Salin Artikel

Kisah Mantan Pedagang Asongan Jualan Bumbu Daging Kurban, Dulu Nyaris Depresi, Kini Raih Omzet Puluhan Juta

Tutik, sapaan Supri Astuti, baru menyelesaikan bumbu rendaman bagi daging yang akan dimasak dengan cara satai (sate).

Tercium bau rempah lantaran kuah dipenuhi daun salam, daun jeruk, ketumbar, bunga lawang atau pekak, hingga laos.

Wangi kapulaga dan serai juga dominan. Juga ada kesan aroma cengkih di sana.

“Biar bau daging seperti bau prengus itu bisa hilang," kata Tutik, Sabtu (10/8/2019).

Dapur milik Tutik memproduksi sedikitnya 400 plastik bumbu rendaman daging hari ini. Produksi bumbu sebanyak ini untuk memenuhi permintaan bumbu beberapa hari ke depan.

Pasalnya, kegiatan memasak daging berlangsung seiring pembagian daging kurban yang dilakukan massal pada musim Lebaran Haji di Hari Raya Idul Adha seperti sekarang ini.

Industri rumahan milik Tutik pun kecipratan rezeki lantaran permintaan meningkat.

Tutik menceritakan, dapur kecilnya pun menggenjot produksi bumbu mulai dari gule, tongseng, opor, rawon, bestik, sate, soto, hingga rica-rica.

Bumbu rendang tentu saja yang paling laris di antara semua jenis bumbu. Ia memproduksi 4.000 bungkus plastik bumbu rendang untuk meladeni permintaan pasar musim Lebaran Haji ini.

Satu bungkus bumbu rendang bikinannya bisa membumbui 1 kilogram daging. Bumbu tongseng juga tidak kalah banyak hingga 1.500 bungkus, menyusul kemudian bumbu untuk masakan sate.

Jual 10.000 bungkus bumbu

“Kami menjual sebanyak 10.000 bungkus bumbu di Idul Adha tahun ini, lebih banyak dibanding tahun lalu yang 7.000 bungkus,” kata Tutik.

Harganya juga terjangkau. Satu kemasan bumbu Rp 5.000 per bungkus, disebar lima sales ke pasar tradisional baik di dalam kota Wates hingga ke kota-kota Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kulon Progo.

Setelah sampai di pasar orang menjualnya bisa sampai Rp 6.000 per bungkus. Kalau COD atau diantar sampai rumah maka harga bisa Rp 8.000 per bungkus.

Tutik menekuni bisnis bumbu sejak 2004. Bahan baku dan racikan bumbu diyakini yang membuat produksinya semakin laris dan bertahan sampai sekarang.

Misal bumbu rendang, Tutik menggunakan cardamon atau kapulaga india yang berharga mahal.

Kapulaga india ini dipesan khusus dari Kota Yogyakarta dan dipakai bersama kapulaga biasa demi menciptakan rasa khas melayu.

Bumbu juga diyakini awet hingga seminggu. Atau bila disimpan dalam kulkas, daya tahannya mencapai sebulan.

“Bicara omzet untuk masa Idul Adha tahun lalu saja tembus Rp 35 juta,” kata Tutik.

Melawan bumbu instan dengan racikan khas

Semua berawal dari belasan tahun lalu. Banyak orang sulit mendapatkan bumbu masakan pada musim Lebaran Haji ini. Warga tidak puas dengan bumbu instan produksi pabrikan.

Tutik beranikan diri terjun menjual bumbu masakan pada 2004. Pada dasarnya, ibu tiga anak ini menyukai dunia masak memasak.

Ia menggiling sendiri semua bahan baku, memasukkan dalam kemasan plastik, mengikatnya, lantas menitipkan ke beberapa pedagang di pasar maupun tukang jamu di Kota Wates.

Seketika laris jelang lebaran. Ia bisa menghasilkan Rp 350.000 dalam satu hari.

Tutik terus menekuni bisnis ini sampai sekarang. Pendapatan dapurnya berkali lipat ketika musim hari raya berikutnya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.

Bisnisnya pun berkembang luas.

“Saya juga tidak hanya menjual bumbu. Saya ini juga jual sayur matang bungkusan. Saya titip ke penjual-penjual di pasar,” katanya.

Tutik mengaku tidak berpuas diri atas hasil racikannya. Ia menginginkan bumbu dengan cita rasa kuat.

Sambil memproduksi bumbu dan masakan, ia terus menambah referensi rasa terbaik dengan mencoba makanan apapun.

Itulah mengapa bumbu miliknya memiliki ciri khas yang berbeda dengan lainnya.

Misal, kata Tutik, yang membedakan bumbu rendang adalah rempah rempahnya, karena harus ada kaskas, jinten manis, kapulaga jawa dan ragam bumbu yang umum harus tetap dipakai.

"Karena ada yang membikin bumbu rendang pokoknya ada pekak. Tapi saya tidak," katanya.

Perjalanan waktu, ia malah bertambah gemuk karena kebiasaan itu.

“Berat badan saya pernah sampai 115 kilogram. Saya mencoba semua makanan enak untuk mendapatkan komposisi bahan baku pada bumbu sehingga menghasilkan rasa yang pas,” kata Tutik.

Bisnis Tutik terus tumbuh dan bertahan hingga kini. Ia membangun jualan bumbu bersama sang suami Simron Guswanto, 42.

Dapur kecilnya mampu mempekerjakan 4 karyawan. Ketiga anaknya kadang ikut membantu di saat waktu luang.

Mantan pedagang asongan kereta yang nyaris depresi

Tidak ada yang instan. Tutik bersama Simron, suaminya, melewati perjalanan jatuh bangun usaha sebelum terjun ke dunia bumbu masakan. Sebelum itu, keduanya hanyalah penjual ayam bakar di Yogyakarta.

Warung mereka bangkrut karena jadi korban investasi bodong. Makan pernah satu kali sehari, hingga menahan diri dari lapar dan sakit.

Dalam kejatuhannya, keduanya mengadu nasib ke Jakarta di 2004.

Simron dan Tutik malah mencoba peruntungan dengan menjadi pedagang asongan yang menawarkan panganan kemasan dari stasiun ke stasiun, dari Stasiun kereta Kranji di Bekasi hingga Pasar Senin  di Jakarta Pusat.

"Bawa nasi gudeg ngasong. Waktu itu sudah punya 2 anak, tapi tinggal sama neneknya di Wates," kata Tutik mengenang masa itu.

Nasib berkata lain. Belum lama mengasong, mereka harus kejar-kejaran dengan petugas trantib setempat.

Dagangan mereka habis disita. Keduanya nyaris depresi hingga akhirnya memutuskan kembali ke Wates dengan tekad akan mengubah nasib .

"Kami sampai berdiri berdua di ujung jembatan layang. Mobil terlihat kecil di bawah kami. Saya bilang dunia ku bukan di sini. Ayo bali (ayo pulang) ning Wates. Kita bisa hidup layak. Kita harus hidup layak," katanya.

Keduanya bertekad membangun bisnis bisa di mana saja.

"Saya ini sebenarnya bisa bikin kue kering dan kue basah. Kenapa harus seperti ini (jadi pengasong). Ayo pulang. Pulang," katanya.

Bersamaan dengan itu, ia juga menjual sayur matang yang disebar di berbagai pedagang kaki lima di Wates. Ia juga sering dapat proyek catering sayuran.

"Kuncinya kemauan dan kreatif. Peluang sebenarnya banyak sekali. Dari semula sakit hati, saya harus bangkit. Orang kalau ingin sukses itu harus berjuang, melampauinya dengan tidak putus asa," katanya.

Kini, usaha bumbu rumahannya cukup besar. Ia memiliki 4 karyawan, baik ikut memasak, membungkus, hingga ikut mengantar jualan.

Dulu, ketika musim pesanan sangat tinggi, ia harus membawa 7 orang untuk ikut bekerja. 

Karena usaha ini pula, ketiga anaknya bisa terus sekolah.

Anak yang pertama menginjak kelas 2 sekolah menengah atas, yang kedua SMP dan yang bungsu di sekolah dasar.

Mereka juga kini menempati rumah besar dengan bangunan dinding batu dengan tingkap dua.

https://regional.kompas.com/read/2019/08/11/13213541/kisah-mantan-pedagang-asongan-jualan-bumbu-daging-kurban-dulu-nyaris-depresi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke