Salin Artikel

Pelecehan Seksual di Huntara Korban Gempa Palu, dari Cermin di Toilet hingga Rekam Video

Data itu disampaikan Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan (LIBU Perempuan).

Direktur LIBU Perempuan, Dewi Rana Amir, mengungkapkan dari 14 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan ke lembaganya dari Januari hingga Juli 2019, separuhnya adalah kasus pelecehan seksual, yakni mengintip perempuan yang sedang mandi.

Modusnya adalah menyimpan cermin di kamar mandi hingga melubangi dinding lalu merekam dengan kamera ponsel.

Modus yang terakhir disebutkan terjadi di salah satu rumah hunian sementara (huntara) di Palu.

“Korbannya seorang ibu muda yang sedang mandi. Yang memvideokan anak SMA,” ujar koordinator LIBU, Maya Shafira.

Pemerintah dan sejumlah donor mendirikan huntara sebagai rumah sementara untuk para penyintas gempa di pesisir Teluk Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, pada 28-29 September tahun lalu.

Hingga saat ini, di Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong telah dibangun 699 huntara.

Setiap huntara itu terdiri dari sejumlah blok. Mirip bedeng, satu blok terdiri dari beberapa bilik, biasanya 12, meskipun ada yang satu blok hanya empat bilik.

Biliknya rata-rata berukuran 5 x 4 meter walau ada yang lebih kecil. Satu bilik diperuntukkan bagi satu kepala keluarga.

Saat ini sebanyak  8.808 kepala keluarga dengan sekitar 33.092 jiwa tinggal di penampungan ini.

Para penyintas tinggal di huntara ini sampai huntap selesai dibangun. Huntap adalah akronim dari hunian tetap—sebuah rumah pengganti.

Diperkirakan mereka akan tinggal di huntara dua tahun, bisa juga lebih lama lagi.

Kekerasan oleh suami

Namun, bagi Vindy (40), belum juga setahun tinggal di huntara, hidupnya sudah nyaris tamat.

Gara-gara urusan sepele, soal lampu, ibu tiga anak ini pada Juni lalu dihajar suami sirinya, Hakim (30), sampai korban babak belur.

Menurut Vindy, sebenarnya, sang suami sudah bersikap kasar kepadanya sejak sebelum mereka tinggal di huntara.

“Sejak menikah 2017,” ujar dia.

Namun, setelah mereka tinggal di huntara, kekasarannya menjadi-jadi. Serasa di neraka saja jadinya.

Puncaknya pada Juni 2019. Waktu itu kakaknya datang mengunjunginya di huntara. Vindy amat menghormati kakaknya ini karena sering diberi makan. Sementara suaminya tidak bekerja.

Untuk menyenangkan kakaknya, dia menyalakan lampu. Namun, suaminya yang sedang tidur minta lampu itu dimatikan kembali sambil marah-marah.

“Akhirnya kakakku so bamarah. Dia pukul paituaku (suami),” katanya.

Akibat keributan itu, hakim hengkang ke rumah orangtuanya di Mamboro. Selang beberapa hari, Vindy mendatangi rumah mertuanya untuk mendamaikan keributan itu. Tapi di sana ia malah dianiaya suaminya.

“Dia pukul saya dari belakang dan saya pun terjatuh. Kemudian dia injak lagi saya sambil mengatakan ‘Sudah begini kau injak-injak harga dariku’. Begitu dia bilang,” ujarnya.

Dengan berat hati Vindy melaporkan penganiayaan itu ke polisi. Karena keduanya menikah secara agama, tidak ada buku nikah, suaminya dilaporkan untuk pasal tindak penganiayaan.

https://regional.kompas.com/read/2019/09/26/13501931/pelecehan-seksual-di-huntara-korban-gempa-palu-dari-cermin-di-toilet-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke