Salin Artikel

Mengintip Kompleks Penderita Kusta di Makassar, Warganya Hidup Berdampingan

Di tiap-tiap kios di kompleks ini terlihat begitu ramai. Ada yang datang untuk membeli atau sekedar bercerita. 

Di sini, semua warga berbaur, baik yang menderita kusta maupun tidak. Mereka terlihat rukun dan tanpa risih akan kekhawatiran tertular penyakit ini. 

Halaman tiap rumah-rumah petak yang ada di kompleks ini cukup bersih. Gapura bertuliskan Komplex Penderita Kusta Jongaya juga baru saja diperbarui jelang 17 Agustus lalu.

Seperti nama di Gapura itu, kompleks ini diisi ratusan warga yang penderita penyakit kusta. 

Kompleks Penderita Kusta Jongaya berada di Jalan Dangko, Kelurahan Balang Baru, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar.

Kepala RW 4 Muhammad Sakir Dg Tala menceritakan, kompleks ini berdiri tahun 1936 lalu pada saat masa penjajahan Belanda. 

Kampung ini awalnya memang didirikan untuk penderita kusta. Tanah ini merupakan pemberian bangsawan Kerajaan Gowa yang memberikan tanah untuk ditinggali oleh para pebderita kusta yang selalu dikucilkan di masyarakat umum termasuk di keluarga. 

"Dulunya penyakit ini dianggap sebagai penyakit menjijikkan di mata masyarakat," kata Sakir saat diwawancara Kompas.com, Kamis.

Dahulu, kampung ini seluas 11 hektar. Namun seiring berjalannya waktu, luas kompleks hanya 7 hektar. Total ada 9 RT yang berada di Kompleks Penderita Kusta Jongaya. 


Saat ini, di kompleks ini masih ada 400 warga penderita kusta.

"Ada sekitar 700 KK di kompleks ini," ujar Sakir yang juga merupakan anak dari penderita kusta. 

Sakir mengatakan, mayoritas penderita kusta yang datang ke kompleks ini berasal dari daerah-daerah di Sulawesi Selatan.

Ia mencontohkan orangtuanya yang dua-duanya menderita kusta. Ibunya berasal dari Kabupaten Sinjai, sedangkan ayahnya berasal dari Kabupaten Gowa. 

Karena tak tahan tinggal di hutan sendirian, ia pun melarikan diri ke Makassar dan mengetahui bahwa ada tempat untuk menerima penderita penyakit seperti yang dia derita.

Begitu juga dengan ayah Sakir yang berasal dari Gowa juga turut dikucilkan hingga lari dari kampungnya dan menetap di Kompleks ini. Keduanya bertemu dan akhirnya menikah. 

"Awal tahun 60an ibu saya masuk ke kompleks ini. Hidup dengan orang-orang keluarga yang semuanya penderita. Mereka dianggap jijik dan hina oleh keluarganya," ujarnya. 

Senada dengan Sakir, Sekretaris RW Alimuddin mengatakan, di kompleks ini para penderita kusta yang datang berasal dari suku dan latar belakang berbeda.


Ada yang datang dari Bone, Jawa, Papua, Palopo, dan Flores. 

Alimuddin sendiri menderita kusta sejak kelas 5 SD. Tak tahan dengan sindiran dari orang-orang sekiarnya di Kabupaten Bone, ia pun melarikan diri di usia 14 tahun.

Ia lari ke Makassar dan memilih berlabuh di kampung ini karena merasa aman dengan keadaannya. 

"Saya dulu tinggal di rumah inventaris yang disediakan. Stigma buruk kusta di masyarakat membuat saya pergi dari Bone," kata Alimuddin. 

Kini, warga yang normal dan penderita kusta di kompleks ini hidup rukun berdampingan.

Alimuddin sendiri menikahi seorang wanita yang bukan penderita. Ia kini memiliki empat anak yang sehat. 

"Itu (stigma) yang harus dihilangkan. Kusta itu tidak serta merta menular. Kami juga manusia. Jadi jangan takut dengan penyakit ini," ucap Alimuddin. 

https://regional.kompas.com/read/2019/09/13/06300051/mengintip-kompleks-penderita-kusta-di-makassar-warganya-hidup-berdampingan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke