Salin Artikel

Warga Dusun di Bantul Tolak Pendirian Rumah Ibadah

YOGYAKARTA,KOMPAS.com-Polemik pendirian tempat ibadah terjadi di Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Warga di RT 34 di Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Sedayu, Bantul, menolak penggunaan rumah tinggal untuk tempat ibadah di wilayah mereka. Alasannya,  pemilik rumah sudah menandatangani kesepakatan tidak mendirikan tempat ibadah yang sudah dilakukan sejak tahun 2003 lalu.

Pemilik rumah, Pendeta Tigor Yunus Sitorus (49) menceritakan dirinya membeli rumah di Dusun Bandut Lor seluas 335 meter persegi seharga Rp 36 juta pada tahun 2003 lalu.

Saat itu dirinya berencana membangun rumah sekaligus Gereja Kristen Pantekosta di Indonesia  (GPdI). Kala itu, pembangunan sempat ditolak warga. 

Saat itu, dirinya memasuki tahap awal pembangunan rumah. Bersama istri dan pekerja, ia dipanggil pihak desa untuk pertemuan mediasi. Saat itu, menurut pengakuan Sitorus, sempat ada tekanan saat dirinya dibuatkan surat pernyataan untuk tidak mendirikan rumah ibadah.

"Ketika beberapa hari kemudian saya dipanggil Pak Dukuh dan tanda tangan tapi setelah itu saya tidak diberi kopiannya," katanya saat ditemui seusai mediasi di Kantor Kecamatan Sedayu, Selasa (9/7/2019) 

Setelah itu, kehidupan kembali normal. Dirinya membangun rumah berwarna biru itu. Dirinya tetap menjalankan kehidupan seperti biasa dan beribadah bersama 50-an jemaatnya meski secara tidak terbuka seperti pada umumnya.

Pada tahun 2016, ada pemutihan Izin Mendirikan Bangunan dari Pemerintah Kabupaten Bantul. Ia mengajukan izin bangunan tersebut sebagai rumah ibadah pada tahun 2017.  

Pengajuan didasari Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Bantul nomor 98 tahun 2016 tentang Pedoman Pendirian Tempat Ibadah.

Akhirnya, pengajuan Sitorus diterima pemerintah dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terbit per 15 Januari 2019. Sejak awal April 2019 lalu, ia kemudian resmi menggunakan rumahnya menjadi Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu untuk ibadah umat dari berbagai pelosok Indonesia, seperti Papua, Kalimantan, hingga Sumatera. 

Namun, upaya yang dilakukan Sitorus belum juga mendapatkan restu dari warga sekitar. Mereka tetap menolak keberadaan tempat ibadah yang rencananya akan digunakan setiap hari Minggu pukul 08.00 WIB.

"Jangankan papan nama kita beribadah saja sudah dipermasalahkan," ucapnya. 

Sitorus diterima baik warga

Ketua RT 34 Samsuri (52) menceritakan, Sitorus sebagai pendatang diterima baik oleh masyarakat sekitar.

Meski ditinggali mayoritas Muslim, wilayah Dusun Bandut Lor ada beberapa keluarga Nasrani. Mereka hidup rukun berdampingan tanpa ada masalah keagamaan.

"Saya dan Pak Sitorus nyanyi ketika 17 Agustus, dia nyanyi saya main keyboard. Saya nyanyi dia yang main keyboard. Tidak ada masalah," katanya.

Menurut dia, penolakan warga ini karena Sitorus menyalahi surat kesepakatan yang berlaku, dan sudah ditandatangani 10 April 2003 silam.

Surat tersebut juga ditandatangani Ketua RT 34, kepala dukuh, kepala desa, camat, Kapolsek, Danramil yang saat itu menjabat, lengkap dengan stempel dari instansi masing-masing.

Mengutip surat tersebut, ada dua hal yang tercantum, yakni,

1. Rumah yang saya bangun di wilayah RT 35 Gunung Bulu, Badut Lor, Argorejo, Sedayu, Bantul 'hanya untuk tempat tinggal'

2. "Pembangunan akan saya lanjutkan setelah IMB selesai". 

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaraan dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun, dan apabila apabila ada penyimpangan di kemudian hari dari pernyataan saya ini, saya bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

"Hanya satu permasalahannya, dia mengingkari surat perjanjian yang sudah ditandanganinya," ujar Samsuri. 

Samsuri mengatakan, pihaknya berharap Sitorus tidak usah membangun rumah ibadah dan kembali melakukan kegiatan seperti biasa.

Saat disinggung apakah jika gereja jadi dibangun, tetapi rumah tersebut setiap beberapa minggu sekali ada doa lingkungan.

Samsuri menilai jika hanya doa bersama tidak rutin dilakukan mungkin masyarakat sekitar masih menerima.

"Keinginan warga agar tempat tinggal Pak Sitorus tetap menjadi tempat tinggal," katanya. 

Sementaraitu, pantauan Kompas.com  di rumah Sitorus, umah berasitektur 'kampung' ini mirip dengan rumah warga biasa. Namun, di ruang tamu terdapat kursi dan mimbar.

Selain itu, ada peralatan musik yang digunakan untuk beribadah jemaah GPdI. Beberapa jemaah juga berada di rumah tersebut.  

Warga lainnya, Hanif Suprapto (46) mengatakan hal yang sama. Warga keberatan dengan keberadaan tempat ibadah karena sudah ada kesepakatan hitam di atas putih.

"Semula izin untuk tempat tinggal sekarang jadi tempat ibadah. Prosesnya juga bermasalah. Secara prosedur salah. Di kelurahan (desa) izinnya tempat tinggal, tapi sampai di kabupaten tepoat ibadah," ujarnya. 

Dia pun meminta pemerintah segera menyelesaikan permasalahan ini agar tidak menjadi konflik meluas antarwarga.Dia berharap aktivitas ibadah di gereja tersebut dihentikan. 

Upaya mediasi gagal 

Mediasi antara GPdI Immanuel Sedayu dan warga Bandut Lor RT 34 di kantor Kecamatan Sedayu tidak menemukan titik temu. Masing-masing pihak bersikukuh dengan pendiriannya masing-masing.

Sitorus berpedoman pada keluarnya IMB sementara warga tetap pada peraturan yang sudah disepakati tahun 2003.

"Jadi keputusannya tadi saya berkewajiban menetralkan dua kutub. Sitorus tetap ingin lanjutkan aktivitas dan warga tetap menolak keberadaan (gereja) itu," kata Camat Sedayu  Fauzan Mu’arifi, seusai pertemuan. 

Dikatakannya, jika merujuk IMB yang dikantongi Sitorus berdasarkan Perbup Nomor 98 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Namun, pada Pasal 5 peraturan itu disebutkan, pemerintah daerah menfasilitasi penerbitan IMB rumah ibadah terhadap bangunan rumah ibadah yang bernilai sejarah, yaitu yang sudah berdiri sebelum tanggal 21 Maret 2006.

Kedua, Perbup 98 tahun 2016, hanya mengatur tempat-tempat ibadah yang punya sejarah. 

Fauzan juka memberikan opsi agar Sitorus menghentikan sementara kegiatan ibadahnya atau melanjutkan dengan konsekuensi penolakan warga.

"Ada potensi konflik. Saran saya bisa menghentikan aktivitas sesuai pertimbangan. Tapi semua tetap pada pilihan Pak Sitorus (melanjutkan peribadahan)," katanya. 

Fauzan menilai, jika ada pelanggaran terhadap perizinan, suatu saat IMB bisa saja dicabut. Untuk permasalahan ini, pihaknya menyerahkan ke Pihak Kabupaten Bantul, karena tidak bisa melakukan perdamaian antara kedua pihak.

"Selaku camat, mediasi ini tidak berhasil. Karena selaku camat setiap ada permasalahan bisa diselesaikan dengan baik. Hari ini tidak bisa ketemu," ujarnya. 


https://regional.kompas.com/read/2019/07/09/19105191/warga-dusun-di-bantul-tolak-pendirian-rumah-ibadah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke