Salin Artikel

Kisah Machmud Gozali, dengan Kaki Merajut Mimpi Melalui Kaligrafi

Santri tamatan pondok Cabang Temboro di Nganjuk itu terlihat serius menyelesaikan kaligrafi yang membentuk gambar manusia sedang duduk. Gozali mengerjakannya di selembar triplek.

Tidak memiliki kedua tangan bukan halangan bagi Gozali untuk menekuni seni kaligrafi dengan menggunakan media triplek. Menurut Nuryanto (63), ayah Gozali, kepiawaian membuat kaligrafi berawal dari sekolah dasar luar biasa SDLB Miroto tempat putranya menuntut ilmu.

Saat di SDLB tersebut bakat melukis Gozali sangat menonjol sehingga sejumlah perlombaan melukis baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi dia ikuti.

“Sampai di Surabaya kalau melukisnya. Beberapa kali juara di tingkat kabupaten,” ujarnya, saat berbincang dengan Kompas.com di kediamannya, Rabu (5/6/2019).

Lulus dari SDLB, Gozali dikirim orangtuanya ke pondok cabang Temboro di Kabupaten Nganjuk untuk belajar agama. Selain belajar ilmu agama, Gozali juga belajar cara memijat kepada orangtua salah satu santri yang sama-sama mondok.

Keuletannya belajar memijat membuat banyak tawaran memijat datang bahkan dari luar kota.

“Pernah mendapat panggilan dari Kabupaten Magetan. Sekarang setiap hari ada saja yang memanggil untuk memijat,” ujar Nuryanto.

Keahlian dari jam dinding rusak.

Kepiawaian membuat coretan kaligrafi Machmud Gozali terasah dari sebuah jam dinding rusak yang coba-coba dilukisnya.

Berbekal cat kaca, jam dinding disulap menjadi sebuah kaligrafi yang indah. Jam dinding yang tadinya rusak akhirnya bisa terjual berkat keahlian Gozali.

Untuk mendapatkan nilai tambah dari kepiawaian membuat kaligrafi, Machmud Gozali kemudian melukis kaligrafi di atas triplek yang kemudian dibuatnya menjadi hiasan kaligrafi tiga dimensi.

Meski masih dalam bentuk sederhana karena lukisan kaligrafi tiga dimensinya belum diberi bingkai, karyanya tersebut telah beberapa kali dibeli oleh tetangga dan sejumlah pengusaha dari Surabaya.

“Kemarin satu karyanya dibeli pengusaha dari Surabaya seharga Rp 500.000,” ujar Masiyen (43), ibu Machmud Gozali.

Dibutuhkan waktu satu minggu bagi Gozali menyelesaikan karya kaligrafinya yang berukuran 35x50 cm. Peralatan yang digunakan juga masih sangat sederhana yaitu pahat dan palu milik kakeknya yang merupakan tukang kayu.

Sempat dibelikan gergaji triplek oleh bapaknya, Machmud Gozali merasa kesulitan menggunakan gergaji dengan kedua kakinya.

Mimpi miliki pahat ukir.

Gozali berkeinginan memiliki peralatan yang bisa mendukung keterampilannya dalam membuat kaligrafi tiga dimensi dari triplek. Dengan suara terpatah-patah, dia mengaku ingin memiliki pahat ukir yang bisa membuat hasil karya kaligrafinya lebih bagus.

Gozali mengatakan, pahat yang ada saat ini membuat dia kesulitan membuat sudut pada huruf arab.

“Biasanya patah atau hasilnya tidak bagus kalau ada bentuk lingkaran,” kata Gozali.

Sayangnya, mimpi Gozali harus tertunda karena kehidupan orangtuanya yang hanya pedagang cilok keliling, sementara ibunya hanya sebagai buruh tani.

Meski demikian Nuryanto mengaku akan berusaha agar anaknya bisa memiliki pahat ukir agar karyanya bisa lebih baik lagi.

“Tetap kami usahaan, masih ngumpul duit. Kami bersyukur meski keadaanya begitu tapi mampu berkarya. Semoga karyanya merupakan amal ibadah,” katanya.

Sejumlah karya kaligrafi tiga dimensi yang masih sangat sederhana berjajar rapi di samping Machmud Gozali yang serius memahat triplek di atas tikar plastik sederhana.

Satu persatu lubang tercipta semakin memperjelas bentuk kaligrafi yang dibuatnya. Gozali akan terus memahat hingga karyanya sempurna.

https://regional.kompas.com/read/2019/06/07/10510891/kisah-machmud-gozali-dengan-kaki-merajut-mimpi-melalui-kaligrafi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke