Salin Artikel

Fakta Krisis Air di Grobogan: Warga Mandi 3 Hari Sekali dan Stok Tisu Basah, hingga Menjadi Perhatian Media Jepang

Desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur ini berlokasi terpencil di sekitar kawasan hutan pegunungan kendeng. 

Untuk menuju ke sana bisa ditempuh dengan perjalanan darat dengan kendaraan sekitar 2 jam dari Kota Purwodadi.

Akses jalan masuk ke Desa Suwatu pun kurang begitu memadai, masih banyak ditemui permukaan jalan berupa bebatuan dan tanah.

Selama lebih dari tiga bulan sejak awal kemarau di bulan Mei, Desa Suwatu mengalami puncak krisis air. Sungai telah mengering, pun demikian juga sumur tadah hujan andalan warga telah garing. 

Bahkan, sekitar 150 hektar lahan pertanian di desa terpencil ini sudah tidak difungsikan akibat tak ada lagi pasokan air.

Tercatat, sudah tiga bulan ini aktivitas bertani tidak lagi ditemui di desa yang dihuni oleh sekitar 2.500 jiwa ini. 

Warga pilih merantau saat kemarau

Saat kemarau, para warga yang mayoritas petani memilih merantau ke daerah lain supaya bisa terus menyambung hidup. Mereka beralih profesi menjadi buruh bangunan di Jakarta dan sebagainya.

Saat penghujan, mereka pun pulang ke kampung halaman untuk kembali bertani.

Krisis air selama berbulan-bulan menjadi mimpi buruk bagi warga Desa Suwatu.

Tak adanya pasokan air, warga akhirnya memilih berburu air dengan menciptakan "belik" pada sungai yang telah mengering.

Belik adalah lubang-lubang yang digali di dasar sungai untuk mencari sumber air.

Bentuk dan ukurannya menyerupai sumur. Selama ini, Desa Suwatu memang tidak terakses pasokan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Begitu juga dengan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) yang tak menjangkau Desa Suwatu.

"Namun sayang, air di setiap belik di desa juga kian menyusut. Bahkan kami yang mengantre sejak subuh hingga sore hanya bisa mengisi tiga gentong. Masing-masing gentong volumenya 15 liter. Padahal sehari kalau ngirit saja butuh enam gentong. Makanya sejak sebulan ini, kami mandinya tiga hari sekali," tutur Sulasmini (47), warga Desa Suwatu saat ditemui Kompas.com, Jumat (20/9/2019) sore.

Mandi tiga hari sekali, andalkan tisu basah

Serupa dengan Sulasmini, Sri Rahayu (56), warga Desa Suwatu juga mengaku kuwalahan dengan krisis air yang telah bersarang di desanya.

Menurut dia, sudah sebulan ini kebutuhan untuk mandi telah menjadi rutinitas yang langka bagi warga Desa Suwatu. Terlebih lagi, kantong-kantong air dari setiap belik kian menyusut.

"Kami mandi tiga hari sekali. Lha bagaimana lagi, air di belik sudah susut. Kalau untuk anak-anak diusahakan mandi tapi seirit-iritnya. Bayangkan saja, sehari ngantre dari subuh cuma terisi tiga jeriken," kata Rahayu.

Tisu Basah Sementara itu Perangkat Desa Suwatu, Suwanto, mengatakan, mayoritas warganya harus mengurangi penggunaan air yang diambil dari belik karena volume air di belik mulai minim sejak sebulan ini.

Bahkan, kini warga sudah mempersiapkan diri membeli stok tisu basah untuk keperluan mandi.

"Jika sampai sebulan seperti ini, kami terpaksa mandi pakai tisu basah. Sudah ada warga yang beli tisu basah untuk jaga-jaga. Kalau cuma mengandalkan droping air dari pemerintah tak cukup. Harga air per tangki truk jika sampai sini juga mahal. Dari Rp 130 ribu menjadi Rp 500 ribu," katanya.

Kekeringan di 105 Desa

Bulan September diprediksi menjadi puncak krisis air akibat kemarau yang berkepanjangan di wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Grobogan, krisis air yang melanda sejumlah desa sejak Juni lalu berangsur meluas.

Awal September ini tercatat sudah ada 105 desa dari 15 Kecamatan yang mengalami kekeringan hingga meminta bantuan dropping air kepada pemerintah.  

"Hingga awal September, kami sudah drop air bersih mencapai 892 tangki atau 3.891.000 liter. Kemarau kali ini lebih parah ketimbang tahun-tahun sebelumnya," kata Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Grobogan Endang Sulistyoningsih kepada Kompas.com, Minggu (8/9/2019).

Perubahan iklim, jadi perhatian media Jepang

Kepala Seksi Pelayanan PMI Grobogan, Gesit Kristiawan, mengatakan, bencana kekeringan yang melanda wilayah Kabupaten Grobogan bahkan telah menjadi perhatian bagi media Jepang The Asahi Shimbun. 

Salah satu media ternama di Jepang itu bahkan mengirimkan Kepala Kantor Biro Koresponden untuk Indonesia, Hidefumi Nogami dan satu wartawannya yang juga menjadi penerjemah Endang R Suciyati datang ke Grobogan didampingi tim dari PMI Provinsi Jateng, Selasa (10/9/2019).

Rombongan tamu tersebut sempat diajak tim dari PMI Grobogan untuk meliput proses penyaluran bantuan air bersih di Desa Kenteng, Kecamatan Toroh.

Mulai dari proses pengambilan air bersih ke dalam mobil tangki, hingga penyerahannya pada warga.

"Mereka ingin melihat secara langsung dampak perubahan iklim yang terjadi di dunia. Menurutnya, perubahan iklim yang terjadi saat ini merupakan kejadian luar biasa. Tak hanya koresponden di Indonesia yang ditugasi meliput perubahan iklim, tapi juga beberapa koresponden di seluruh dunia. Saat ini, di Jepang juga panas dan kondisinya berbeda dari sebelum-sebelumnya," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/09/22/18593721/fakta-krisis-air-di-grobogan-warga-mandi-3-hari-sekali-dan-stok-tisu-basah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke