Salin Artikel

Derita Penyakit Langka, Ketut Budiarsa Aktif Melukis dan Tak Ingin Jadi Beban bagi Orang Lain (2)

DENPASAR, KOMPAS.com - Seiring berjalannya waktu, Ketut Budiarsa, penderita penyakit langka osteogenesis imperfecta sudah bisa menerima kondisinya dengan lapang dada.

Bahkan, dia tidak ingin menjadi beban bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya.

Walau beraktivitas menggunakan kursi roda, tidak mengurangi semangat Budiarsa berkarya.

Ia melukis dan terlibat dalam kegiatan sosial.

Penyakit yang diderita Budiarsa menyebabkan masa kecilnya sangat menderita. Penyakit langka ini membuat Budiarsa sering mengalami patah tulang hingga ratusan kali. Bahkan, sempat dua kali dioperasi.

Namun, langkah medis yang ditempuh tidak dapat menolong Budiarsa dari kondisi yang dialaminya saat ini.

Ketika masih kecil, penyakit yang dideritanya sering membuatnya minder. Sebab. lingkungan sekitar masih beranggapan penyakit yang dideritanya bisa menulari anak-anak lain.

Beruntung, Budiarsa memiliki orang tua yang sabar. Berprofesi sebagai pedagang, sang ayah sering mengajak Budiarsa berjualan dan memperkenalkannya kepada orang lain.

Apalagi, beberapa waktu belakangan mulai tumbuh kesadaran dari masyarakat untuk menghargai penyandang disabilitas.

“Beruntung orang tua saya selalu mendukung dan membesarkan hati saya. Syukur keluarga tidak minder,” kenang Budiarta.

Kehidupan Budiarta mengalami perubahan sejak tahun 1997. Ketika itu, ada warga asing mendirikan sekolah tak jauh dari tempat Budiarta tinggal.

Sebelumnya, Budiarsa tidak diterima di sekolah dengan alasan tidak bisa mengikuti mata pelajaran olah raga.

Di sekolah yang didirikan oleh orang asing itu, Budiarsa diterima.

Apalagi, pada tahun 1999, Budiarsa bersama kedua saudaranya yang mengalami penyakit yang sama mendapat bantuan kursi roda dari seorang warga negara Amerika Serikat (AS).

“Waktu pertama kali dapat kursi roda senangnya luar biasa, seharian tidak mau turun, sampai-sampai mimpi naik kursi roda,” tutur Budiarsa sambil tertawa.

Saat menempuh pendidikan, Budiarsa mengaku mendapat dukungan dari teman-temannya, sama sekali tidak ada perlakuan diskiriminatif.

Saat itu, usia Budiarsa sudah menginjak 15 tahun. Sehingga, Budiarsa mengalami percepatan kenaikan kelas. Hanya butuh waktu dua tahun baginya untuk menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.

“Waktu itu karena dianggap mampu menyerap pelajaran dengan cepat, saya kenaikan kelasnya dipercepat. Jadi bisa selesaikan sekolah dasar hanya dua tahun,” kata Budiarsa.

Seiring berjalannya waktu, Budiarsa berpikir tidak mungkin selamanya menggantungkan hidupnya pada orang lain.

Karena itu pada tahun 2000 bersama kedua saudaranya yang juga mengalami penyakit osteogenesis imperfecta, dia membuka studio lukis 3 Brothers + 1.

Dinamai demikian karena studio ini dikelola bertiga plus adik bungsunya yang terlahir dengan kondisi normal.

“Sebelum ada studio saya bersama saudara benar-benar bergantung pada keluarga. Tapi saya berpikir tidak mungkin selamanya seperti itu, setidaknya ada yang dilakukan untuk mengurangi beban orang tua,” tutur Budiarsa.

Setelah mempertimbangkan sejumlah ide, Budiarsa teringat masa kecil suka mencoret-coret. Lalu, tercetuslah ide melukis.

Secara teknis, melukis tidak begitu berat dilakukan dengan kondisi fisik Budiarsa. Saat Budiarsa membuka studio lukis, beberapa pelukis di wilayah Ubud secara sukarela datang dan berbagi ilmu. Salah satunya, pelukis kenamaan I Gusti Murniasih (alm).

“Awlanya tidak serius melukis, tapi setelah beliau meninggal kami jadi ingat kembali ilmu yang beliau ajarkan. Dalam melukis kami banyak menggunakan teknik dan karakter Geg Murniasih,” kata Budiarsa.

Ia membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk menyelesaikan satu lukisan. Karyanya dijual dengan harga bervariasi hingga mencapai Rp 10 juta.

Salah satu lukisan favorit Budiarsa berjudul "Keagungan Jiwa". Dalam lukisan ini terdapat segitiga sebagai simbol siklus kehidupan, yaitu kelahiran, hidup dan kematian.

Lukisan itu menggambarkan jiwa manusia bersayapkan pelangi. Warna merah merona menggambarkan cinta kasih. Lukisan ini menceritakan jiwa masuk ke dalam tubuh. Seperti apa jiwa berekspresi, akan ditentukan fisik di mana dia tinggal.

Melalui lukisan ini, Budiarsa ingin mengekspresikan permenungan tentang dirinya. Tidak ingin melebar ke mana-mana. Seperti yang diwakilkan oleh sosok cicak dalam lukisan tersebut.

Seekor tokek diyakini akan berbunyi manakala orang sedang berkata benar. Dunia, menurutnya, seperti panggung drama. Setiap orang mendapatkan perannya masing-masing.

Bagi Budiarsa, kondisinya saat ini adalah “peran” yang diberikan Tuhan kepadanya. Tentu tidak kebetulan Tuhan memberikan peran tersebut.

“Setiap orang tentu sudah mendapatkan perannya masing-masing. Saya mendapatkan peran ini jangan-jangan karena Tuhan menganggap saya kuat, mungkin saya tidak akan kuat jika menjalani peran yang lain,” ucap Budiarsa. (Bersambung)

https://regional.kompas.com/read/2019/03/20/10563231/derita-penyakit-langka-ketut-budiarsa-aktif-melukis-dan-tak-ingin-jadi-beban

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke