Salin Artikel

Kata Mahasiswa USU soal Pemilu 2019: Fenomena Nurhadi-Aldo hingga Golput

Saat ini, KPU sedang melakukan penghitungan suara, melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) hingga pemungutan suara lanjutan (PSL). 

Ada banyak pelajaran dipetik dari pemilu serentak tahun ini.

Kompas.com berkesempatan mewawancarai sejumlah mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) terkait pandangan mereka terhadap pelaksanaan pemilu 2019 pada Jumat (26/4/2019).

Berikut hasilnya.

Apresiasi antusiasme masyarakat

Rinaldi Hasibuan, seorang mahasiswa di ekstensi fisika mengatakan, sebagai seorang mahasiswa, dia turut menganalisis perkembangan dan jalannya demokrasi khususnya pemilu 17 April kemarin, menarik untuk melihat bagaimana antusias masyarakat dalam menyambut pesta 5 tahunan ini. 

Bukan saja dari kalangan akademisi, bahkan peran serta masyarakat seperti bapak-bapak dan Ibu-ibu yang selama ini cenderung pasif, justru malah sebaliknya.

"Saya rasa ini perkembangan yang sangat baik, dan harapan kedepan semoga segala elemen dapat memantau dan mengawal segala kebijakan pemerintah," katanya.

Persoalan dan polemik antara quick count dan real count, menurutnya masih dalam batas kewajaran.

Sebab saat ini, untuk mendapatkan segala bentuk informasi bisa diakses dengan mudah dan secara tidak langsung menyebabkan masyarakat terlibat dalam pengawasan pemilu.

Yang terpenting adalah bagaimana menyikapi setiap polemik agar tidak terjadi tindakan-tindakan inkonstitusional.

Berbicara soal kriteria presiden ideal, dia melihat kondisi politik hari ini cenderung liar. Sengaja membenturkan perbedaan demi satu kepentingan. Sehingga menyebabkan masyarakat yg berbeda pandangan rawan terjadi perpecahan.

Dia berharap siapapun presiden ke depan, mampu menstabilkan kembali kondisi pasca-pemilu ini.

"Juga pemimpin yang mendapat rasa hormat yang tinggi dari masyarakatnya. Kemudian berkomitmen untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI," katanya.

Hal ini bisa dilihat dari akses ruang publik yang kerap di privatisasi dalam menerapkan sistem oligarkinya, sehingga terlihat secara jelas kepentingan itu tidak merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terlebih lagi masyarakat tidak diberikan pendidikan politik secara khusus untuk memberikan kesadaran secara kolektif.

Hanya saja, sambungnya, bentuk-bentuk sosialisasi praktek politik yang dilakukan lembaga penyelenggara pemilu masih kurang sehingga pemilih minim kesadarannya untuk memberikan kontribusi positif untuk perubahan ke depannya.

Selain itu, survei pemilu sangat membingungkan dan menciptakan polemik karena negara tidak memberikan kontrol penuh terhadap lembaga survei swasta dalam melakukan kegiatan organisasinya.

Menurutnya, mungkin bisa berkaca dari quick count yang terjadi pada pemilu di Amerika Serikat pada beberapa tahun silam.

"Di situ terlihat jelas hasil quick count memberikan info yang jelas secara serentak dan tidak menimbulkan kontradiksi

Dia menambahkan, sosok pemimpin yang dibutuhkan untuk lima tahun mendatang, harus memenuhi beberapa kriteria yakni, memberikan kesejahteraan yang merata di seluruh daerah.

Memberikan pendidikan yang tidak berbasis industri kapitalis dan menggenjot literasi pada peserta didik. Sistem ketatanegaraan dan aparatur pegawai sipil harus diperbaiki untuk memberantas korupsi dam menjunjung tinggi transparansi.

"Tegakkan prinsip-prinsip Pancasila. Pemimpin dan pejabat negara harus menjamin kebebasan berekspersi, kritik serta memberikan masyarakat forum evaluasi pada pemimpin dan pejabat negara lainnya di ruang publik," katanya.

"Kebetulan saya ikut turun ke lapangan untuk meneliti bagaimana partisipasi pemilu 17 ini," katanya. 

Mengenai polemik real count, menurutnya sangat tidak objektif dilakukan karena hanya sebagian TPS saja sehingga tidak real dari keseluruhan maka banyak dari masyarakat beranggapan tidak sah, masyarakat beranggapan sangat ingin hasil yang mutlak. 

Dia menambahkan, Indonesia membutuhkan sosok presiden yang siap untuk (menjawab) kebutuhan dan keresahan masyarakat.

"Soalnya, kebutuhan secara umum dan kusus untuk kerasahan yang harus diterima oleh presiden ialah jeli melihat masyarakat desa yang saat ini masih jauh dari demokrasi yang diterapkan dan otonomi daerah yang sudah di tentukan," katanya.

Sementara itu, Thomas Rocky Nainggolan, mahasiswa USU lainnya mengatakan, pemilu 2019 masih terasa biasa saja karena masih terjadi beberapa masalah seperti surat yang sudah tercoblos sebelum hari H.

Kemudian dia juga menyesalkan masih terjadinya polemik terkait quick count dan real count. Seharusnya, proses pemilu bisa berjalan secara transparan.

"Saya berharap, pemimpin ke depan bisa membuat kita semakin baik. Kepemimpinan harus dijalankan dengan nilai-nilai Pancasila. Jujur dan adil," katanya.

Hadirnya pasangan calon fiksi Nurhadi-Aldo yang membuat gelak tawa di mana dianggap antimainstream. Apalagi kemudian, muncul film Sexy Killers yang menggambarkan akan masing-masing kandidat para kontestan politik terkait pertambangan batu bara. 

Menurutnya, polemik quick count dan real count merupakan hal yang lumrah dalam sebuah pertarungan politik seperti ini, akan tetapi alangkah baiknya terkait quick count tidak perlu ditampilkan di media-media yang ada, baik itu menguntungkan 01 maupun 02.

Pasalnya, mengganggu konstelasi bangsa, di mana saat ini bangsa ini menurutnya belum dewasa dalam menyikapinya sehingga lebih baik menunggu hasil resminya dan tetap mengawal agar tidak ada kecurangan.

"Mengenai pemimpin, yang benar-benar berpihak pada yang lemah saja sudah jauh lebih baik untuk Indonesia, ya kita juga harus jujurlah terhadap bangsa ini, yang kaya semakin kaya begitu juga yang miskin semakin miskin, ditambah lagi jumlah yang miskin lebih dominan, maka dari itu jarak ketimpangan semakin besar dan kebanyakan hal ini cuma dijadiin isu yang pilu dikala pemilu," katanya.

Memilih golput

Berbeda dengan Yael Stefani Sinaga. Aktivis pers mahasiswa ini mengaku golput dan karenanya dia merasa tidak merasa ada yang menarik dalam pemilu kali ini.

Semua yang terjadi hanya euforia semata dan kepentingan berbagai pihak. Di mulai dari banyaknya serangan fajar H-1 pemilu dan maraknya diskon baik barang dan makanan untuk orang-orang yang memilih dengan hanya menunjukkan tinta di jari tanda telah memilih.

Quick count menurutnya menjadi masalah karena belum resmi dan tidak bisa dijadikan pedoman. Seharusnya masyarakat tak terpaku dengan hasil quick count karena pada akhirnya keputusan yang diakui dan resmi nantinya pastilah berasal dari pengumuman oleh KPU.

"Kalau saya ditanya yang tidak hanya janji selalu. Yang benar paham apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Klasik sebenarnya karena aku pun masih pesimis untuk presiden Indonesia. Tak bisa dipegang perkataannya," katanya.

https://regional.kompas.com/read/2019/04/29/05492481/kata-mahasiswa-usu-soal-pemilu-2019-fenomena-nurhadi-aldo-hingga-golput

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke