Salin Artikel

"Murka"-nya Gunung Karangetang dan Kepercayaan Masyarakat soal Tabu yang Dilanggar

Gunung yang menjulang setinggi 1.820 meter di atas permukaan laut tersebut mengeluarkan guguran lava ke arah Kali Batuare lebih kurang 1.000-2.000 meter, dan suara gemuruh pada Minggu (06/01/2019).

Menurut Kepala BPBD Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) Bob Wuaten, peningkatan status tersebut sudah terjadi sejak bulan Desember 2018 lalu.

"Erupsi Gunung Karangetang disertai asap dan lava pijar terjadi setiap 30 menitan. Setiap 30-60 menit terjadi erupsi yang ditandai dengan gemuruh atau embusan dan asap serta lava pijar," kata dia.

Hingga Selasa (08/01/2019) malam, gunung itu terus terjadi erupsi, mengeluarkan gas dan abu vulkanik.

Bahkan, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sitaro, telah menetapkan status siaga darurat bencana Gunung Karangetang.

Peningkatan aktivitas Gunung Karangetang tersebut membuat petugas mengimbau masyarakat yang ada di sekitar gunung, serta pengunjung dan wisatawan tidak diperbolehkan beraktivitas pada radius 1,5 km.

Tabu yang dilanggar

Saat Gunung Karangetang mengamuk, sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar gunung percaya jika terjadi letusan pasti ada tabu yang dilanggar.

Penduduk di sana meyakini bahwa gungung tersebut selalu mengawasi mereka. Bila ada tabu yang dilanggar, ia akan menegur melalui letusannya.

“Percaya atau tidak, dari beberapa letusan yang pernah terjadi, bertepatan dengan adanya tindakan menyimpang yang terjadi di masyarakat,” ujar tokoh masyarakat Siau, Ruben Hinondaleng, kepada Kompas.com, Selasa. 

Tindakan menyimpang yang dimaksud Ruben adalah pelanggaran norma sosial, terutama perbuatan asusila yang dilakukan oleh mereka yang memiliki hubungan keluarga.


Masyarakat yakin erupsi akan berhenti bila pelaku pelanggaran tabu itu terungkap atau mengakui kesalahannya.

“Ini sudah menjadi keyakinan masyarakat sejak dulu, dan keyakinan tersebut merupakan pandangan dari orang-orang tua kami,” kata Ruben yang pernah bertugas sebagai Koordinator Pengamat Gunung Berapi (PGA).

Dalam rentang waktu 10 tahun, Gunung Karangetang telah beberapa kali erupsi.

Seperti pada 2010 lalu, satu keluarga yang bermukim di Kampung Kinali, Kecamatan Siau Barat Utara menjadi korban terjangan awan panas. Setahun kemudian, Gunung Karangetang kembali meletus hingga memaksa puluhan keluarga mengungsi.

Penuturan yang sama juga diungkapkan Kapitalau atau Kepala Desa Beong, Kecamatan Siau Tengah, Hervi Mandak.

“Kalau gunung secara terus-menerus beraktivitas, masyarakat percaya ada suatu kejadian yang belum terungkap kepermukaan. Mereka juga percaya kalau sudah terungkap, dipastikan aktivitas gunung akan berhenti, dan sekarang diyakini seperti itu,” kata dia.

Menurut Mandak, rata-rata masyarakat di kampungnya menyakini kepercayaan itu. Hal itu pula yang menyebabkan warga saling menjaga norma sosial yang berlaku.

Mereka juga saling mengawasi supaya pelanggaran norma sosial tidak terjadi. Karena bila tabu dilanggar bisa menyebabkan Gunung Karangetang murka.

Kepercayaan masyarakat yang berkaitan dengan keberadaan Gunung Karangetang telah berlangsung lama.

Dulu ketika Nusa Utara (Sangihe, Talaud, dan Sitaro) masih berupa pemerintahan kerajaan, masyarakat di sana sebagian besar adalah penganut kepercayaan agama adat.

Dalam pandangan agama adat yang dianut, masyarakat percaya bahwa ada Ilah yang mengatur keseimbangan alam.

Konon, pernah ada ritual agama adat di Kepulauan Siau yang dikenal dengan nama mebukirang yang berarti pergi ke bukit.

Mebukirang adalah ritual persembahan. Masyarakat mempersembahkan seorang anak perempuan.

Anak perempuan itu dibawa menuju suatu tempat berupa balai dengan ukuran besar di atas Gunung Karangetang.

Di sana terdapat tempat penyembahan yang oleh para petuah adat (ampuang) disebut pangkunang.

Jasad anak perempuan yang telah dikorbankan selanjutnya diletakkan pada suatu tempat di sekitar gunung yang dinamakan areng kambing. Peletakan jasad itu merupakan puncak ritual penyembahan.


Budayawan Jupiter Makasangkil mengatakan, masyarakat ketika itu melakukan ritual tersebut dengan tujuan mengusir bala.

Mebukirang juga dilakukan sebagai bukti ketaatan para penganut kepercayaan itu kepada Ilah yang dipercayai sebagai pengatur kebaikan dan keburukan.

Ritual agama adat itu masih saja ada. Namun, korban penyembahan bukan lagi anak perempuan, melainkan diganti dengan hewan ternak.

“Namun pada prosesnya, penyembahan menggunakan hewan itu juga dilarang pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Karena itu selanjutnya sesembahannya diganti dengan batang pisang,” kata Jupiter.

Kini yang tersisa dari kepercayaan itu adalah keyakinan bahwa pelanggaran yang dilakukan masyarakat bisa menggagu keseimbangan alam, dampaknya Gunung Karangetang bakal erupsi.

“Jadi ketika terjadi letusan gunung, maka masyarakat akan menganggap telah ada norma sosial yang dilanggar, seperti perbuatan asusila dari masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan,” ujar Jupiter.

Reaksi kemarahan alam, berupa bencana alam itu juga tidak selalu berwujud letusan gunung. Namun bisa berupa peristiwa bencana lain seperti puting beliung, banjir dan longsor.

Dulu, para pelaku pelanggaran norma sosial itu akan mendapat hukum adat yang keras melalui pengadilan tua-tua kampung. Bahkan di zaman kerajaan dulu, hukuman ditentukan melalui mahkamah kerajaan.

Hukuman paling berat adalah hukuman mati dengan cara ditenggelamkan ke laut. “Meskipun hukum adat itu seiring berjalannya waktu mengalami pergeseran. Para pelaku hanya di hukum dengan cara diusir ke luar dari Pulau Siau,” kata Jupiter.

Saat ini aturan itu yang masih berlaku. “Pernah seorang pelaku yang berbuat tindakan asusila setelah menjalani hukuman pidana ia tidak diperbolehkan untuk kembali ke kampungnya. Yang bersangkutan harus ke luar dari Pulau Siau, karena mereka meyakini ketika pelaku kembali ke kampung bisa saja akan terjadi bencana lagi,” tutur Jupiter.

Meskipun agama adat itu saat ini sudah tidak lagi ada, namun kepercayaan masyarakat terhadap keselarasan kehidupan sosial dengan alam, dalam hal ini Gunung Karangetang masih ada.

Letusan Gunung Karangetang juga dianggap berkah bagi masyarakat di sana. Material vulkanik yang dimuntahkan kawah Karangetang diyakini sebagai kasalitator penyubur tanaman pala. Siau masih tersohor dengan kualitas pala nomor satu di dunia.

https://regional.kompas.com/read/2019/01/09/07325581/murka-nya-gunung-karangetangdan-kepercayaan-masyarakat-soal-tabu-yang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke