Salin Artikel

DPR Aceh Sepakati Hukum Cambuk 100 Kali untuk Pemburu Satwa Liar

Ketua Komisi II, DPR Aceh Nurzahri, yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan mengatakan pengesahan menjelang tengah malam termasuk "tembak di tempat" yang akan dilakukan melalui "prosedur apabila pemburu melakukan perlawanan dan menggunakan senjata api."

Nurzahri mengatakan hukuman tembak di tempat untuk pemburu liar dilakukan dengan mempersenjatai polisi kehutanan, dengan pengaturan tentang penggunaan senjata api di bawah mekanisme dan sesuai peraturan kepolisian.

"Jumlah polhut 30 orang, pamhut (satuan pengamanan hutan) di kita 1000 orang, dengan jumlah yang sedikit maka akan sangat butuh senjata api dalam perlindungan," kata Nurzahri.

Nurzahri mengatakan qanun pengelolaan satwa liar ini akan efektif mulai berlaku sejak Januari 2020 untuk mendengar akan ada masukan dan revisi dari kementerian dalam negeri.

Selain tembak di tempat, qanun pengelolaan satwa liar ini juga mencantumkan hukuman cambuk untuk para pelaku sebanyak 100 kali cambukan serta untuk pejabat yang lalai dalam mengurus permasalah satwa dan lingkungan dan menyebabkan kematian satwa.

Dalam sidang ini, semua faksi menyepakati qanun terkait satwa liar ini dengan latar belakang keprihatinan anggota dewan yang mencatat maraknya perburuan gajah dan satwa liar lain.

Alasan di balik disahkannya qanun ini yang diangkat DPRA termasuk data sejak 2012 dengan ditemukannya "45 ekor gajah yang mati tanpa gading" serta maraknya perdagangan satwa," lapor Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pegiat dari World Wide Fund for Nature (WWF) Aceh, Dede Suhendra, mengatakan pemberlakuan dan pengesahan qanun ini dapat memberikan efek jera bagi para pemburu satwa sehingga menjaga keberlansungan satwa dan hutan di Provinsi Aceh.

"Efektifnya sosialiasi yang harus dilakukan secara terus menerus, jadi dari sejak pengesahan sampai qanun ini berlaku PR besarnya ialah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, agar mereka tau," kata Dede Suhendra, Manager Lansekap Northern Sumatera WWF Indonesia
.
Dede menambahkan, pemberlakuan qanun pengelolaan satwa liar juga harus mengatur regulasi yang lebih jelas tentang tupoksi antara penegak hukum dengan polisi hutan serta diskusi khusus karena tidak mudah pemberlakuan untuk sangsi tembak ditempat serta mempersenjatai polhut.

Tetapi pengajar hukum pidana Universitas Syiah Kuala, Dahlan Ali, mengatakan pembahasan soal senjata perlu dilakukan perundingan secara nasional.

"Ini hanya qanun, jadi kalau membahas soal satwa dan persenjataan baiknya itu dibahas secara nasional dalam undang-undang karena tidak akan ada perbedaan antara satwa dari Aceh atau daerah lain," kata Dahlan Ali.

"Polisi saja dilarang melakukan tembak ditempat untuk pelaku kejahatan besar, kecuali untuk melumpuhkan tersangka, nah masa ini karena memburu satwa kemudian manusia yang ditembak di tempat," jelas Dahlan Ali.

Pengesahan qanun pengelolaan satwa liar ini menurut Dahlan, justru terkesan tergesa-gesa karena DPR Aceh sudah akan mengakhiri masa jabatan, sehingga banyak pasal yang kurang relevan.

Salah satu kasus yang menimbulkan kemarahan publik terkait satwa liar adalah tewasnya Bunta, gajah jinak di daerah konservasi di Desa Bunin, Lokop, Aceh, pada Juni 2018.

Foto Bunta saat itu viral dan pegiat lingkungan, mengatakan foto itu memperlihatkan fenomena pemburu yang kini menyasar gajah jinak untuk diburu gadingnya daripada gajah liar.

Bunta ditemukan mati dengan gading terpotong dan gajah itu diduga diracun oleh pemburu. Gajah jinak ini banyak membantu BKSDA Aceh menggiring gajah liar yang berkonflik di berbagai tempat.

https://regional.kompas.com/read/2019/09/30/16260091/dpr-aceh-sepakati-hukum-cambuk-100-kali-untuk-pemburu-satwa-liar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke