Salin Artikel

Nasib Pengungsi Gempa di Seram Barat, Mau Dapat Bantuan Harus Angkat Parang...

Meski sudah hampir dua pekan mengungsi pascagempa berkekuatan 6,8 magnitudo mengguncang wilayah tersebut, namun bantuan untuk pengungsi di wilayah itu masih sangat minim, bahkan banyak pengungsi yang sama sekali belum menerima bantuan apapun.

Kondisi mereka sangat memprihatinkan lantaran. Selain tak mendapatkan bantuan, banyak pengungsi yang kini mulai terserang berbagai macam penyakit seperti ISPA, demam, pilek, kurang darah hingga diare.

Ironisnya lantaran tersebar di gunung-gunung dan hutan yang jauh dari perkampungan mereka sulit dijangkau tim medis.

“Kita warga Inamosul yang mengungsi akibat gempa seperti hidup di zaman batu,”kata Ely salah satu warga kilometer 9 saat ditemui Kompas.com di Kairatu, Seram Bagian Barat, Minggu (6/10/2019).

Mengungsi di hutan dan pegunungan karena trauma

Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Seram Bagian Barat, di kecamatan Inamosul ada puluhan rumah warga yang mengalami kerusakan parah dan sedang termasuk juga gedung gereja yang berlokasi di kilometer 9.

Menurut Ely sampai saat ini warga yang rumah-rumahnya rusak memilih mengungsi ke hutan-hutan dan pegunungan karena mereka masih merasa trauma dan terus merasakan adanya gempa susulan yang terus terjadi.

Minimnya bantuan kepada para pengungsi di kecamatan itu membuat warga terpaksa mengandalkan hasil kebun untuk kebutuhan makan selama berada di lokasi pengungsian.

Sementara untuk pengungsi yang sakit dan ibu hamil hanya bisa pasrah karena tidak ada obat-obatanan dan asupan gizi untuk ibu hamil.

“Sampai hari ini katong (kita) yang agak dekat hanya dapat 2 kg beras dan dua bungkus Supermie, yang mengungsi jauh dari kampung itu belum dapat sama sekali,”ujarnya.

Pengungsi lain, David Pattipawae mengatakan untuk mendapatkan kebutuhan bayi dan juga kebutuhan lainnya di pengungsian, warga harus turun gunung dan menempuh perjalanan lebih dari 20 km menuju Kairatu dan Desa Waimital untuk sekedar membeli kebutuhan tersebut.

Dia mengaku ada banyak relawan yang ikut menyalurkan bantuan, namun sayang bantuan itu hanya disalurkan ke lokasi pengungsian yang berada dekat dengan akses jalan raya.

Sementara mereka yang mengungsi di wilayah pegunungan sama sekali tidak tersentuh bantuan.

“Tapi seng (tidak) apa-apa katong (kita) dari dulu juga seng pernah diperhatikan pemerintah daerah, katong pasrah saja, kalaupun dong (mereka) mau membantu, katong terima kalau seng jua (juga) seng apa-apa,”ujarnya.

Tersebar di hutan, pakai tenda darurat

David mengaku pengungsi yang tersebar di hutan-hutan wilayah tersbut mendirikan tenda-tenda darurat yang dibeli dengan uang sendiri.

Satu tenda yang dibangun menampung lebih dari 5 kepala keluarga.

Dia mengaku saat hujan turun, tenda-tenda menjadi basah karena tergenang air dan saat yang bersamaan suara tangisan bayi dan anak-anak pecah ditengah kesunyian malam.

“Itu kalau hujan seperti dua hari lalu, bayi-bayi menangis karena air masuk hujan masuk ke dalam tenda, ibu hamil seng bisa tidor termasuk juga orang tua-tua kita yang sedang sakit,”ujarnya.

Angkat parang untuk dapatkan bantuan

Setali tiga uang dengan pengungsi di Inamosul, pengungsi di Desa Kairatu, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat yang tersebar di hutan-hutan desa tersebut juga mengalami kondisi yang sama.

Tidak adanya posko kesehatan di lokasi-lokasi tempat mereka mengungsi dan juga fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) dan air bersih membuat warga sangat merasa kesulitan di lokasi pengungsian.

Bahkan banyak warga yang kini terserang penyakit hanya bisa pasrah bertahan di hutan-hutan tanpa penanganan medis.

“Bantuan-bantuan hanya disalurkan di titik-titik tertentu saja, kita disini hanya dapat beras 2 kg dan mie 2 bungkus, hanya sekali itu saja dan sampai saat ini belum dapat apa-apa,”kata Eriko salah satu pengungsi asal Desa Kairatu kepada Kompas.com.

Dia mengungkapkan, lantaran tidak mendapat bantuan warga yang kecewa terpaksa mengamuk hingga membawa parang.

”Ada warga yang mengamuk sampai bawa parang, karena memang mereka tidak mendapat bantuan,” ujarnya.

Bantuan tidak merata

Tiga hari lalu kata Eriko, Raja Kairatu, Emil Rumahlatu  juga ikut mengamuk ke posko penanggulangan bencana yang berlokasi di Desa Waimital untuk memprotes penyaluran bantuan bencana yang dinilainya tidak merata.

Emil datang bersama sejumlah warganya lantaran banyak warga di desanya yang ikut mengungsi dibiarkan terlantar di hutan-hutan dalam kondisi sangat memprihatinkan.

“Iya bapak raja Emil Rumalatu, Raja Kairatu juga ikut mengamuk karena memang bantuan ini hanya di lokasi tertentu saja, kita di Kairatu sini hanya dapat sisa bantuan itu pun sebagian saja dan sebagian lain tidak dapat,”katanya.

Hingga saat ini kata dia, warga masih bertahan di hutan-hutan desa tersebut bukan karena isu tsunami semata namun warga sangat trauma dengan gempa yang terjadi, lebih-lebih hampir setiap jam wilayah tersebut selalu diguncang gempa dengan getaran gempa yang sangat kuat.

Pusat gempa utama bermagnitudo 6,8 yang mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya pada Kamis pekan lalu hanya berjarak 9 kilometer dari desa ini.

Pascagempa tersebut warga mengaku setiap hari mereka selalu merasakan getaran gempa berkali-kali.

“Disini hampir setiap jam kita rasakan getaran gempa, siapa yang paksa kita tinggalkan hutan kita pukul dia,”katanya.

Stok bantuan minim

Terkait keluhan warga tersebut, Camat Kairatu, Sapri Tutupoho kepada Kompas.com mengatakan penyaluran bantuan ke lokasi-lokasi pengungsian yang tersebar di wilayah itu sudah dilakukan sejak beberapa hari lalu.

Meski begitu dia mengakui bahwa penyaluran bantuan tanggap darurat itu hanya berupa beras dan juga mie instan serta air mineral.

“Untuk tahap pertama semua titik sudah kita salurkan, paket bantuan yang kita salurkan itu beras, mie instan dan air mineral,”ujarnya.

Sementara Sekretaris Daerah Seram Bagian Barat, Masur Tuharea yang ditemui Kompas.com di posko tanggap bencana di Desa Waimital mengaku stok beras yang disalurkan ke pengungsi yang tersebar di Seram Bagian Barat saat ini sudah mencapai 70 ton.

Dia mengaku stok itu masih sangat terbatas karena banyaknya pengungsi yang masih membutuhkan bantuan.

Saat ini kata dia stok beras yang tersedia di gudang posko penanggulangan bencana hanya sekitar 30 ton.

“Kita butuh 200 ton beras, saat ini hanya ada 30 ton yang masih tersedia,”ujarnya.

Khusus untuk penanganan kesehatan para pengungsi, pemerintah kabupaten Seram Bagian Barat telah menginstruksikan kepada seluruh petugas di puskesmas-puskesmas yang ada di wilayah tersebut untuk turun ke lapangan membantu warga yang sakit dan membutuhkan pertolongan medis.

Koordinasi bantuan

Selain itu Masur juga berharap agar bantuan dari relawan yang masuk ke Seram Bagian Barat agar dikoordinasikan dengan posko induk penanganan bencana agar penyaluran bantuan dapat dilakukan dengan baik sesuai data base pengungsi.

“Kalau disalurkan langsung ke pengungsi tanpa memegang data seperti itu nanti ada yang dapat dan ada yang tidak, kalau kita punya data base,”ujarnya.

Mansur juga mengimbau bagi warga yang rumah-rumahnya tidak mengalami keruskaan agar sebaiknya kembali ke rumah masing-masing sambil tetap waspada.

Sebab jika terus berada di hutan-hutan maka kondisi kesehatan mereka akan semakin buruk dan lebih rentan terserang penyakit.

“Soal musibah itu menjadi ketentuan Tuhan, tapi kalau kita terus di hutan itu juga akan berdampak peda kondisi kesehatan, anak-anak tidak bisa ke sekolah dan sebagainya,”ujarnya. 

https://regional.kompas.com/read/2019/10/07/21304111/nasib-pengungsi-gempa-di-seram-barat-mau-dapat-bantuan-harus-angkat-parang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke