Salin Artikel

Cerita di Balik Destinasi Wisata Selat Lembeh dan Cagar Alam Tangkoko

Berkunjung ke Bitung tak lengkap jika tidak merasakan pesona bawah laut Selat Lembeh dan Cagar Alam Tangkoko.

Selat Lembeh merupakan rumah bagi spesies-spesies unik bawah laut dan jarang ditemukan di tempat lain.

Saking uniknya, para penyelam menyebutnya "The World's Muck Diving Heaven" atau surganya untuk menyelam di dasar laut.

Sebutan ini tentu tidak tanpa alasan. Karakter alami vulkanik yang menyelimuti bawah laut Selat Lembeh menawarkan biota-biota menakjubkan. Ini mencakup semua jenis ikan-ikan kecil, kuda laut, cumi, siput laut, krustasea, dan banyak jenis lainnya. Hingga saat ini, terdapat sekitar 95 titik selam di Selat Lembeh.

"Menurut para penyelam, kalau mau lihat keindahan bawah laut, adanya di Bunaken. Tapi kalau mau lihat keunikan, adanya di Selat Lembeh. Karena ada banyak critter yang unik, seperti critter sayapnya hanya satu, ada yang tidak miliki ekor," kata Wali Kota Bitung Maximiliaan Jonas Lomban saat diwawancarai di rumah dinas wali kota, Selasa (19/2/2019).

Sesuai pengakuan para penyelam dari Eropa yang sudah pengalaman dan menyelam di sini, kata Maximiliaan, mereka mengaku bahwa di Selat Lembeh biota-biotanya menakjubkan.

"Spesies unik dan aneh cuma satu-satunya di dunia, dan itu hanya ada di Selat Lembeh," sebutnya.

Selat ini memiliki panjang 12 kilometer yang memisahkan Pulau Sulawesi dengan Pulau Lembeh. Sekitar 1 hingga 2 kilometer di antaranya merupakan lanskap indah yang memadukan pengunungan, laut dan pulau.

Sejarah 100 tahun Tangkoko

Cagar Alam Tangkoko yang ada di Kota Bitung merupakan pembagian yang dikenal dengan Wallace Line (Garis Wallace). Nama itu diberikan Alfred Russel Wallace. Wallace merupakan tokoh lingkungan yang sangat ternama di dunia.

Pada tahun 1850-an, Wallace mengunjungi Malaysia dan Indonesia. Dia mendapatkan pembelajaran dari dua kunjungan itu dan kemudian membagikan pengalaman tersebut hingga akhirnya muncul istilah Wallace Line.

Menurut Wallace, Jawa, Sumatera dan Kalimantan itu masuk bagian dari Asia. Sedangkan Sulawesi, Papua dan Maluku, itu bagian dari Australia. Itu dibuktikan dengan banyak sekali flora dan fauna yang sama antara Australia dan Indonesia.

Menurut Maximiliaan, pada tahun 1861, Wallace sudah datang ke Bitung. Ia datang untuk melihat lebih dekat hutan Tangkoko.

"Dia datang ke Batuputih sekaligus dia masuk sampai Tomohon. Ia ingin membuktikan apa betul di sini ada Maleo. Ternyata saat datang, dia lihat tidak hanya Maleo. Ada Macacamigra, Tarsius spektrum ada. Semua itu memiliki kesamaan dengan Australia," ujarnya.

Tidak hanya itu, ada burung-burung yang tidak ada di mana pun selain Sulawesi dan Australia.

Maximiliaan mengatakan, kedatangan Wallace ke Indonesia untuk lebih menguatkan kebenaran teorinya Garis Wallace.

"Bayangkan saja kalau dia tidak menentukan konservasi, hutan Tangkoko sudah botak," katanya.

Perjuangan Wallace yang merupakan tokoh konservasi ini dilanjutkan oleh muridnya, Sijfert Hendrik Koorders. Pada masa Koorder dibentuk Undang-undang tentang Taman Nasional pada tanggal 21 tahun 1918.

"Koorders ini anak penjajah, dia lahir di Bandung dan dia punya keinginan melanjutkan cita-cita Wallace untuk penyelamatan hutan," papar Maximiliaan.

Puncak perayaan 100 tahun Tangkoko akan jatuh pada Kamis (21/2/2019). Berbagai kegiatan pun sudah dikemas. Bahkan, Pemerintah Kota (Pemkot) Bitung telah membangun patung Wallace.

"Dengan adanya ini, saya bermaksud bisa menarik wisatawan Inggris dan Eropa untuk ke mari," tandasnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/02/20/22245281/cerita-di-balik-destinasi-wisata-selat-lembeh-dan-cagar-alam-tangkoko

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke