Salin Artikel

Era Politik Digital dan Pembelajaran Kasus Video "Jika Jokowi Terpilih, Tak Ada Lagi Azan"

Pakar Pemilu dari Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) Maulana Rifai menyebut pada era "politik digital" opini publik menjadi hal biasa yang dibentuk masing-masing calon. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melain juga di negara lain.

Hal inilah yang kemudian membentuk kampanye hitam dan hoaks. Kampanye hitam dan hoaks yang berserakan di ruang publik juga dituding sebagai dampak kurangnya pendidikan atau literasi politik dari tim kampanye terhadap masyarkat, khususnya para relawan.

"Sekarang ini era post-truth, pasca-kebenaran. Sekarang itu kebenaran sifatnya relatif dan subjektif. Jadi orang bisa mengklaim kebenaran sesuai dengan perspektifnya, atau sesuai dengan preferensi politiknya," ujar Rifai ditemui di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsika, Kamis (28/2/2019).

Sayangnya, kecenderungan tersebut tak hanya berlaku bagi masyarakat yang berpendidikan tinggi, melainkan juga yang berpendidikan rendah. Artinya, mereka mengklaim kebenaran sesuai preferensi politiknya.

"Mereka akan menolak ketika kebenaran itu akan bertolak belakang dengan pilihannya. Ini menurut saya jadi penyakit ya. Kalau tadi diistilahkan, penyakit bagi esensi demokrasi yang kita jalani hari ini," kata dia.

Tak Paham Akibat dan Korban "Politik Digital"

Menyikapi persoalan tiga wanita atau akrab disebut emak-emak terkait kasus video "Jika Jokowi Terpilih, Tidak Lagi Ada Azan", Rifai menilai hal ini terjadi lantaran ketidakpahaman terhadap dampak dari apa yang mereka lalukan. Apalagi kemudian diunggah di media sosial.

"Mungkin mereka tidak pernah kepikiran bahwa dampaknya bisa seluas ini, dan bisa memasukkan mereka ke dalam penjara. Karena memang ada Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik," katanya.

Ia menilai tiga wanita yang kini menyandang status tersangka tersebut cenderung menggunakan perasaan ketimbang logika dan rasio.

Sehingga, ketika menerima informasi yang bersifat tendensius, dengan mudah menyebarkan di ruang publik, termasuk media sosial. Apalagi, dalam era serba digital ini, media soal mudah diakses.

Oleh karena itu, menurutnya mereka perlu diraih oleh kelompok sosial untuk diberikan pemahaman literasi politik dan literasi digital. Tujuannya, agar lebih bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi.

Pembelajaran

Kasus video yang akhir-akhir ini santer menghiasi ruang publik tanah air ini, menurut Rifai, kiranya bisa menjadi pembelajaran bagi masing-masing elite politik, aktor politik, maupun warga biasa agar tidak terjerat kasus serupa, terutama UU ITE.

Disamping itu, pemahaman terhadap literasi digital juga diperlukan agar bisa membaca suatu persoalan secara jernih.

"Ini bisa dikatakan hal yang tidak pernah terpikir. jadi kalau mereka paham, mereka tentu akan lebih aware, lebih berhati-hati dalam menggunakan sosial media," tambahnya.

Terlepas dari ketiga wanita tersebut dimobilisasi atau tidak, Rifai menolak adanya ujaran kebencian maupun kampanye hitam lantaran merugikan salah satu kandidat.

Apalagi, jika menilik menilik realitas di sosial media, ini persoalan tersebut menjadi komoditas bagi pihak dirugikan untuk menjadi "alat serang".

Ia berharap penindakan terhadap kampanye hitam maupun ujaran kebencian tidak hanya menyasar salah satu kubu saja. Artinya keadilan bisa ditegakkan.

"Saya berharap baik kubu 01 atau 02 mengedepankan bahwa, yang namanya black campain, fitnah, penyebaran hoaks itu memang harus ditindak. Terlepas siapapun itu, mau masuk relawan kah, masuk timses kah, dan lain sebagainya," katanya.

Meski demikian, Rifai mengaku tidak membebankan tanggungjawab kepada salah satu pihak saja. Menurutnya, keduanya bisa disandingkan bagi masing-masing tim kampanye.

"Karena persebaran pemilih di kita sangat luas, sehingga memang tidak cukup, jika kita membebankan hal itu kepada dua tim tadi katakanlah. Tidak bisa menekankan tanggungjawab kepada pihak manapun," ungkapnya.

Pemicu Golput

Bertebarannya kampanye hitam, ujaran kebencian, hoaks, dan aksi saling lapor antar kubu disinyalir dapat membuat masyarakat jengah. Bankan cenderung memilih golput.

"Kecenderungannya begitu," katanya.

Terlebih saja, kata dia, di Indonesia tidak ada hukuman bagi para "peganut golput", berbeda dengan di negara Kanguru, Australia.

"Golput itu di kita (Indonesia) juga tidak bisa dilarang, tidak bisa dihukum," katanya yang juga pernah melakukan riset pengaruh sosial media bagi pemilih pemula itu.

https://regional.kompas.com/read/2019/03/01/06305681/era-politik-digital-dan-pembelajaran-kasus-video-jika-jokowi-terpilih-tak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke