Salin Artikel

Penuh Lalat dan Sampah, Kondisi Menyedihkan Pengungsian Korban Banjir dan Longsor di Bengkulu

Terdapat 107 Kepala Keluarga (KK) atau 419 jiwa harus menjalani ramadan di tenda-tenda pengungsian yang dibuat sederhana.

Aroma busuk, sampah berserakan, lalat berterbangan, serta manajemen pengungsian sangat jauh dari layak di lokasi itu saat Kompas.com mengunjungi lokasi pengungsian pada, Senin (6/5/2019).

Puluhan tenda terbuat dari terpal tampak berjajar di sebuah kebun kelapa sawit tak jauh dari Desa Genting.

Lokasi pengungsian tersebut berada di tempat cukup tinggi dari Desa Genting. Sementara permukiman desa sendiri hingga saat ini tak dapat ditempati karena lumpur sisa banjir masih menyesaki perkampungan dengan tinggi kisaran 30 sentimeter hingga satu meter.

Desa Genting merupakan desa yang paling terisolasi saat banjir menerjang 27 April 2019. Pada hari keempat pascabencana desa ini baru bisa ditembus oleh tim evakuasi.

Terdapat dua sungai harus dilalui untuk tiba ke lokasi ini. Dua sungai tersebut meluap saat bencana terjadi.

Butuh 3 jam menembus lokasi pengungsian

Menuju lokasi pengungsian dari Kota Bengkulu membutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan darat. Medan berat menjadi hambatan apalagi bila hujan membuat jalan tanah liat menjadi becek.

Mobil yang kami tumpangi tak kuasa mengantarkan ke lokasi pengungsian karena tanjakan terjal nan licin. Perjalanan kami lanjutkan dengan jalan kaki sekitar 20 menit.

Peluh sudah membasahi wajah dan tubuh saat sayup-sayup terdengar suara warga di pengungsian. Tepat di dalam kebun kelapa sawit tenda terpal milik pengungsi berwarna biru menyambut kedatangan.

Tidak kurang empat tenda terpal disusun seperti rumah oleh pengungsi di pintu masuk pengungsian.

Sejumlah warga tampak tertidur tak lelap di dalam tenda yang panas akibat terpaan sinar matahari.

Tampak seorang perempuan paruh baya tertidur sambil duduk dengan mulut tertutup masker, lelah jelas terpancar dari wajahnya.

Menuju ke tengah lokasi pengungsian terdapat tenda besar, tertulis logo Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tepat di atas tenda besar itu.

Di dalam tenda itu tampak lengkap, beras, sarden, kornet, mie instan, sabun cuci hingga pakaian terlihat berserakan. Sejumlah donatur tampak datang dan pergi mengantarkan kebutuhan pengungsi.

Segerombolan ibu-ibu terlihat membongkar beberapa karung pakaian layak pakai, selanjutnya pakaian yang tidak terpakai dikumpulkan di sebuah tenda khusus.

Belum terlihat saat itu petugas dari pemerintahan di lokasi pengungsian. Pengungsi bebas mengakses logistik yang tertumpuk di tenda milik BPBD tersebut.

"Kalau makanan, pakaian, kami sudah cukup banyak dibantu warga, namun air bersih tentu masih kekurangan sementara sumur warga banyak rusak," kata Nasirun, Kepala Desa Genting.

Bergerak sedikit dari tenda milik BPBD menuju ke belakang terdapat beberapa tenda milik warga, ada warga yang bergerombol bercerita, tidur, juga melamun.

"Inilah kondisi pengungsian, kalau hujan becek dan banjir, lalat berterbangan, sampah sudah beberapa kali kami bersihkan tapi muncul lagi, lalat cukup banyak, khawatir dapat menyebarkan penyakit," jelas warga bernama Sawal.

Lalat berterbangan dari sampah yang berserakan, sementara itu bau busuk di permukiman desa berasal dari sejumlah domba yang mati dan belum sempat dievakuasi di dalam sebuah Polindes milik desa.

"Ada sembilan domba menyelamatkan diri saat banjir ke dalam polindes namun tidak selamat baunya menyengat," ujar warga lain.

Sawal mengatakan tidak tahu sampai kapan mereka harus bertahan di lokasi pengungsian yang sumpek dan tidak sehat itu.

Warga ingin kembali namun kondisi desa rusak total. Genangan lumpur masih menutupi jalan desa, drainase dan perumahan.

"Warga ada yang membersihkan lumpur dari rumah, namun lumpur yang mengendap di drainase dan jalan desa, warga tidak mampu membersihkannya butuh semacam mobil pemadam kebakaran yang dapat membersihakn lumpur dengan semprotan kuat, atau butuh ekskavator mini," keluh Sawal.

Sejumlah anak-anak juga terlihat di lokasi tersebut. Warga mengaku belum ditemui penyakit yang menyerang anak-anak sejauh ini kecuali demam dan batuk.

Di lokasi pengungsian terlihat tiga orang petugas medis melayani kebutuhan kesehatan warga.

Tidak sekolah

Sementara itu proses pendidikan sembilan hari pascabencana harus dihentikan karena gedung sekolah hingga kini masih terendam lumpur.

Tania (7) siswi SD Negeri 41 Desa Genting menyebutkan sejak banjir menerjang sekolahnya ia tak lagi sekolah.

"Sekolah libur, gedungnya penuh dengan tanah," kata Tania.

Sementara itu Dian siswa kelas 3 SD 41 Desa Genting mengaku seluruh peralatan sekolahnya hilang tersapu banjir. Ia dan orangtuanya tak sempat berkemas saat banjir mendadak menyapu desa.

"Sepatu, baju, buku, semuanya hanyut disapu banjir," cerita Dian.

Dian, Tania, Sawal, Nasirun dan seluruh pengungsi merindukan kembali ke rumah mereka yang nyaman.

Mereka tetap menautkan harapan agar pemerintah dapat membantu membersihkan desa mereka dari tumpukan lumpur yang makin hari makin berbau busuk.

https://regional.kompas.com/read/2019/05/07/08050161/penuh-lalat-dan-sampah-kondisi-menyedihkan-pengungsian-korban-banjir-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke