Salin Artikel

Satpol PP Lhokseumawe Kewalahan Atasi Serbuan Gelandangan dan Pengemis

LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com – Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Lhokseumawe mengaku geram dengan tingkah para gelandangan dan pengemis (gepeng) di kota itu.

Pasalnya, saat ditangkap, diberi nasehat, diberi makanan dan minuman, dan berjanji tak beroperasi lagi di Lhokseumawe, mereka selalu ingkar janji.

Bahkan, seringkali setelah ditangkap mereka kembali meminta sedekah pada warga di sejumlah lokasi dan pusat keramaian kota itu.

“Kalau dari Lhokseumawe ada juga, tapi kecil sekali jumlahnya. Misalnya kami tangkap 20 orang lebih, nanti kami temukan satu atau dua itu warga Lhokseumawe,” kata Kepala Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH), Kota Lhokseumawe, Irsyadi, Minggu (9/12/2018).

DIa menyebutkan, jumlah gelandangan dan pengemis di kota itu puluhan orang. Mayoritas berasal dari Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bireuen.

Dia mengaku sudah berkirim surat ke Dinas Sosial Aceh Utara untuk membina gelandangan dan pengemis asal kabupaten itu. Letak Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe memang berbatasan.

Lalu, apa jawaban Dinas Sosial?  Irsyadi enggan menjawab.

“Pokoknya kami sudah sampaikan ke mereka. Ini data-data pengemis dari kabupaten mereka, nanti terserah mereka bagaimana penanganannya,” terangnya.

Kalau di Kota Lhokseumawe, sambug Irsyadi, tahun depan diperkirakan rumah singgah untuk pengemis akan rampung dibangun. Di sana, gelandangan dan pengemis asal Lhokseumawe akan diberi keterampilan.

“Kalau dari kabupaten lain, ya kami kembalikan ke mereka,” katanya.

Dia mengaku, gelandangan dan pengemis ini kerap ingkar janji.

Misalnya, berjanji tak mengemis lagi, ketika dipulangkan oleh polisi pamong praja, sore hari mereka sudah mangkal di sejumlah fasilitas umum dan pusat keramaian.

“Kami terus komunikasikan dengan pemerintah dari kabupaten tetangga, agar persoalan pengemis ini tuntas. Mereka dibekali keterampilan agar tak mengemis lagi,” pungkasnya.

Sementara itu, salah seorang pengemis, Zainabon, mengaku heran dengan sikap Satpol PP dan WH Lhokseumawe.

“Lucu orang satpol (satuan polisi pamong praja) itu. Masak kami ditangkap, dilarang meminta sumbangan. Padahal itu kan sumbangan orang baik buat kami,” katanya.

Dia mengaku, sudah beberapa kali ditangkap oleh Satpol PP dan WH Kota Lhokseumawe. Ditangkap pagi hari, sorenya dilepas.

“Saya menganggap mereka itu menahan orang untuk berbuat baik. Orang mau sedekah kok dilarang-larang,” kilahnya.

Zainabon salah satu pengemis legendaris di kota itu. Dia kerap mangkal di Pos Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Kuta Blang, Kota Lhokseumawe. Sekali waktu, dia juga berkeliling dari warung kopi ke warung kopi.

“Saya orang Lhokseumawe, jadi masak ditangkap oleh aparat negara Lhokseumawe juga,” katanya.

Lalu berapa rupiah dalam sehari masuk ke dompet Zainabon?

“Tidak banyak, kadang Rp 50.000, kadang Rp 100.000,” sebutnya. Namun, Zainabon mengaku seringkali mendapat uang pecahan Rp 50.000 jika menyisir warung kopi ke warung kopi.

“Saya tak bisa bekerja, kaki saya sakit, bengkak dan enggak sembuh-sembuh,” terangnya. Saat ditanya sakit apa, Zainabon enggan menjawab. Bahkan, langsung pergi meninggalkan warung itu.

Kalangan pengemis ini bukan sebatas kaum dewasa. Anak-anak pun terdapat di antara mereka. Usianya belum genap sepuluh tahun. Dia mengaku bernama Muhammad Aziz (7).

“Saya tinggal di Ujong Blang, Kota Lhokseumawe,” akunya.

Aziz bersama dua teman seusianya.

“Bang minta uang buat beli nasi,” suaranya memelas.

Dia tak mau berbicara banyak tentang asal usul dan mengapa harus mengemis. Dia mengaku ibunya janda, dan ayahnya meninggal dunia. Namun saat ditanya nama orang tuanya, Aziz berlalu. Pergi meninggalkan warung itu.

https://regional.kompas.com/read/2018/12/10/10594991/satpol-pp-lhokseumawe-kewalahan-atasi-serbuan-gelandangan-dan-pengemis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke