Salin Artikel

Percakapan Golput di Media Sosial Cenderung Jawa Sentris

Laboratorium Big Data Analytics mencatat, percakapan golput di media sosial berdasarkan sebaran geografis cenderung bersifat Jawa-sentris.

Peneliti Laboratorium Big Data Analytics DPP Fisipol UGM Arya Budi mengatakan, data analisis tentang isu golput menjelang Pemilu 2019 diperoleh melalui percakapan di media sosial twitter dan pemberitaan lebih dari 200 media online.

"Analisis isu golput di media sosial dilakukan dalam rentang 27 Januari hingga 19 Februari 2019," ujar  Arya Budi, saat konferensi pers di Digilib Cafe Fisipol UGM, Senin (25/2/2019).

Arya menyampaikan, pemetaan isu golput berdasarkan sebaran geografis cenderung bersifat Jawa sentris. Berdasarkan analisis data Twitter, ada 3 daerah dengan percakapan isu golput terbanyak.

"Jawa Barat 21,60 persen, DKI Jakarta 14,94 persen, dan Jawa Timur 14,64 persen," tuturnya.

Dijelaskannya, ada dua hal yang membuat percakapan dan persebaran isu golput menjadi masif.

Hal Ini ditandai dengan percakapan yang mengalami kenaikan cukup tajam yakni di atas 500 dibandingkan hari lainnya yang rata-rata 50 percakapan.

"Pertama menjadi masif karena adanya pihak-pihak berpengaruh yang secara sengaja atau tidak, memulai perbincangan. Pihak berpengaruh ini, misalnya akun dengan jumlah pengikut ribuan atau jutaan," ungkapnya.

Kedua, lanjutnya, masifnya isu golput di media sosial terjadi karena momentum politik.

"Momentum politik, itu seperti saat debat calon presiden kemarin," urainya.

Laboratorium Big Data Analytics menemukan total 2.840 percakapan tentang golput di media sosial Twitter.

Dari total percakapan tersebut terdapat 9,5 persen yang memang mengampanyekan golput.

Dilihat dari daerah yang teridentifikasi dengan sengaja mengajak atau mengkampanyekan golput, berdasarkan data yang tertinggi, Jakarta dengan 20 percakapan, disusul Jawa Barat dengan 17 percakapan dan Jawa Tengah 12 percakapan.

Di sisi lain, juga terdapat akun yang dibuat khusus untuk kampanye golput atau mengajak untuk tidak berpartisipasi di dalam pemilu.

"Kami berharap, berbagai pihak, baik penyelenggara pemilu serta peserta pemilu menindaklanjuti data-data analisis tentang isu golput. Ini penting selain akan munculnya problem legitimasi, pemilu hanya akan dinikmati elit, jika publik memilih diam di rumah," ucapnya.

Sementara itu, Wakil Dekan Fisipol UGM Wawan Mas'udi menjelaskan, potensi golput terjadi karena sejumlah faktor seperti adanya ketidakpuasan terhadap incumbent maupun oposisi.

"Data yang disampaikan Mas Arya dan teman-teman, saya kira ketika analisis golput diletakan pada momentum-momentum tertentu, jelas di situ ada nuansa ketidakpuasan terhadapincumbent karena beberapa poin misalnya waktu debat, dan di saat bersamaan, di satu sisi oposisi tidak bisa memberikan harapan," ungkapnya.

Faktor berikutnya, tidak adanya pilihan alternatif. Kandidat yang ada tidak cukup mewakili kepentingan dari masyakat tertentu.

"Kandidat yang ada itu dianggap sama-sama memiliki kelemahan yang mendasar. Ketika hanya ada dua calon, sering kali memang situasi-situasi dilematis ini akan dihadapi para pemilih, akibatnya dua-duanya dianggap tidak bisa memenuhi aspirasi utamanya, yang muncul adalah kemungkinan protest voting," ujarnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/02/25/23555841/percakapan-golput-di-media-sosial-cenderung-jawa-sentris

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke