Salin Artikel

Fakta Polemik Surat Ombudsman ke Rektor UGM, Dugaan Maladministrasi hingga Tolak Panggilan Paksa

KOMPAS.com - Pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) angkat bicara terkait surat panggilan Ombudsman kepada Rektor UGM Panut Mulyono.

Pemanggilan terkait penanganan kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa seorang mahasiswi saat KKN pada tahun 2017 itu, dianggap tidak tepat.

Sementara itu, pemberian sanksi terhadap HS, terduga pelaku, dianggap keputusan yang tergesa-gesa. Hal itu dinyatakan oleh kuasa hukum HS, Tommy Susanto.

Berikut ini fakta di balik kasus dugaan pelecehan seksual di UGM:

Ketidakhadiran Rektor UGM Panut Mulyono dalam pemeriksaan Ombudsman perwakilan DIY, menghambat penyelidikan dugaan maladministrasi dalam penanganan kasus pelecehan seksual di KKN UGM.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan DIY Budhi Masthuri mengatakan, investigasi terkait dugaan maladministrasi telah dilakukan secara maraton. Setidaknya, sudah ada enam pihak yang telah dimintai penjelasan.

"Setelah kita rekontruksi ulang urutan kejadiannya, ada temuan-temuan yang menarik, terkait dengan adanya dugaan penundaan berlarut penanganan dan adanya dugaan pemasukan nama HS dalam daftar wisuda tidak sesuai dengan prosedur yang disarankan tim investigasi. Sementara, kita fokus pada dua isu tersebut," ujar Budhi Masthuri, dalam jumpa pers, Rabu (2/1/2019).

Untuk memfinalisasi dua temuan tersebut, Ombudsman RI perwakilan DIY membutuhkan penjelasan atau keterangan konfirmasi dari Rektor UGM. Sebab, ada data yang sifatnya hanya rektor yang dapat menjelaskan.

Surat pertama permintaan kehadiran Rektor UGM telah dikirimkan Ombudsman RI perwakilan DIY pada 13 Desember 2018.

"Surat kami kirimkan meminta kehadiran yang pertama pada tanggal 19 Desember. Pihak rektorat menawar, meminta penundaan satu hari karena rektor ada acara Dies Natalis," kata Budhi Masturi.

Namun, setelah ditunda, pihak rektorat kembali menghubungi Ombudsman RI perwakilan DIY jika yang akan hadir adalah pembantu rektor dan bagian humas.

"Kami mengharapkan kehadiran rektor. Ini sifatnya konfirmasi dan hanya rektor yang dapat menjelaskan," katanya.

Pihaknya terus berusaha menjalin komunikasi dengan pihak UGM, namun hingga jelang libur Natal, tidak ada kejelasan kapan Rektor UGM bersedia untuk hadir memberikan penjelasan kepada Ombudsman.

Akhirnya, pada tanggal 31 Desember 2018, Tim Ombudsman mendatangi langsung kantor Rektor UGM.

"Kalau hari itu bisa, kita akan meminta penjelasan di UGM, tetapi rektor tidak berkenan menemui. Tim kembali (Ke kantor) dan menunggu kalau sore bersedia kami akan kembali ke UGM, tetapi sampai sore juga tidak ada kabar," ungkap dia.

Pihak UGM menanggapi keputusan Ombudsman Republik Indonesia perwakilan DIY yang melayangkan surat panggilan kepada rektor.

UGM menilai, sikap Ombudsman RI untuk menghadirkan paksa Rektor UGM jika tidak hadir hingga panggilan ketiga, tidaklah tepat. Sebab, pemeriksaan dugaan maladministrasi bukan berdasarkan laporan.

Keterangan tertulis dari Bagian Humas dan Protokol UGM menyebutkan, surat pemanggilan I dari Ombudsman tertanggal 2 Januari 2019 merujuk pada pasal 31 UU 37 tahun 2008.

"Ombudsman tidak dapat dapat menghadirkan Rektor UGM secara paksa dikarenakan pemeriksaan Ombudsman terhadap dugaan maladministrasi tidak berdasarkan laporan," ujar Kabag Humas dan Protokol UGM, Iva Ariani dalam keterangan tertulis, Jumat (04/01/2018).

UGM akan bersikap kooperatif untuk memberikan penjelasan terkait dengan dugaan kasus maladministrasi. Sikap itu ditunjukkan dengan selalu berkomunikasi dengan Ombudsman RI.

Permintaan kehadiran Rektor UGM pada tanggal 19 Desember 2018 tidak dapat dipenuhi karena bersamaan dengan Dies Natalis UGM yang mengundang tamu-tamu VIP.

"Pada hari yang sama terdapat agenda penting lainya yang melibatkan tamu VIP dan mitra luar negeri untuk membicarakan pengembangan pendidikan demi masa depan bangsa. Sehingga pertemuan dijadwalkan ulang pada 2 Januari 2019," kata Iva.

Pada tanggal 31 Desember 2018 staf Ombudsman RI datang ke UGM untuk menemui Rektor tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Rektor UGM tidak dapat ditemui karena sedang menerima penyerahan dan diskusi hasil Komite Etik. Tanggal tersebut memang bertepatan dengan berakhirnya masa kerja Komite Etik.

Kuasa hukum terlapor HS, Tommy Susanto, menilai Universitas Gadjah Mada ( UGM) terlalu prematur dalam memberikan sanksi berupa penundaan wisuda.

"Kami juga ingin menyampaikan satu hal yang memberatkan kami, bahwa penyidikan belum selesai tetapi vonis dalam hal ini hukuman moral dan akademisi yang dilakukan oleh UGM itu luar biasa," kata Tommy Susanto saat jumpa pers di Angkringan Radar, Depok, Sleman, Sabtu (29/12/2018).

Saat itu Tommy menyampaikan, terlapor seharusnya sudah selesai akademisnya. Bahkan terlapor juga sudah membayar biaya wisudanya.

"Kami prihatin kenapa pihak UGM terlalu prematur melakukan tindakan. Polisi juga belum menyampaikan apakah ini terbukti P21 atau tidak, kenapa sudah melakukan justifikasi sendiri," tegasnya.

Sumber: KOMPAS.com (Wijaya Kusuma)

https://regional.kompas.com/read/2019/01/05/15501241/fakta-polemik-surat-ombudsman-ke-rektor-ugm-dugaan-maladministrasi-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke