Salin Artikel

Lewat Bakpia, Penyandang Difabel Kulon Progo Merajut Asa

Tangan terampil laki-laki dan perempuan di sana "mengeroyok" gundukan adonan terigu dan adonan kacang hijau tumbuk untuk menghasilkan bulir-bulir bakpia siap dimasak.

Mereka melingkari meja-meja besar sambil melakukan tugas yang sama, yakni membungkus sejumput kacang hijau dalam lipatan adonan terigu, lantas dioven.

Setelah masak, jadilah bakpia pathok istimewa yang memiliki tekstur kulit renyah dengan isi kacang hijau yang lembut.

Bakpia pathok, sebagaimana dikenal, nyamikan sekaligus oleh-oleh khas Daerah Istimewa Yogyakarta.

Para laki-laki dan perempuan itu semuanya paruh baya bahkan ada yang sudah memasuki uzur. Mereka masih cukup cekatan.

Mereka ini 26 warga penyandang disabilitas maupun keluarganya yang semuanya berasal dari Desa Wahyuharjo, Kecamatan Lendah Kulon Progo, DIY. Mereka tergabung dalam Kelompok Difabel Desa (KDD) Wahyuharjo.

Mereka sedang belajar sehari membuat bakpia di rumah produksi Rahmat Bakpia Dusun Terbah, Desa Pengasih, Kecamatan Pengasih.

"Kami ingin bisa mengembangkan industri rumahan membuat bakpia untuk menopang kehidupan dan pendapatan keluarga," kata Nuryanta, Ketua Difabel Desa (KDD) Wahyuharjo, Selasa (11/12/2018).

Memiliki industri bakpia bagi sekelompok warga difabel bukan sekadar mimpi.

Desa Wahyuharjo memiliki penduduk mayoritas petani, buruh, dan banyak juga warganya pengumpul barang bekas.

Terdapat 26 penyandang difabel di sana, terdiri tuna netra sebanyak 4 orang, orang dengan gangguan jiwa sampai 7 orang, dan selebihnya tuna daksa maupun low vision atau gangguan penglihatan. Rata-rata mereka terpaksa menjadi buruh untuk memenuhi kehidupannya.

Nuryanta mengungkapkan, mereka memiliki semangat untuk terus mengubah nasib sendiri.

Kebetulan, Pemerintah Desa Wahyuharjo membuka jalan untuk mereka. Warga difabel desa mendapat tempat cukup baik dan terbuka peluang untuk mengembangkan diri.

Peran Pemdes membuat KDD sudah memiliki beberapa usaha, di antaranya peternakan domba. Pemdes memfasilitasi lewat Dana Desa. Lantas melalui Dinas Sosial Kulon Progo, mereka menjadi bagian untuk melayani bantuan pangan non tunai.

"Domba sudah puluhan ekor sekarang," kata Nuryanta.

ali ini, kembali lewat dana desa senilai belasan juta rupiah, KDD memiliki kesempatan bisa memanfaatkan uang itu untuk membangun usaha bersama bagi warga difabel dan keluarganya.

"Semua dana nanti dipakai untuk membeli alat sampai belajar ke rumah produksi bakpia seperti hari ini," kata Nuryanta.

Dipilihnya produksi bakpia karena produk ini memiliki pasar luas dan produksinya berpeluang terus berkelanjutan. KDD pun melihat prospek baik untuk perubahan ekonomi kehidupan mereka.

"Mengingat juga adanya bandara nanti, maka kami bisa menjual makanan khas bakpia ini," katanya.



Semua diawali dengan mengirim para penyandang cacat atau perwakilan keluarganya ke Rahmat Bakpia.

Mereka belajar seluruh tahap mulai dari persiapan, produksi, hingga pengepakan.

Bahkan mereka mencatat maupun merekam detil perbandingan bahan dengan bahan, rahasia membuat kulit renyah bakpia, hingga resep membuat isi kacang hijau super lembut.

Satu di antaranya bernama Sumirah, 63 tahun, asal Wahyuharjo. Ia berharap keterampilan ini memperbaiki kehidupan ekonomi keluarganya di masa mendatang.

"Apapun akan saya kerjakan," kata Sumirah.

Sumirah mengakui penghasilannya pas-pasan, padahal ia tulang punggung keluarga. Ia menjual nasi bungkus bikinan sendiri, sayur, kerupuk, hingga keripik ketela maupun keripik pisang. Ia titipkan panganan itu ke warung hingga pasar setiap hari.

"Asal gigih saja dapat Rp 100.000 sehari," kata Sumirah.

Hasilnya untuk menghidupi dua anaknya yang penyandang disabilitas dan seorang cucu berumur 8 tahun.

"(Dua anak) sekarang juga (sambil) jadi buruh tukang kayu dan batu, bikin tembok dan kusen," katanya.

Ia menyadari kalau membuat bakpia skala besar tidak mungkin seorang diri. Melalui komunitas KDD, mereka akan memiliki usaha bersama, seperti halnya ternak domba.

Dengan demikian, semakin membangkitkan harapan maju bersama di antara mereka.

"Kami ini inginnya kumpul bersama, masak bersama, kalau di rumah saja tidak ada yang bisa bikin ini itu. Saya perlu ke mana-mana untuk membuat sesuatu," katanya.

Kekurangan fisik bukan halangan. Supangandi, 42, buruh pabrik batako yang juga penyandang tuna daksa pada tangan kanannya.

"Memang kendalanya yang angkat berat. Tapi, kerja seperti ini kerjanya ada yang bisa dengan tangan satu," kata Supangandi.

Nuryanta menceritakan, kini kelompoknya sedang dalam puncak semangat. Bahkan mereka sudah merancang nama "Putra Dewa 5758" bagi bakpia pathok bikinan mereka nanti.

Arti nama itu: Anak-anak dari Desa Wahyuharjo yang Maju Mapan.



"Kami disabilitas juga tidak ingin dipandang sebelah mata, karenanya kami berniat ikut mengentaskan kemiskinan juga. Banyak di antara kami tidak mungkin melakukan yang berat-berat, karena itu kami siap merekrut mereka keluarga yang tidak mampu untuk terlibat," kata penyandang tuna daksa ini.

Oleh-oleh khas Kulon Progo

Rahmat Bakpia merupakan salah satu ikon kuliner Kulon Progo. Harganya yang tidak menguras kantong membuat produk ini laris manis.

Satu kotak bakpia pathok isi 20 butir dibanderol Rp 19.000. Sedangkan yang 15 butir seharga Rp 15.000.

Pemiliknya bernama Rahmat Sugiyanto, 46. Ia mendirikan rumah produksi bakpia sejak tahun 2014. Awalnya, semua dikerjakan sendiri bersama istri dan anak. Usahanya kemudian berkembang. Kini mereka memiliki 50 tenaga kerja asal dusun setempat.

Produksi bakpia milik Rahmat kini sudah sampai 2 kuintal dalam 1 hari atau sekitar 700 kotak terbeli. Permintaan meningkat tentu pada hari raya, sampai 4.000-5000 kotak.

"Biasanya pekerja hanya 50 orang. Tapi pada hari raya bisa 150 orang. Biasanya kami meminta bantuan rekanan," katanya.

Rahmat mengaku kehadiran difabel datang berlatih itu mengingatkan pada masa silam perjuangannya. Selama 12 tahun, Rahmat keliling Kulon Progo menjajakan merek Bakpia Pathok 25 dan 75 asal Yogyakarta. Bakpia memang laris manis. Ia kerap kehabisan.

"Kami berpikir kenapa kita bisa memasarkan tapi tidak bisa bikin sendiri. Kebetulan banyak warga pengangguran di desa, kami juga ingin bisa memberi manfaat bagi warga sekitar," katanya.

Ia mulai membuka produksi bakpia 2014. Juragannya terbilang baik. Ia pernah menawarkan modal bila Rahmat ingin berdikari.

Rahmat bikin merek Bakpia Pathok 025 dan Bakpia Pathok 075. Dan benar, pasar bakpia memang tidak pernah jenuh.

Karenanya, pintu usahanya juga terbuka untuk kelompok difabel yang serius belajar maupun ingin membuka usaha serupa.

"Karena semua punya rezeki sendiri-sendiri," katanya.

https://regional.kompas.com/read/2018/12/12/13284141/lewat-bakpia-penyandang-difabel-kulon-progo-merajut-asa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke