Warga kemudian langsung menciptakan sumur buatan ala kadarnya yang selanjutnya debit air itu dialirkan menggunakan pipa instalasi Pamsimas yang mangkrak ke permukiman di empat dusun di Desa Jambangan. 

Penemuan sumber mata air ini adalah kabar gembira yang dinanti-nanti warga. Sumber air harapan dan sandaran warga akhirnya ditemukan. 

"Alhamdulilah akhirnya ketemu sumber mata air peninggalan leluhur. Inilah sendang kehidupan nenek moyang kami yang hilang. Ratusan tahun silam, leluhur kami tidak pernah kekurangan air dengan keberadaan sendang ini. Selama kelestarian hutan di perbukitan kendeng terus terjaga, sumber air tak pernah mati sekalipun kemarau panjang," terang tokoh masyarakat Desa Jambangan, Rinkahat (57) yang juga diamini tokoh masyarakat lain  saat ditemui Kompas.com di lokasi penemuan sumber mata air, Selasa (22/10/2019).

Menurut Rinkahat, secara turun temurun sesepuh desanya telah berpesan, jika suatu ketika masyarakat mengalami krisis air, carilah sendang berusia ratusan tahun warisan leluhurnya itu di perbukitan Kendeng selatan. 

"Sudah saatnya kami mencari keberadaan sendang ini karena masyarakat krisis air. Pasokan air di sumber air ini tak akan surut dan bisa mencukupi kebutuhan ribuan warga. Sumber air ini adalah sendang berusia ratusan tahun yang ditemukan leluhur kami," sambung Rinkahat.

Tokoh masyarakat Desa Jambangan, Jiyo (50) yang juga sekaligus pawang sumber air, mengatakan, sebelumnya pada 2018, juga telah ditemukan sumber mata air yang lokasinya tak jauh dari lokasi penemuan sumber air kali ini.

Namun, sumber mata air yang pertama kali ditemukan itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan air 3 dusun di Desa Jambangan. Sementara sumber mata air yang kedua ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan air 4 dusun di Desa Jambangan.

"Desa Jambangan ada tujuh dusun. Tiga dusun sudah terpenuhi kebutuhan air dari sumber air yang pertama. Dan, setelah ditemukan sumber air yang kedua ini, pasokan airnya yang melimpah bisa digunakan untuk memenuhi empat dusun sisanya. Kami berdoa kepada Allah dan menjalani puasa sebelum mencari sumber air bertuah peninggalan leluhur ini. Orangtua kami berpesan, jika suatu saat kalian kekurangan air, carilah dua mata air di hutan peninggalan leluhur," beber Jiyo.

Perangkat Desa Jambangan, Agus Sriyanto, memastikan bahwa sumber mata air yang ditemukan tersebut layak untuk dikonsumsi oleh sekitar 5.000 jiwa di empat dusun di Desa Jambangan.

Debit airnya pun deras dan tak pernah berhenti mengalir selama dua pekan ini. Dia hanya berharap pemerintah sudi memfasilitasi penemuan sumber mata air tersebut untuk pendistribusian ke masyarakat.

"Dalam satu detik bisa mengisi dua liter air. Insya Allah ini adalah sumber mata air peninggalan leluhur kami yang hilang ratusan tahun silam. Airnya melimpah dan sangat jernih dan berasa segar. Sangat layak konsumsi, bahkan saat ditemukan, perwakilan TNI dan Polri ikut meminum air dari sumber mata air ini. Sementara kami salurkan dengan pipa dan peralatan seadanya sisa Pamsimas, semoga pemerintah sudi membantu," kata perangkat desa Jambangan, Agus Sriyanto.

Ada hutan, ada air

Asisten Perhutani BKPH Kuncen KPH Gundih, Joko Prayitno, mengatakan, sumber air yang ditemukan warga itu berada di kawasan hutan Perhutani yang sudah ditetapkan sebagai Kawasan Perlindungan Setempat (KPS), salah satunya perlindungan sumber air. 

Kawasan hutan tersebut setidaknya terus terjaga kelestariannya hingga saat ini melalui peran masyarakat juga.

Hutan, kata dia, memiliki kemampuan sebagai regulator air. Dengan kata lain, hutan mampu mengatur, menyokong proses alami dan menyediakan air bersih apabila dibiarkan tetap alami.

Hutan mampu menyimpan air di musim hujan ketika ketersediaan air berlimpah. Pun demikian hutan juga mampu melepaskan air saat musim kemarau, saat di mana ketersediaan air minim. 

"Hutan menjadi satu hal yang sangat vital terhadap persediaan atau pasokan air bersih bagi manusia. Ia mampu menyaring dan membersihkan air lebih baik dan lebih murah daripada sistem yang diciptakan oleh manusia. Selama kelestarian hutan dijaga, sumber air pasti berlimpah. Silakan dimanfaatkan untuk keperluan warga dan ini kabar baik bagi semuanya," jelas Joko.

Administratur KPH Gundih, Agus Priantono, mengatakan, dari 197.000 hektar total luas wilayah Kabupaten Grobogan, 69.000 hektar di antaranya adalah kawasan hutan negara.

Sementara itu, di  kawasan hutan wilayah KPH Gundih tercatat ada sekitar 30-an sendang berkapasitas air melimpah yang selama ini menjadi sumber kehidupan warga setempat. 

"Hampir 40 persen wilayah Grobogan adalah hutan. Jika kelesetarian hutan tetap terjaga dengan baik, air yang tersimpan pasti sangat melimpah. Terbukti, sendang-sendang berkapasitas besar muncul di kawasan hutan yang lestari. Di Grobogan ada banyak sendang di kawasan hutan. Di wilayah KPH Gundih saja ada 30 an sendang," pungkasnya.

Pamsimas gagal 

Selama ini, program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) dinilai belum efektif untuk membantu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat wilayah pelosok di Grobogan.

Salah satu penyebab kegagalan itu yakni sumber air tanah. Hal itu merujuk pada riset geologi yang menyebut wilayah Kabupaten Grobogan adalah kawasan yang minim pasokan air tanah. 

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperakim) Grobogan, M Chanif mengatakan, di Kabupaten Grobogan tercatat ada 273 desa dari 19 kecamatan.

Ada pun program Pamsimas yang berlangsung sejak 2008 sudah berjalan di 150-an desa di Grobogan. Melalui Pamsimas sudah terealisasi sumur, tandon, jaringan, dan sambungan (satu paket instalasi pamsimas) di setiap desa. Satu paket Pamsimas dianggarkan Rp 300 juta.

"Namun karena minimnya sumber air tanah, masih banyak desa yang tak terjangkau Pamsimas. Bahkan saat ini 20 persen mangkrak karena sumber air tanahnya habis," tutur kata Chanif kepada Kompas.com.

https://regional.kompas.com/read/2019/10/24/11423261/kisah-warga-di-grobogan-yang-kini-bebas-dari-krisis-air-berkat-mata-air

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke