Salin Artikel

Karena Perempuan, Kepala Dukuh Ini Ditolak Warganya

Padahal, Yuli telah mengikuti seleksi perangkat Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta dan telah dilantik oleh Lurah Desa pada Jumat (17/5/2019) bersamaan dengan pelantikan Hari Wantoro sebagai Kepala Dukuh Gatak.

Penolakan Yuli sebagai kepala dukuh dilakukan oleh sebagian warga Dusun Pandeyan dengan beberapa alasan salah satunya karena Yuli seorang perempuan dan dikhawatirkan tidak bisa melayani masyarakat selama 24 jam penuh seperti kepala dukuh sebelumnya.

Pada hari Minggu (19/5/2019) Kompas.com mendatangai Dukuh Pandeyan untuk menelusuri penolakan tersebut.

Di sebuah pos sejumlah pria paruh baya tampak duduk bersantai. Saat Kompas.com menanyakan rumah kepala dukuh yang baru, raut wajah mereka berubah tidak nyaman. Lalu mereka menunjukkan lokasi rumah di pinggir sawah.

"Dukuh baru kemarin dilantik kok sudah terkenal," kata seorang bapak.

Saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Yuli yang berprofesi sebagai guru PAUD ini menceritakan awal mula ia mendaftar sebagai calon kepala dukuh. Sebelumnya, Yuli adalah anggota Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) Desa Bangunharjo yang dilantik tahun 2018 lalu. Namun ia mundur setelah memutuskan mendaftar sebagai kepala dukuh.

Setelah mendapatkan informasi mengenai adanya lowongan kadus Pandeyan, dirinya pun berinisiatif ikut konstetasi di dusunnya. Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul, salah satu syarat untuk bisa mencalonkan pamong desa adalah didukung 100 orang penduduk setempat. Yuli akhirnya berinisiatif melakukan pencarian dukungan.

"Akhirnya saya dapat 150 KTP dan karena karena syaratnya hanya 100 KTP maka hanya saya pakai 100 KTP," ucapnya.

Ia dinyatakan lolos seleksi administrasi bersama lima orang calon lainnya dan mengikuti seleksi pada 4 Mei 2019 di Universitas Widya Mataram. Ia harus melalui tes tertulis hingga pidato. Namun dia tidak menunggu hasil tes yang diumumkan pada malam hari.

Salah seorang kerabatnya kemudian menghubunginya dan mengatakan jika dia memperoleh nilai terbanyak saat seleksi kepala dukuh.

"Sekitar jam 10 malam itu bapak saya datang ke rumah. Bilang sama saya kalau mau didemo karena ranking 1. Terus beberapa hari kemudian ada yang pasang spanduk menolak perempuan jadi dukuh itu," ucapnya.

Disinggung mengenai dasar penolakan, dirinya tidak mengetahui secara pasti. Namun sesuai dengan peraturan yang berlaku, dirinya sudah mengikuti prosedur dan tidak ada yang dilanggar.

"Saya tanya ke saudara saya, terkait penolakan. Katanya karena saya perempuan, galak, dianggap tidak melayani masyarakat karena suami saya Ketua RT 1 susah dimintai minta tanda tangan dan dianggap saat RT 1 dapat pemberitahuan PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap) tidak disampaikan ke warga" ucapnya.

Padahal menurutnya, terkait masalah PTSL, dirinya bukan anggota pokmas (Kelompok masyarakat) sehingga tidak memiliki kewenangan. Saat itu, dia sempat didatangi oleh salah seorang ketua RT lain dan kebetulan suaminya tidak ada.

"Salahku kalau perempuan apa. Wong syarat tak ikuti semua dan tes hasilnya ranking pertama," ujarnya

Diakuinya, sempat ada teror saat ia memutuskan terus maju. Rumahnya dilewati sekelompok orang yang membunyikan kendaraan cukup keras. Selain itu, empat dari lima ketua RT di wilayahnya mengundurkan diri.

"Pas saya datangi ternyata (Ketua) RT 4 dan RT 5 tidak mundur. Mereka tanda tangan surat penolakan karena tidak enak saja sama yang mendatangi. Jadi yang mundur hanya (Ketua) RT 2 dan RT 3 saja," ujarnya.

Dirinya berjanji akan mengajak siapa saja yang menolak untuk berbicara dari hati ke hati. Namun tidak dalam waktu dekat ini karena suasananya masih panas.

Kompas.com akhirnya memutuskan mencari rumah Ketua RT 3. Saat bertannya kepada beberapa warga berkumpul disalah satu rumah, Kompas.com mendapatkan jawaban yang mengejutkan.

"Di sini sudah tidak ada RT sudah bubar semuanya," ucap salah seorang bapak.

Beberapa warga kemudian bercerita tentang keseharian Yuli yang dianggap berperilaku tidak baik.

"Warga di sini sepakat untuk menolak dukuh perempuan. Alasannya kasihan seorang ibu harus bekerja selama 24 jam penuh melayani warga. Kami sebelum pendaftaran sebenarnya sudah menolak adanya calon perempuan," ucap seorang bapak.

"Waktu itu warga ada yang minta tanda tangan untuk SKTM. Dicari sore gak ketemu. Ketemu pas mau berangkat kerja Bu Yuli bilang gak sopan minta tanda tangan di jalan. Padahal dicari di rumah gak ketemu. Suaminya bu Yuli kan RT," ucapnya.

Menurut dia, upaya penolakan warga ini sudah disampaikan ke tingkat desa hingga kecamatan, dan Bupati namun tidak mendapatkan respon.

"Setelah tidak direspon, muncul unek-unek warga yang selama ini ada. Mulai tentang kebiasaan Yuli yang kurang baik terhadap warga. Yuli selaku istri ketua RT 1 dinilai kurang bisa merangkul semua kalangan di wilayahnya," katanya.

Konsekuensi penolakan ini adalah vakumnya kegiatan PKK hingga posyandu oleh warga setempat.

Bahkan warga tidak mau melakukan kegiatan lomba dusun. Ia mengatakan, warga tidak menggelar demo dan hanya mengantarkan ketua RT untuk mundur di kantor desa.

"Memang kegiatan kampung di sini mundur semua. Posyandu semuanya mundur," kata seorang pria lainnya.

"Siapapun yang jadi kami terima asal bukan perempuan," imbuhnya.

Sementara itu mantan Ketua RT 3 kepada Kompas.com mengaku memutuskan mundur sebagai ketua RT bersama tiga ketua RT lainnya  karena ada penolakan kepala dukuh perempuan oleh warganya.

Ia juga menceritakan ada 410 warga yang tanda tangan menolak kepala dukuh yang baru. Menurutnya, dari RT 2 sampai RT 5 meminta kepala dukuh diganti laki-laki.

"Banyak hal lah. Kalau perempuan undang-undang mengizinkan, tetapi alasannya macam-macam. Kesepakatan (RT) 2 sampai 5 mengundurkan diri kecuali RT 1 karena memang suaminya (Yuli). Dan rencana ini juga termasuk ketua Posyandu, ketua PKK RT, PKK dusun mundur semua itu. Tambah lagi kegiatan posyandu juga vakum," ucapnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/05/20/07000031/karena-perempuan-kepala-dukuh-ini-ditolak-warganya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke