Salin Artikel

5 Fakta Isud Melawan Penyakit Kusta, Tak Lagi Jadi Kutukan hingga Kesetiaan Sang Istri

KOMPAS.com - Hidup dengan penyakit kusta sudah dijalani Isud Sudana (61) sejak tahun 2016. Dua tahun sebelumnya, sebetulnya Isud sudah merasakan gejala aneh di tubuhnya. Namun saat itu dirinya masih bertanya-tanya penyakit apa yang menggerogoti tubuhnya.

Lalu pada tahun 2016 dirinya bertemu dengan Etin Suprihatin, seorang petugas dari Puskesmas yang menangani program pemberantasan kusta di wilayah Sukarahayu, Isud pun mendapat jawaban jelas bahwa dirinya telah mengidap kusta.

Sejak saat itulah, Isud menjalani hidupnya bersama sang istri tercintanya, Eri (55), di tengah stigma bahwa penyakit kusta adalah kutukan. Isud mengakui, bersama istrinya tercinta, dia bisa menjalani hidupnya setiap hari.

Berikut ini fakta di balik kisah Isud jalani hidupnya di tengah kutukan penyakit kusta:

Sekitar tahun 2014, Isud merasakan rasa pegal mendera tubuhnya. Pegal itu bahkan membuat dirinya tidak mampu lagi bekerja sebagai kontraktor konstruksi.

“Tahun 2014, sok paregel (suka pegal-pegal) di tangan hingga kaki,” ujar Isud kepada Kompas.com di Subang, Minggu (7/7/2019).

Lama-kelamaan rasa pegal yang dirasakan semakin sering dan kuat. Ia pun kerap meriang ketika kelelahan. Hingga akhirnya, tubuhnya benar-benar sulit melakukan aktivitas seperti biasa.

Isud menceritakan, saat itu untuk makan saja dirinya ia harus menggunakan sendok. Jari tangannya tak bisa mengambil makanan. Begitu pun saat minum, harus menggunakan gelas berkuping.

“Kalau pegang gelas biasa, jatuh dan pecah. Kesannya jadi pemarah dan emosional, padahal memang susah saja,” katanya.

Dirinya menceritakan, dia juga pernah membeli produk MLM seharga Rp 2 juta, tetapi tidak menunjukkan hasil yang diharapkan.

Setelah sekian lama mencari jawaban, Isud akhirnya bertemu dengan dengan Etin Suprihatin, pelaksana program pemberantasan kusta Puskesmas Sukarahayu pada 2016.

Tahun itu pula Isud baru mengetahui bahwa dirinya sakit kusta. Setelah itu, Isud pun menjalani sejumlah pengobatan dan terapi untuk sembuh dari penyakit yang lekat dengan stigma penyakit kutukan tersebut.

“Selama setahun saya harus minum obat sekali sehari. Saya juga ikut kelompok perawatan diri dengan merendam kaki, menggosok, kemudian mengoleskan (luka) dengan handbody sekali sehari,” ucapnya.

Setelah melewati pengobatan setahun, kondisi Isud membaik. Jari dan telapak tangannya yang sulit digerakkan kini lebih lentur.

Keberhasilan perawatan ini, kata Isud, sulit dicapai tanpa peran sang istri. Dialah yang setia menemani di segala situasi.

Sang istri, Eri, mengaku perlu kesabaran dan semangat besar untuk lepas dari kusta. Misalnya saat suaminya harus meminum obat setiap hari selama setahun.
“Kalau bosan minum obat, saya bilang kan (bapak) ingin kerja lagi jadi harus sehat,” ucapnya.

Eri pun menceritakan, saat awal suaminya divonis mengidap kusta, dirinya setiap hari harus memijat Isud. Selain untuk mengurangi rasa sakit, tapi juga menguatkan semangat hidup suaminya itu.

“Rasa sakitnya bisa muncul kapan saja. Kadang pas ngantuk-ngantuk-nya jam 3 (dini hari) harus mijit,” tuturnya.

Eri mengaku, sebagai manusia rasa lelah kerap menghinggapi dirinya. Namun, ia tidak pernah lepas berdoa agar suaminya bisa kembali sehat dan bekerja

Dalam kondisi sakit, kedua anaknya, Dedi Sumarna (37) dan Abas Basuki (30), setiap hari membantu kebutuhan orangtuanya.

Namun, Isud dan Eri, tak lantas berpangku tangan saja. Mereka berdua tetap bekerja dengan berjualan tanaman pakcoi.

“Pakcoi ditanam di polybag, ukuran (kebun) 4x6 meter,” kata Eri.

Tanaman pakcoi ini bisa dipanen setiap 2 pekan sekali. Sekali panen menghasilkan 15 kilogram. Untuk saat ini, hasilnya cukup untuk membayar listrik.

“Mudah-mudahan ada bantuan dana untuk memperluas kebun pakcoi,” tuturnya.

Penyebabnya ialah mycrobacterium leprae yang pertama-tama menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikula endotelial, mata, otot, tulang, dan testis.

Penyakit ini bisa menular jika terjadi kontak erat dan lama dengan penderita yang belum berobat. Proses penularannya sangat lama, rata-rata 2-5 tahun, bahkan ada yang 20 tahun.

“Sekadar bersamalam atau makan bersama penyandang kusta tidak akan menular. Kusta juga bukan penyakit turunan,” ucapnya.

Sementara itu, menurut dr Udeng, yang menjadi persoalan sat ini adalah masih adanya stigma ataupun diskriminasi terhadap penyandang kusta di masyarakat.

Kusta kerap diidentikkan dengan penyakit kutukan, padahal kusta bisa disembuhkan dengan berobat. Salah satunya di puskesmas.

Sementara itu, berdasar catatan Dinas Kementerian Kesehatan, masih ada 10 provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta.

Selanjutnya, di tingkat kabupaten/kota pada akhir 2017 masih terdapat 142 kabupaten/kota belum mencapai eliminasi kusta yang tersebar di 22 provinsi.

Sumber: KOMPAS.com (Reni Susanti)

https://regional.kompas.com/read/2019/07/16/05050061/5-fakta-isud-melawan-penyakit-kusta-tak-lagi-jadi-kutukan-hingga-kesetiaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke