Salin Artikel

DPR Didesak Segera Pertimbangkan Permohonan Amnesti Baiq Nuril

SURABAYA, KOMPAS.com - Sejumlah pengajar dan akademisi pusat-pusat studi hukum dari berbagai universitas di Indonesia, mendesak DPR RI segera mempertimbangkan surat Presiden Joko Widodo, terkait permohonan amnesti terhadap terpidana kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Baiq Nuril Maqnun.

Ketua Pusat Studi Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Herlambang P Wiratraman mengatakan, sejak Baiq Nuril Maqnun diputus bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan Kasasi, sejumlah akademisi telah menguji putusan tersebut.

Dari sidang eksaminasi tersebut, kata Herlambang, pihaknya pun memberikan pertimbangan dengan menjadi pihak sahabat peradilan atau amicus curiae atas kasus pidana yang sedang dihadapi Baiq Nuril Maqnun.

Namun, putusan Peninjauan Kembali Nomor 83 PK/PID.SUS/2019, menurut Herlambang, justru memperkuat kasasi.

"Putusan tersebut sangat mengecewakan karena tidak sesuai dengan harapan kami yang telah memberikan sejumlah argumen dukungan bagi para hakim MA," kata Herlambang, perwakilan akademisi Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham) Indonesia, ditemui di Unair, Selasa (16/7/2019).

Herlambang menambahkan, putusan tersebut mengabaikan konteks kasus pelecehan seksual yang sedang dihadapi Baiq Nuril.

"Baiq adalah korban. Ia korban kekerasan verbal, atau pelecehan seksual. Tatkala ia mencoba merekam percakapan dari atasannya, yang patut diduga desakan atau bahkan ancaman terhadapnya, hal tersebut merupakan upaya yang ia miliki untuk mempertahankan harga dirinya," kata dia.

Herlambang menilai, Nuril tidak pernah berniat untuk menyebarluaskan rekaman percakapan Kepsek M yang menceritakan hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Baiq kepada publik, kecuali bagi kepentingan yang tentunya dibutuhkan untuk melindungi dirinya.

Apa yang dilakukan oleh Baiq Nuril, lanjut Herlambang, merupakan hak atas perlindungan dari kekerasan psikologis dan kekerasan seksual sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD NRI tahun 1945.

Hal ini menjadi landasan bahwa tidak tepat memvonis bersalah Baiq Nuril Maqnun dalam Kasasi maupun Peninjauan Kembali MA.

"Ketidaktepatan tersebut terkait penafsiran dan argumen hukum yang legistik, tidak memperhatikan kerangka hukum normatifnya, apalagi konteks kasusnya. Penafsiran dan argumen demikian memberi bukti dampak negatif yang justru mengorbankan hak warga negara," ucap Herlambang.

Kini, kata Herlambang, upaya hukum-konstitusional yang dimiliki melalui mekanisme kekuasaan kehakiman telah selesai. Sehingga kemungkinan pasca-putusan Peninjauan Kembali MA, adalah pemberian amnesti.

Pihaknya mendukung Presiden Jokwowi untuk tidak ragu menggunakan wewenang konstitusionalnya, yakni dengan memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.

Herlambang melanjutkan, pemberian amnesti akan menjadi upaya memperkuat politik hukum ketatanegaraan yang memiliki landasan konstitusional berbasis hak asasi manusia, sebagaimana dimandatkan kepada penyelenggara kekuasaan.

Menurut dia, kasus hukum Baiq Nuril menjadi perhatian publik secara luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk komunitas lembaga-lembaga HAM internasional.

Langkah menggunakan wewenang konstitutional dengan memberikan amnesti bagi Baiq Nuril, bukan saja akan menjadi putusan politik hukum ketatanegaraan yang penting dan bersejarah dalam menjaga marwah konstitusi, melainkan juga menjadi pembelajaran dan pencerdasan masyarakat luas tentang makna penting melindungi perempuan dari kekerasan dan atau pelecehan seksual, serta segala bentuk diskriminasi.

"Sekarang, DPR inilah yang menjadi penting bagi kami, mengajukan permohonan agar DPR pun tak ragu memberikan dukungan pemberian amnesti bagi Baiq Nuril," tutur dia.

Kasus Nuril bermula saat ia menerima telepon dari Kepsek berinisial M pada 2012. Dalam perbincangan itu, Kepsek M bercerita tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Baiq.

Karena merasa dilecehkan, Nuril pun merekam perbincangan tersebut. Pada tahun 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram.

Kepsek lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut. Kepsek M menyebut, aksi Nuril membuat malu keluarganya.

Nuril pun menjalani proses hukum hingga persidangan. Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat memvonis bebas Nuril.

Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi.

Mahkamah Agung kemudian memberi vonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.

Nuril kemudian mengajukan PK. Dalam sidang PK, MA memutuskan menolak permohonan PK Nuril dan memutus Nuril harus dieksekusi sesuai dengan vonis sebelumnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/07/16/19091691/dpr-didesak-segera-pertimbangkan-permohonan-amnesti-baiq-nuril

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke