Salin Artikel

Cerita di Balik Kebiri Kimia di Mojokerto, Kesulitan Mencari RS untuk Eksekusi hingga Belum ada Juknis dari MA

Selain itu Aris juga didenda Rp 100 juta, subsider 6 bukan kurungan.

Putusan pidana 12 tahun kurungan dan kebiri kimia sudah inkrah berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dengan nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY dan tertanggal 18 Juli 2019.

Aris pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai tukang las ini diputuskan bersalah melanggar Pasal 76 D junto Pasal 81 Ayat (2) Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Untuk wilayah Mojokerto, ini yang pertama kali," kata Nugroho Wisnu saat dihubungi Kompas.com, Minggu (25/8/2019) malam.

Wisnu mengatakan, pihak jaksa penuntut umum (JPU) saat persidangan di PN Mojokerto, menuntut terdakwa dengan hukuman penjara 17 tahun dan denda Rp 100 juta, subsider 6 bulan kurungan.

Munculnya hukuman kebiri kimia adalah pertimbangan dan keputusan para hakim di Pengadilan Negeri Mojokerto.

Putusan perkara perkosaan yang menjerat Aris naik banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya,

Kala itu, JPU menilai putusan 12 tahun penjara yang dijatuhkan hakim PN Mojokerto, terlalu ringan dibanding tuntutan yang diajukan jaksa.

Namun, lanjut dia, Pengadilan Tinggi Surabaya akhirnya menjatuhkan putusan yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri Mojokerto.

"Kalau untuk pidana kurungannya sudah bisa dilakukan eksekusi. Namun, untuk kebiri kimia, kami masih mencari rumah sakit yang bisa," kata Wisnu.

Aris dihukum penjara dan kebiri kimia setelah terbukti melakukan 9 kali pemerkosaan di wilayah Kota dan Kabupaten Mojokerto. Dalam persidangan terungkap bahwa 9 korbannya semuanya adalah anak-anak.

Aksi pemuda itu dilakukan sejak tahun 2015 dengan modus mencari korban dengan kriteria anak gadis, sepulang dari bekerja.

Salah satu aksinya pada Kamis, 25 Oktober 2018, sempat terekam CCTV.

Setelah aksi yang dilakukan di wilayah Prajurit Kulon Kota Mojokerto Aris diringkus polisi pada 26 Oktober 2018.

 

"Kalau untuk pidana kurungannya sudah bisa dilakukan eksekusi. Namun, untuk kebiri kimia, kami masih mencari rumah sakit yang bisa," kata Wisnu, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/8/2019).

Sementara itu Kejati Jatim menyebut hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus kekerasan seksual anak di Mojokerto belum memiliki petunjuk teknis (Juknis).

Kejaksaan Negeri Mojokerto selaku eksekutor hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus kekerasan seksual anak, Muh Aris (20), telah meminta petunjuk tentang teknis eksekusi hukuman tersebut kepada Kejati Jatim.

Namun Kejati Jatim menyebut hukuman kebiri kimia belim memiliki petunjuk tekhnis.

Saat ini, pihak Kejati Jatim masih mengonsultasikan teknis eksekusi pada Kejasaan Agung.

"Hukuman kebiri kimia baru pertama kali di Indonesia, dan belum ada juknisnya. Karena itu kami masih menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Richard Marpaung, dikonfirmasi Minggu (25/8/2019) malam.

Sementara itu dilansir dari Kompas.com, 25 Juli 2019, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih mengatakan, kebiri kimiawi sebaiknya dilakukan dalam perspektif rehabilitasi.

Selain itu dia juga mengatakan dalam etika kedokteran, seorang dokter dilarang mengubang kondisi fisik pasien yang sudah normal ke kondisi yang abnormal.

Selain itu Daeng mengatakan, jika dilakukan dalam perspektif hukuman, kebiri kimiawi belum tentu menyembuhkan predator seksual dari kelainan yang dideritanya.

"Jika dilakukan dalam perspektif rehabilitasi justru si predator seksual akan bisa sembuh karena output dari rehabilitasi memang untuk kesembuhan. Kalau perspektifnya hukuman kan tidak ada output kesembuhan," ujar Daeng, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VIII DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/7/2016).

Kebiri sebagai hukuman, menurut Daeng berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku karena menurutnya seorang predator belum tentu melakukan kekerasan seksual berdasarkan dorongan libido atau hormonal.

"Kalau ternyata dia melakukan kekerasan seksual bukan atas dorongan libido atau hormonal tetapi tetap dilakukan proses kebiri kimiawi terhadapnya, itu sangat tidak adil dan melanggar etik kedokteran," kata Daeng.

Ia juga menjelaskan kelainan seksual bisa dipicu oleh hormon atau kejiwaan.

"Kalau dia terlanjur sudah dihukum kebiri padahal yang membuat dia kelainan dari aspek kejiwaan, bukan dari hormonal, kan malah enggak sembuh," kata dia.

SUMBER: KOMPAS.com (Moh. Syafií, Amir Sodikin, Achmad Faizal, Rakhmat Nur Hakim)

https://regional.kompas.com/read/2019/08/26/07200041/cerita-di-balik-kebiri-kimia-di-mojokerto-kesulitan-mencari-rs-untuk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke