Salin Artikel

Cerita Bakso Pak Dhi: Awalnya Berjualan Keliling hingga Jadi "Makanan Wajib" di ITS

SURABAYA, KOMPAS.com - Pardi mengelilingi perumahan di kawasan Mulyosari, Surabaya, Jawa Timur, sambil memikul dagangan bakso yang dijualnya.

Berat beban yang ia harus pikul, karena tak memiliki gerobak bakso beroda yang bisa ditarik.

Tempatnya menjajakan bakso biasanya di perumahan dosen dan sesekali di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Berdagang bakso pikul keliling merupakan 'kerjaan' Pardi ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kota Pahlawan, tanah perantauannya, tahun 1980.

"Mulai kerja jualan bakso dulu ikut orang, mikul muter di kampus (ITS) juga. Terus pakai sepeda ontel dua tahun. Tahun 1985, saya memberanikan diri pakai gerobak," kata Pardi, kepada Kompas.com.

Pendapatannya saat itu tergolong minim dan juga melelahkan karena harus memikul gerobak bakso setiap harinya.

Namun, hal itu tetap dilakoninya sebagai sebuah proses hidup. "Namanya orang jualan masih manggul dulu, ya penghasilannya masih ngepres," cerita Pardi.

Pindah ke ITS

Memasuki tahun 1990, Pardi mulai sering berjualan di ITS, tepatnya di pusat parkiran mobil. Barulah pada tahun 1995, pihak kampus memintanya untuk berjualan di Kantin Arsitektur.

Saat itu, memang banyak pegawai yang menyukai bakso buatan pria asal Sragen, Jawa Tengah itu.

Biar para pegawai itu tidak kesulitan untuk membeli bakso, Pardi akhirnya diminta untuk berjualan di ITS.

"Dulu jualan di ITS, nyangkruk-nyangkruk di parkiran, akhirnya kok ada orang beli. Jadi lama-lama terus disuruh jualan di sini," tutur Pardi.

Penghasilan Pardi meningkat setelah berjualan di ITS. Meski demikian, jika dihitung-hitung, pendapatannya tidak berbeda jauh saat masih jualan keliling.

Alasannya, bahan-bahan yang dipakai untuk berjualan bakso itu juga ikut naik.

"Kalau sekarang (pendapatannya) ya lumayan, tetapi kan ya mengikuti harga (bahan pokok). Makanya hasilnya banyak. Tapi ya harga bahan naik, ya sama saja kalau dikurskan dengan yang dulu keuntungannya," ucap Pardi.

Kenangan tadi diceritakan Pardi saat ditemui Kompas.com belum lama ini. Kini, ia memiliki tempat jualan di ITS bernama Bakso Pak Dhi.

Keuntungan bersih yang didapatnya dari berjualan bakso di ITS berkisar antara Rp 150.000-Rp 200.000.

Pardi berjualan mulai hari Senin sampai Jumat. Mahasiswa, alumni, dan pegawai ITS bisa menikmati bakso buatannya itu dari pukul 07.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB.

"Per bulan saya dapat keuntungan bersih, standarnya Rp 6.000.000 sampai Rp 8.000.000," ujar dia.

Harga bakso Pak Dhi ini relatif murah. Pentol dengan ukuran kecil, tahu bakso, siomay, dan gorengan dijual Rp 500.

Sementara itu, pentol berukuran besar rasa original, keju, dan telor dijual Rp 2.000.

Untuk mengganjal perut yang sedang lapar, Bakso Pak Dhi juga menyediakan lontong atau ketupat yang dijual Rp 2.000 per bijinya.

"Saya campuran dagingnya 1 kilogram, tepungnya 1/4. Jadi rasa (dagingnya) terasa. Daging yang saya pakai sapi, bukan ayam," ujar dia.

Saat Kompas.com menemui, Bakso Pak Dhi sudah ludes sejak pukul 12.00 WIB. Padahal, mahasiswa masih libur dan perkuliahan baru aktif pada Senin (26/8/2019).

Pardi mengaku, baksonya memang sering habis sebelum pukul 17.00 WIB. Meski terkadang, ia juga pernah mengalami baksonya masih tersisa banyak.

"Ya, namanya jualan kadang siang sering habis, kadang sampai sore ditunggu. Enggak tentu," kata dia.

Ketika perkuliahan belum aktif, Pardi hanya membayar iuran Rp 100.000 ke Jurusan Arsitektur.

Bila perkuliahan sudah aktif, pedagang yang berjualan di Kantin Arsitektur membayar uang iuran Rp 300.000 per bulan.

https://regional.kompas.com/read/2019/10/03/09561771/cerita-bakso-pak-dhi-awalnya-berjualan-keliling-hingga-jadi-makanan-wajib-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke