Salin Artikel

Kekeringan Ekstrem Tahun Ini Membuat Warga Menoreh Menderita

Kepala Dukuh Junut, Ngatijah, 45 tahun, mengungkapkan, warga mengandalkan sumur-sumur umum yang berada di daerah yang tinggi. Sumur sengaja tidak digali dalam, namun airnya berlimpah ruah pada musim hujan.

Warga memasang pipa dan mengalirkannya menggunakan selang 0,5 inchi menuju rumah-rumah di tempat yang lebih rendah. Airnya bisa dimanfaatkan puluhan kepala keluarga di Junut bagian lereng yang atas.

“Kondisi berbeda pada musim panas seperti sekarang. Sumur tidak mengalir. Terpaksa warga harus menunggu di mata air itu, mengisi jeriken, dan dipikul,” kata Ngatijah, Sabtu (21/9/2019).

Bukit Menoreh tidak diguyur hujan sejak Juni 2019. Kawasan lereng menjadi tandus. Kebun-kebun berubah menjadi warna coklat karena guguran daun layu.

Ngatijah mengungkapkan, kondisi seperti ini terjadi berulang kali terjadi tiap musim kemarau yang panjang. Dusun mereka selalu menjadi salah satu yang paling parah hingga langganan memperoleh bantuan air bersih dari pemerintah maupun pihak ke-3.

Warga Junut 200-an jiwa. Kebanyakan bekerja sebagai buruh tani di desa maupun kecamatan tetangga.

Kontur dusun miring pada lereng bukit. Mereka mendiami lereng bawah dan atas. Warga di lereng atas sebanyak 2 RT yang paling kesulitan air bersih.

Debit mata air sumur semakin mengecil, mereka tak lagi menarik selang. Warga berduyun ke sumur dan antre dari subuh.

“Yang kerja di sawah ladang pagi sampai siang, sorenya antre juga untuk ambil air bawa ke rumah,” kata Ngatijah.

“Sekarang kita nunggu di sana sambil nyiduki (menggunakan gayung) pelan-pelan sampai satu jeriken,” kata Ngatijah.

Ada yang menunggu sambil membawa tumpukan pakaian kotor. Tetapi rata-rata, tiap kepala keluarga antre untuk mendapatkan 15-35 liter air dengan jeriken. Mereka lantas menggendongnya hingga ratusan meter.

“Setidaknya 2 jeriken per hari cukup. Hanya bisa untuk masak dan minum saja cukup, tapi kan perlu juga untuk cuci piring,” katanya.

Masih ada 6 dusun dari 14 dusun yang ada di Purwoharjo yang juga mengalami kekeringan ekstrem. Terlebih memang di daerah itu berada pada ketinggian 400 meter dari permukaan laut.

Joko yang mantan Kepala Desa Purwoharjo ini mengungkapkan, selain Junut ada Dusun Plarangan, Puyang, Kalinongko, dan Bangunharjo. Rata-rata dusun didiami 70-130 kepala keluarga.

Komunitasnya, kata Joko, kerap membantu memfasilitasi bantuan pemerintah agar sampai tepat sasaran pada masyarakat.

“Termasuk membantu meringankan warga yang kekurangan air. Kondisi ini kekurangan air, hari ini bisa dilaksanakan di masyarakat yang benar membutuhkan,” katanya.

Kesulitan air bersih sejak 2004

Kepala Dukuh Junut mengungkapkan, kesulitan air di musim kering bahkan sudah dirasa sebelum tahun 2004 sampai sekarang.

Banyak warga yang sudah menggali sumur antara 15-20 meter. Tapi, pada puncak kemarau sumur tetap mati.

Bantuan pemerintah pun jadi jalan keluar.

“Ya terpaksa sabar saja seperti ini, setiap kali dropping harus bagi-bagi gini. Kalau tidak sabar antre ambil di sumur, dan harus nyiduki. Sekarang nyelang (menggunakan selang) berhenti. Sekarang bareng-bareng (sama-sama) ambil air ke sana,” katanya.

https://regional.kompas.com/read/2019/09/22/20265601/kekeringan-ekstrem-tahun-ini-membuat-warga-menoreh-menderita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke