Salin Artikel

Di Balik Sosok Mbah Arjo, Kakek Berusia 193 Tahun, Temani Presiden Soekarno Ritual hingga Banyak Minum Air Putih

KOMPAS.com - Sosok Mbah Arjo, warga Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, menjadi perbincangan warganet akhir-akhir ini.

Berdasar informasi yang dihimpun Kompas.com, Mbah Arjo meninggal dunia pada hari Selasa (21/5/2019) saat usianya 193 tahun.

Setahun lalu, Tribunjatim pernah menemui Mbah Arjo di rumahnya. Saat itu, dirinya menceritakan pengalamannya saat menemani Presiden Soekarno melakukan ritual.

Berikut ini fakta lengkapnya:

Meski tak ada bukti tertulis atau kesaksian orang lain, Mbah Arjo mengklaim usianya sudah 200 tahun lebih.

Namun, sesuai data di balai desanya, Mbah Arjo tercatat kelahiran 1825. Hal itu dijelaskan oleh Widodo, Kades Gadungan.

"Data di kependudukan desa kami, Mbah Arjo tercatat kelahiran Desa Gadungan pada 19 Januari 1825. Data pendukungnya, ya enggak ada. Cuma, kakek saya Mbah Mawiro Pradio yang kelahiran 1918 saja, memangil Mbah Arjo itu kakek. Berarti bisa dibayangkan, kalau Mbah Arjo sudah sangat tua. Mbah saya itu baru meninggal tahun 1990," ungkap Widodo, yang usianya baru 48.

Saat ditemui Minggu (14/1/2018) pukul 09.00 WIB oleh TribunJatim, Mbah Arjo sedang duduk di rumah sederhana dengan ukuran 3 x 4 meter.

Dinding rumahnya berasal dari bambu (gedek), tetapi sebagian belum dianyam dan cukup dipaku. Atapnya terbuat dari alang-alang bercampur jerami.

"Sejak saya tinggal di sini (1990-an), ya ini rumah saya. Ini saya tempati dengan anak perempuan saya," tutur Mbah Arjo.

Saat itu, bicaranya masih lancar, tetapi mengatakan sudah setahun kesulitan jalan.

Sejak tahun 1990-an, Mbah Arjo tinggal bersama anaknya, Ginem (53). Ginem merupakan anak ke-18 dari istri yang keenam Mbah Arjo.

Tempat tinggal Mbah Arjo hanya berjarak 10 kilometer dari puncak Gunung Kelud.

"Kalau dikait-kaitkan dengan peristiwa zaman dulu soal masa kecil saya, ya saya sudah lupa. Namun, ketika zaman penjajah Jepang, saya sudah beristri yang keenam. Sebab, kelima istri saya itu meninggal dunia sehingga saya menikah lagi dan dapat istri orang Ponorogo, namanya Suminem. Ia meninggal dunia ketika Indonesia merdeka," kata dia saat itu.

Menurut salah satu tokoh masyarakat, Heri Noegroho, Bupati Blitar dua periode 2005-2015, usia Mbah Arjo diduga lebih dari 100 tahun.

"Dulu (saat masih jadi bupati) saya memang sering ke sana dengan naik sepeda motor. Selain ada kepentingan tersendiri dengan Mbah Arjo, juga sekalian ingin mengenalkan destinasi wisata, yakni candi penemuan Mbah Arjo (Candi Wringin Branjang) itu," tutur Heri, Minggu (14/1/2018).

Mbah Arjo bercerita, saat zaman perjuangan, ia sering bertemu Bung Karno dan Supriadi, pahlawan Pembela Tanah Air (Peta).

Saat itu, ia masih tinggal di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan. Oleh Bung Karno dan Supriadi, ia disuruh menemani melakukan ritual di lereng Gunung Gedang, yang kini menjadi tempat tinggalnya.

"Saat itu saya sudah tua. Pak Karno dan Pak Supriadi masih jejaka sehingga kalau memanggil saya mbah," ujar Mbah Arjo.

Mereka bertemu pada suatu malam dan Mbah Arjo disuruh menemani ritual di lereng Gunung Kelud itu.

"Kalau ritual, saya hanya duduk di sampingnya sampai terdengar ayam berkokok. Namun, antara Pak Karno dan Pak Supriadi, seingat saya, tak pernah melakukan ritual bersama di sini. Saat itu, saya lupa sedang terjadi peristiwa apa di Indonesia. Namun, sepertinya sebelum kemerdekaan," kata dia.

Menurut Mbah Arjo, saat Bung Karno sering ritual di tempatnya dulu, kondisinya masih hutan belantara, bahkan masih banyak binatang buas. Tempat duduk yang dipakai ritual Bung Karno itu kini berada di dalam gubuknya.

Seperti diketahui, tempat tinggal Mbah Arjo lebih dikenal dengan Candi Wringin Branjang. Candi ini diperkirakan meruapkan peninggalan Kerajaan Majapahit.

Bangunan candi tersebut mirip dengan Candi Penataran itu disebut-disebut ditemukan pertama kali oleh Mbah Arjo pada 1990.

Saat itu, Mbah Arjo yang baru sebulan menghuni lokasi itu menemukan bangunan yang terpendam tanah pegunungan.

Berdasar cerita yang beredar di kalangan masyarakat, usai menemukan candi tersebut, hampir selalu ada tamu yang datang di hari-hari tertentu. Lebih-lebih, setiap malam 1 Suro, menurut Widono, Mbah Arjo selalu kebanjiran tamu.

Tak hanya dari Blitar, tetapi dari sejumlah daerah, seperti Yogyakarta, Ponorogo, Pacitan, bahkan Jakarta. Mereka melakukan ritual melekan di gubuk Mbah Arjo.

"Biasanya para tamu lapor ke desa, bahkan perangkat kami sering kali yang mengantar tamu-tamunya Mbah Arjo. Kalau ada melekan 1 Suro, malah kami yang meminjami genset karena tempat tinggalnya belum terjangkau listrik," tutur Widodo, Kades Gadungan.

Mbah Arjo mengaku telah mengalami Gunung Kelud meletus sebanyak enam kali. Namun, ia lupa detail tahunnya.

Ia hanya mengingat letusan yang paling dashyat pada 1990. Saat itu, dirinya sudah tinggal di lereng gunung tersebut.

Saat Gunung Kelud meletus, ia tak mau dievakuasi dan tetap tinggal di gubuknya itu bersama anaknya.

"Padahal, saat itu ketebalan abu di desa kami saja sampai 1 meter. Namun, ketika mau dievakuasi, Mbah Arjo enggak mau. Malah bilang, 'saya enggak usah dievakuasi karena saya sudah kenal semua dan teman saya di sini banyak'. Padahal, di gubuknya itu ia hanya tinggal berdua dengan anaknya. Namun, katanya temannya banyak," papar Widodo.

Baru saat terjadi letusan Genung Kelud pada 2014, Mbah Arjo dan anaknya dievakuasi paksa meski sempat menolak.

Warga khawatir Mbah Arjo terkena imbas dari letusan karena jika meluap, kali lahar akan lewat di depan tempat tinggal Mbah Arjo.

"Katanya, saya enggak usah dibawa pergi, wong di sini saya sudah ada yang memayungi. Tapi, kami enggak tega. Ya saat itu kami ke balai desa," ungkapnya.

Soal tips hidupnya, dalam usia tua masih sehat, Mbah Arjo mengaku tak punya tips khusus.

Setiap hari, ia hanya makan sayuran yang ditanam sendiri dan banyak minum air putih. Ia tidak pernah makan lauk-pauk karena memang tidak ada yang dimakan.

"Pesan saya jangan banyak pikiran agar tak selalu kepikiran. Jangan menyakiti orang supaya tak jadi beban. Seperti saya tinggal di sini ini. Siapa yang saya sakiti wong tak ada orang lain selain anak saya," ujar dia.

Selama hidupnya, ia mengaku baru setahun ini merasakan sakit pada kakinya yang tiba-tiba tak bisa digerakkan.

Padahal, sebelumnya ia masih bisa menanam sayur-sayuran, seperti bayam, mencari kayu bakar, mandi ke sungai yang ada di belakang rumahnya.

"Saya ini enggak pernah sakit, bahkan pilek (flu) saya enggak pernah. Soal makanan, ya seadanya. Wong saya sering puasa karena memang keadaannya tak ada yang dimakan lebih kecuali minum air putih dan makan apa yang ada," ujar dia.

Sumber: KOMPAS.com (Rachmawati)/ Tribunnews (Imam Taufiq)

https://regional.kompas.com/read/2019/05/25/14092251/di-balik-sosok-mbah-arjo-kakek-berusia-193-tahun-temani-presiden-soekarno

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke