Salin Artikel

Cerita Petugas Medis Perawat Kusta, Awalnya Kaget hingga Akhirnya Terbiasa

Kala itu, merupakan masa awal dirinya diterima sebagai tenaga kesehatan.

Pengakuan Ferry terungkap saat ditemui Kompas.com di tempat tugasnya di Puskesmas Mayangan, Senin (9/9/2019). 

Menurut Ferry, dia memulai program pencegahan dan pemberantasan kusta mulai tahun 2008.

Meski Ferry adalah lulusan sekolah kesehatan, saat itu dia merasa belum siap untuk menangani penderita kusta.

"Awal sih kaget ya, kok saya (yang diberi tugas). Ada perasaan gimana gitu. Tapi ya karena tugas, saya terima dan saya jalani," katanya, Senin (9/9/2019).

Stigma negatif kusta adalah kutukan

Ferry menjelaskan, rasa kaget dia rasakan karena saat itu belum memahami betul soal kusta. Apalagi saat itu, stigma negatif terhadap kusta dan penderitanya masih cukup kental.

Stigma negatif dan anggapan bahwa kusta adalah penyakit kutukan atau penyakit turunan yang tidak bisa disembuhkan, membuat Ferry merasakan pekerjaannya lebih rumit.

"Ada rasa bimbang, soalnya kan penderita kusta itu rata-rata menutup diri, tidak mau terbuka, malu, dan lain sebagainya. Tapi itu sih dulu, waktu masih awal-awal, kalau sekarang sudah biasa," tutur Ferry.

Menurut dia, munculnya stigma negatif terhadap penderita kusta serta anggapan bahwa kusta adalah kutukan, faktor utamanya adalah kurangnya pemahaman.

Fakta medis, jelas Ferry, kusta adalah penyakit akibat bakteri. Jika diobati, penyakit itu bisa sembuh dan tidak menular.

Memang, lanjut dia, keluarga dekat yang sering berinteraksi menjadi kelompok rentan tertular kusta. Namun, kusta bukanlah jenis penyakit yang mudah menular.

"Itu yang terus menerus kita sosialisasikan ke masyarakat, supaya masyarakat makin terbuka dan yang terkena kusta tidak menutup diri. Target kita mereka mau diobati agar sembuh dan tidak menular," beber Ferry.

Perjalanan Ferry mengelola program pencegahan dan pemberantasan kusta di wilayah kerja Puskesmas Mayangan, membuatnya makin memahami soal kusta.

Wilayah kerja Puskesmas Mayangan, meliputi 6 desa di Kecamatan Jogoroto. Keenam desa tersebut, yakni Desa Mayangan, Sawiji, Sumbermulyo, Jogoroto, serta Ngumpul dan Desa Tambar.

Pada tahun 2012, jumlah kasus kusta di enam desa itu sebanyak 21 kasus. Tingginya kasus menjadi pekerjaan rumah bagi Puskesmas Mayangan di tengah upayanya mengeliminasi kusta.

Untuk mengeliminasi kusta di wilayah kerjanya, Ferry mengaku pihaknya makin masif melakukan sosialisasi.

Tim dari Puskesmas Mayangan juga aktif melakukan deteksi dini terhadap setiap orang yang rentan terkena kusta.

Selain itu, untuk memutus rantai penularan kusta, ditelurkan program Gelang Permata, kepanjangan dari Gerakan Langsung Perawatan Masyarakat Penderita Kusta.

Program ini melengkapi program yang sudah ada, yakni kelompok perawatan diri (KPD).

Penderita kusta turun

Pertemuan Gelang Permata digelar rutin setiap bulan. Pertemuan itu berfungsi untuk mengajak penderita kusta merawat diri secara mandiri, membantu proses pengobatan agar kusta bisa segera sembuh dan tidak menular.

Dalam perkembangannya, tutur Ferry, Gelang Permata memiliki fungsi tambahan sebagai forum membangun jejaring bisnis di antara penderita kusta, baik yang sudah sembuh maupun yang masih berjalan proses pengobatannya.

Lewat deteksi dini, sosialisasi, serta implementasi program Gelang Permata, hasil kerja Ferry bersama tim dari Puskesmas Mayangan mulai menampakkan hasil.

Berdasarkan catatan kasus, ada penurunan signifikan terhadap temuan kasus kusta di wilayah kerja Puskesmas Mayangan.

Pada tahun 2013, tercatat 11 kasus, tahun 2014 ada 10 kasus, lalu pada tahun 2015 ada 8 kasus.

Pada tahun 2016, kasus yang ditemukan sebanyak 16, 5 kasus pada 2017 dan 4 kasus selama 2018.

Lalu pada tahun ini ada 2 temuan kasus, satu dari hasil deteksi dini dan satunya lagi saat observasi di Puskesmas.

Awalnya, Agik merasa aneh saat diberikan tugas itu.

"Saat awal ya bingung. Dulu waktu awal ada pasien yang kena kusta, kita gak berani, sampai nunggu dari Propinsi datang," kata Agik kepada Kompas.com.

Agik mulai menangani program pencegahan dan pemberantasan kusta pada tahun 2011. Saat itu dari desa-desa di wilayah kerja Puskesmas Jogoloyo, ditemukan ada sembilan kasus penderita kusta.

Kala itu, tutur Agik, stigma negatif terhadap penderita kusta masih cukup kuat. Banyak penderita kusta menutup diri dan sulit untuk diajak terbuka.

Dalam sebuah kesempatan, Agik sempat dimarahi oleh keluarga dan pasien yang dinyatakan positif terkena kusta.

Namun, kemarahan itu mereda setelah dirinya berhasil meyakinkan kalau kusta bisa disembuhkan.

"Tahun berapa saya lupa. Tapi setelah kami beri pemahaman dan ada second opinian yang beliau dapatkan, pasien ini akhirnya mengerti. Beliau datang ke sini untuk mengikuti program pengobatan dari kami dan kami dampingi sampai sembuh," ungkap dia.

Membuka pemahaman masyarakat tentang kusta

Sekian lama bergulat dengan kasus kusta, Agik menyadari jika stigma negatif tentang kusta serta anggapan masyarakat bahwa adalah penyakit kutukan, disebabkan oleh ketidakfahaman tentang penyakit tersebut.

Atas dasar itu, dia bersama timnya yang didukung oleh kader-kader di desa, masif melakukan sosialisasi tentang kusta, melakukan deteksi dini, serta pendampingan terhadap penderita kusta dan keluarganya.

Secara rutin, sosialisasi dilakukan lewat pertemuan di desa, lewat Posyandu, serta ke sekolah. Dari proses itu, pemahaman masyarakat mulai terbuka terbukti dengan makin banyaknya orang yang melakukan deteksi dini.

"Kalau dulu hampir semuanya menutup diri, tidak mau terbuka. Tapi sekarang banyak yang terbuka, masyarakat pun mulai banyak yang melakukan pemeriksaan untuk deteksi dini," ujar Agik.

Pertemuan itu sebagai forum belajar mandiri untuk merawat diri, menyukseskan program pengobatan agar sembuh dan tidak menular, serta penguatan mental agar proses penyembuhan bisa berjalan sesuai program.

Sementara itu, berdasarkan catatan kasus di Puskesmas Jogoloyo, ditemukan kasus penderita kusta sebanyak 9 pada tahun 2011, 8 kasus pada 2012 dan 6 kasus pada 2013.

Lalu pada tahun 2014, ada 8 kasus, tahun 2015 ada 4 kasus, serta tahun 2016 sebanyak 4 kasus.

Dalam 3 tahun terakhir, kata Agik, tren penemuan kasus kusta terus menurun. Pada tahun 2017 ada 3 kasus, lalu pada tahun 2018 ada 2 kasus dan tahun 2019 ini ditemukan 1 kasus penderita kusta.

Pentingnya deteksi dini

Petugas medis di Puskesmas Jogoloyo Kabupaten Jombang Jawa Timur, dokter Heri Wibowo menjelaskan, deteksi dini adalah langkah penting untuk mengeliminasi kusta.

Menurut dia, jika gejala kusta diketahui lebih awal, proses penyembuhan bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya dampak berupa kecacatan pada tangan, kaki atau mata.

Heri Wibowo menegaskan, kusta bukan penyakit kutukan atau turunan. Kusta secara medis adalah penyakit yang bisa sembuh dengan cara diobati.

"Kusta bisa sembuh dengan cara diobati. Ini jenis penyakit menular, tetapi menularnya juga tidak mudah. Makanya deteksi dini itu penting agar bisa segera diobati," katanya kepada Kompas.com.

https://regional.kompas.com/read/2019/09/10/06560671/cerita-petugas-medis-perawat-kusta-awalnya-kaget-hingga-akhirnya-terbiasa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke