Salin Artikel

7 Fakta di Balik Sistem Zonasi PPDB 2019, Jokowi Akui Banyak Masalah hingga Muncul Kejanggalan Saat Pendaftaran

KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menyoroti banyaknya keluhan terkait penerapan sistem zonasi sekolah di sejumlah daerah.

Jokowi mengatakan, permasalahan dari penerapan sistem zonasi di PPDB pada tahun ajaran kali ini lebih banyak dibanding dengan sebelumnya.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat ternyata juga merasakan dampak dari sistem zonasi tersebut.

Tahun lalu, anak keduanya Camillia Laetitia Azzahra terpaksa bersekolah di SMP swasta lantaran terkena sistem zonasi PPDB.

Berikut ini fakta di balik polemik sistem zonasi sekolah:

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempersilakan awak media untuk menanyakan langsung permasalahan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB) kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikbud) Muhadjir Effendy.

"Tanyakan pada Menteri Pendidikan. Memang di lapangan banyak masalah yang perlu dievaluasi, tapi tanyakan kepada Menteri Pendidikan," kata Jokowi saat ditanyai awak media usai menyerahkan 3.200 sertifikat di GOR Tri Dharma, Gresik, Jawa Timur, Kamis (20/6/2019).

Jokowi tidak menutupi bahwa memang banyak permasalahan yang perlu dievaluasi dari penerapan sistem zonasi di PPDB pada tahun ajaran kali ini dibanding dengan sebelumnya.

Emil mengaku gundah menyikapi masalah sistem zonasi sekolah saat mencarikan sekolah untuk anak keduanya tahun lalu.

"Saya punya pergulatan batin, antara WhatsApp kepala dinas, tapi akhirnya membohongi diri sendiri, maka saya putuskan masuk ke swasta," ujarnya.
Terlepas dari hal itu, menurut Emil, masalah keresahan orangtua siswa menyikapi sistem zonasi merupakan dinamika di semua daerah.

"Dinamika ini tidak terjadi di Bandung, tapi di seluruh indonesia," ungkap Emil.

"Dari dua tahun terakhir kan sudah disiasati, kepada mereka yang tidak mampu dan harus sekolah swasta, kita kan ada program perbantuan nah itu tolong dimanfaatkan, kan tidak boleh ada anak di Bandung yang tidak sekolah akibat kekurangan biaya," tuturnya.

Dia menyebut, persoalan PPDB tahun ini terletak pada kuota sistem zonasi di Bandung yang mencapai 90 persen.

Sejumlah orangtua siswa di Kabupaten Lebak, Banten, khawatir anaknya gagal masuk ke SMA negeri.

Kekhawatiran tersebut muncul lantaran adanya sistem zonasi di dalam proses seleksi.

Atikah, salah satu orangtua murid yang ditemui Kompas.com di SMAN 1 Rangkasbitung, mengaku waswas lantaran lokasi rumahnya berjarak lima kilometer dari SMA negeri terdekat.

Jarak tersebut, kata dia, belum terlalu aman jika mengikuti sistem zonasi.
"Informasi yang saya terima jarak aman zonasi di Rangkasbitung itu sekitar 3 kilometer, sementara rumah saya di Kolelet ke SMA negeri yang terdekat adalah 5 kilometer," katanya kepada Kompas.com, Senin (17/6/2019).

Atikah mengaku kecewa dengan adanya sistem zonasi ini. Padahal, kata dia, anaknya punya prestasi mumpuni dan berasal dari SMP negeri favorit di Rangkasbitung.

Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengatakan, sebenarnya Kota Bandung belum siap menjalankan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB).

“Jujur, (pendidikan) Kota Bandung sebetulnya belum merata,” ujar Yana kepada Kompas.com di sela-sela Big Bad Wolf di Kota Baru Parahyangan, Kamis (20/6/2019).

Yana menambahkan, tidak semua kecamatan atau kelurahan di Kota Bandung memiliki sekolah baik SD, SMP, maupun SMA. Begitupun dengan kualitas pengajarnya, belum merata.

Yana berpendapat, sebelum sistem zonasi diterapkan, ia lebih setuju dilakukan pemerataan baik dari infratsruktur sekolah maupun pengajarnya. Guru-guru yang punya potensi harusnya dimutasi demi pemerataan.

Kalaupun mutasi harus dilakukan, sebaiknya bertahap 20-30 persen dulu. PPDB baiknya tetap mengutamakan akademik.

Salah satu pakar pendidikan, Darmaningtyas, sistem zonasi PPDB ini berpotensi melanggar undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

"Penerimaan murid baru menjadi kewenangan sekolah, dengan kata lain kebijakan zonasi itu melanggar UU Sisdiknas yang seharusnya (aturan itu) dilakukan Kemendikbud," kata Darmaningtyas kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (19/6/2019) siang.

Dia menjelaskan, Pasal 16 Ayat (1) Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) bertentangan dengan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Darmaningtyas berpendapat, pada dasarnya sistem zonasi bisa dilakukan, tetapi besaran persentase zonasi tetap menjadi kewenangan sekolah, bukan pemerintah pusat, apalagi dengan besaran kuota 90 persen.

"Saya intinya setuju zonasi, tetapi tidak 90 persen, itu kebijakan yang menyesatkan. Mungkin 50:50, lah, sehingga bisa mengakomodasi dua belah pihak (siswa di sekitar sekolah dan siswa berprestasi)," ujar Darmaningtyas.

Pada hari kedua pendaftaran sekolah, panitia PPDB SMPN 3 Tulungagung menemukan sejumlah kejanggalan.

Dari data azimut yang diserahkan, ternyata jarak rumah ke sekolah ada yang tidak masuk akal. Saat dimasukkan ke dalam sistem, rumah pendaftar itu ada jaraknya yang mencapai 5.000 kilometer dan 11.000 kilometer dari sekolah. 

"Kalau dilihat dari jarak itu, maka rumahnya ada di tengah laut, Samudera Hindia sana," ucap Syaiku.

Selain itu, ada siswa yang tinggal di 4 derajat lintang selatan dan lokasinya dekat di garis khatulistiwa di Pulau Kalimantan.

Melihat masalah itu, panitia pendaftaran seger menghubungi SD asal para siswa itu.

"Yang disarankan memang (aplikasi) open camera. Mungkin ada aplikasi lain yang dipakai memotret sehingga azimutnya keliru," tambah Syaiku.

Di tengah polemik masalah zonasi sekolah, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyebut, PPDB dengan sistem zonasi adalah upaya memotong rantai kemiskinan.

Sistem ini diyakini akan memberikan hak yang sama bagi warga untuk memperoleh pendidikan gratis dan berkualitas.

"Di negara maju lainnya, sistem semacam ini sudah diterapkan sejak tahun 90-an, karena itu saya mengajak warga Indonesia untuk mendukung program pemerintah yang baik ini, karena sebagai upaya pemerintah memotong rantai kemiskinan," kata Khofifah, Kamis (20/6/2019) dini hari usai sidak pusat data sistem zonasi di Fakultas Teknik Informatika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Sementara itu, pengamat pendidikan Ahmad Rizali mengatakan, ada 4 hal yang harus diperbaiki sebelum sistem zonasi diberlakukan.

Keempat hal itu adalah sinkronisasi pusat dengan daerah, perlunya adanya lembaga bersama atau clearing house, hasil kajian zonasi dan kesiapan sekolah.

Menurut Ahmad, banyak pihak yang masih belum memahami konsep zonasi. Hal ini menimbulkan protes dari mereka, selain karena adanya faktor kepentingan masing-masing.

“Esensi sistem zonasi belum dipahami banyak gubernur dan bupati atau wali kota. Tentu karena berbagai kepentingan, mereka memprotes sistem ini,” ucapnya.

Sumber: KOMPAS.com (Hamzah Arfah, Reni Susanti, Erwin Hutapea, Yohanes Enggar Harususilo, Rachmawati, Luthfia Ayu Azanella)

https://regional.kompas.com/read/2019/06/21/15074081/7-fakta-di-balik-sistem-zonasi-ppdb-2019-jokowi-akui-banyak-masalah-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke