Salin Artikel

Dimakamkan di Yogya, Dokter Soeko Marsetiyo Cintai Papua Sampai Akhir Hayat

YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Salah satu dokter yang mengabdikan dirinya untuk kesehatan di Tolikara, Papua, Soeko Marsetiyo meninggal dunia.

Dokter Soeko Marsetiyo meninggal setelah menjadi korban kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

Kepergian dokter berusia 53 tahun ini menjadi duka dunia kesehatan Indonesia.

Sekitar pukul 16.09 WIB, mobil ambulans yang membawa jenazah Dokter Soeko Marsetiyo tiba di pemakaman keluarga, Kejambon Lor, RT 03/RW13 Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman.

Isak tangis keluarga pecah seiring kedatangan jenazah dokter berusia 53 tahun ini.

Peti jenazah lantas dibawa ke dalam kompleks makam keluarga. Usai dishalatkan, almarhum lalu dibawa ke peristirahatan terakhirnya. Isak tangis keluarga kembali pecah, seiring tanah menutup liang lahat.

Karangan bunga turut berduka cita pun mewarnai area pemakaman keluarga. Karangan bunga turut berduka cita antara lain datang dari Menteri Kesehatan RI, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Papua, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DIY, Ikatan Dokter Indonesia (Sleman), Keluarga Besar Alumni Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Turut hadir pula dalam proses pemakaman, Kepala Balai Penanggulangan dan Pengendalian AIDS, Tuberkulosis dan Malaria (ATM) Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua dr Beeri Wopari.

Dokter Soeko Marsetiyo meninggal di usia 53 tahun. Almarhum meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak.

Adik Dokter Soeko Marsetiyo, Endah Arieswati menceritakan, begitu lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah kakaknya memilih ditempatkan di Papua.

"Biasa kan ada masa bakti PTT (Pegawai Tidak Tetap), Dia (Dokter Soeko Marsetiyo) memilih dapat di Papua," ujar Endah Arieswati saat ditemui usai pemakaman, Jumat (27/9/2019)

Endah menyampaikan, seingatnya, Dokter Soeko Marsetiyo mendapat masa bakti di Papua selama dua tahun. Awal-awal di Papua, Dokter Soeko Marsetiyo sempat bercerita kepada Endah.

Saat itu, Dokter Soeko bercerita tentang suka duka di Papua.

"Jarang pulang, ya tahu sendiri terkendala biaya kan PTT di sana gajinya enggak seberapa, apalagi di pedalaman. Awal-awal cerita mau makan mie saja harganya mahal minta ampun, ya cerita suka duka di sana," urainya.

Seiring berjalannya waktu, Soeko mulai bisa beradaptasi. Ia pun mulai tidak banyak bercerita kepada adiknya.

Justru setelah selesai masa baktinya, Soeko tidak lantas memilih tugas di kota. Dokter kelahiran 1966 ini justru memilih untuk mengabdikan dirinya di Papua.

"Setelah selesai masa bakti, kalau teman-teman yang lain itu kan biasanya terus mencari ke kota. Tetapi, dia keukeuh meminta untuk tetap di Papua lokasinya," tegasnya

Keluarga, lanjutnya, pernah menanyakan kepada Soeko mengenai pilihannya bertugas di Papua. Saat itu, Soeko menjawab jika tenaga dokter lebih dibutuhkan di Papua.

"Dia cuma (menjawab) di Semarang itu sudah banyak dokter, kalau aku di sini tidak ada gunanya, sudah banyak orang pintar. Kalau di sana (Papua) paling tidak aku bisa berbuat sesuatu, itu saja," ujarnya

"Bagi keluarga juga aneh, hidup di sini (Semarang) enak, kok tidak mau. Tapi ya keinginannya memang begitu," tambahnya.

Menurutnya, pihak keluarga pernah mencoba untuk membujuk Soeko. Namun, anak nomor lima dari delapan bersaudara ini tetap bertekad bulat di Papua.

"Ya pasti (pernah membujuk), cuma jawabanya itu tadi, ke sini-sininya kalau ditanya dan dipaksa itu ya cuma senyum-senyum saja," katanya.

Hanya saja Soeko Marsetiyo tidak secara gamblang menjelaskan kepada keluarga alasan untuk tetap di Papua. Secara pribadi, Soeko memang dikenal merupakan sosok yang lemah lembut.

"Enggak terlalu banyak bercerita tentang kenapa bertahan di sana, tetapi kalau melihat dari masyarakat Papua yang dekat dengan dia, nah itu nanti ketahuan. Teman-teman mengenal dia itu orang yang lemah lembut sebetulnya," urainya.

Selama di Papua, lanjutnya, lokasi tugas Dokter Soeko Marsetiyo berpindah-pindah tempat. Namun, ia memang terakhir bertugas di Tolikara.

"Pokoknya di Papua itu sudah 15 tahun. Kira-kira sejak 2003 atau 2004," tambahnya.

Tugas di Papua membuat keluarga harus rela tidak bisa setiap saat bertemu dengan Dokter Soeko Marsetiyo. Bahkan, untuk sekedar melepas kangen melalui telepon saja harus dua minggu sekali.

"Tinggal di Papua itu jadi keterbatasan waktu bertemu kita dan tahu sendiri daerah Tolikara itu susah sinyal. Jadi, kalau tidak salah, dia setiap dua minggu sekali turun untuk telepon," tandasnya

Diungkapkannya, sehari sebelum kejadian Dokter Soeko Marsetiyo sempat mengirim SMS ke beberapa orang keluarganya.

"Sehari sebelumnya itu ternyata dia sempat mengirimkan SMS ke beberapa om (paman) dan tante. Isinya potongan ayat Kursi, kita tidak mengerti maksudnya apa, terus tiba-tiba dengar kabar seperti ini," ujarnya

Sementara itu, Kepala Balai Penanggulangan dan Pengendalian AIDS, Tuberkolosis dan Malaria (ATM) Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua dr Beeri Wopari mengatakan, dokter Soeko Marsetiyo bertugas di Tolikara sejak tahun 2013.

"Lebih banyak bertugas di Puskesmas, artinya di daerah terpencil, kurang lebih dua jam dari ibu kota kabupaten. Dua jam itu dengan medan yang berat dan beliau lebih banyak di sana, tetapi memang pilihan beliau tugas di pedalaman," ungkapnya

Disampaikannya, di tempat tugasnya, dokter Soeko Marsetiyo sangat dekat dengan masyarakat.

"Beliau ini sangat disayangi oleh masyatakat disana. Kita tenaga kesehatan masih sangat kurang, terutama di daerah-daerah pedalaman, jadi dengan beliau berpulang tentu untuk mengisi tenaga dokter kembali itu tidak mudah," ujarnya. 

https://regional.kompas.com/read/2019/09/27/22054801/dimakamkan-di-yogya-dokter-soeko-marsetiyo-cintai-papua-sampai-akhir-hayat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke