Salin Artikel

Kisah Rutan Kelas II B Takengon Cegah Kerusuhan yang Berulang Kali Terjadi

Informasi yang diperoleh saat itu, sejumlah alasan menjadi pemantik kericuhan.

Kala itu, Sugiyanto, belum lama menjabat sebagai Kepala Rutan Kelas II B Takengon. Ia mulai menjabat Kepala Rutan pada 13 Januari 2018. 

Kepada narapidana, ia menyampaikan kebijakan terkait hak-hak warga binaan yang sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).

Saat ditemui Kompas.com, Sabtu (1/12/2018), Sugiyanto mengatakan, kericuhan yang mengarah ke kerusuhan itu sudah dua kali terjadi.

Awalnya, pada 27 April 2018, ketika ia sedang berada di Meulaboh untuk menghadiri undangan Hari Ulang Tahun Pemasyarakatan. Sugiyanto mendapatkan informasi para napi protes kepada petugas rutan.

Mereka menggedor pintu kamar tahanan dan pagar pembatas yang ada disekitar Rutan Kelas II Takengon.

"Indikasinya, mereka mencari alasan untuk bisa berkeliaran seperti sebelumnya. Meski demikian, saat itu juga kami mengatasi persoalan air bersih dengan cepat, yaitu mendatangkan air bersih dari PDAM dan pemadam kebakaran, supaya tidak menjadi alasan mereka. Tentu kami juga bekerja sama dengan personel kepolisian dan TNI," ujar Sugiyanto.

Puncaknya, pada 25 Juli 2018, ratusan warga binaan melakukan protes terkait Tari Poco-Poco yang rencananya dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia, termasuk di Rutan Kelas II B Takengon.

"Pada saat itu, dilaporkan ada sejumlah napi yang tidak terima dengan latihan senam poco-poco yang rencananya digelar untuk pemecahan rekor dunia pada 5 Agustus. Mereka diduga memprovokasi tahanan yang lain," kata Sugiyanto.

Provokasi itu karena ada warga binaan yang tidak terima karena latihan senam dilakukan tidak secara terpisah antara perempuan dan laki-laki.

"Pada saat itu, para napi meminta agar Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR) dicopot sekaligus dengan jabatan saya sebagai kepala rutan," kata Sugiyanto.

Saat protes itu terjadi, ia sedang berada di Jakarta untuk memenuhi undangan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Ia bercerita, saat kejadian tersebut di Rutan Kelas II Takengon sedang kedatangan tamu dari Kanwil Kemenkumham Aceh.

Setelah mendengar informasi terjadinya kericuhan yang ditimbulkan oleh warga binaan dengan mengetuk-ngetuk pintu kamar tahanan dan pagar pembatas, Sugianto mengaku langsung menghubungi Kapolres Aceh Tengah dan Dandim 0106 Aceh Tengah untuk meminta bantuan keamanan.

"Alhamdulillah mereka langsung merespons dengan cepat, sehingga terjadi pembicaraan dengan para warga binaan. Suasana akhirnya dapat terkendali, karena kalau tidak ada kerja sama, bisa saja terjadi kerusuhan," jelas Sugiyanto.

Aksi protes warga binaan kala itu sempat mengundang perhatian warga sekitar dan ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam Rutan.

Warga mengetahui peristiwa di dalam rutan karena ada pembakaran tong sampah yang menyebabkan asap sehingga terlihat asap yang mengepul.

Menurut informasi, dugaan provokasi dilakukan oleh sejumlah napi yang sebelumnya biasa mudah untuk mendapatkan izin keluar, kini hal itu tidak lagi terjadi.

"Saya tidak mengerti apa maunya mereka saat itu, saya dengar ya karena persoalan izin keluar Rutan yang sulit mereka peroleh," kat Sugiyanto.

Sebelum kejadian, ia mengaku sudah memperbanyak pendekatan keagamaan terhadap para warga binaan. Hal itu dilakukan untuk membekali kerohanian para napi dengan hal yang positif.

Selain itu, sejak awal menjabat, Sugiyanto langsung melarang warga binaan keluar-masuk Rutan tanpa prosedur yang sesuai.

"Mungkin selama ini, warga binaan mudah memperoleh Izin untuk keluar. Setelah saya menjabat, saya mulai memperketat, karena aturan untuk keluar masuk Rutan sesuai dengan perundang-undangan," kata Sugiyanto.

Aturan yang dimaksud adalah aturan yang memperbolehkan para napi untuk keluar dari rumah tahanan tersebut. Alasan itu di antaranya, jika seorang warga binaan menjadi wali nikah dan mengunjungi keluarga apabila terjadi musibah.

"Misalnya seorang anggota keluarganya sakit keras atau meninggal dunia, kami izinkan dengan prosedur yang berlaku," ujar dia.

Warga binaan juga akan diberikan izin untuk keluar Rutan jika ada panggilan untuk pembagian harta warisan.

"Misalnya saja dia seorang anak yang mendapatkan harta warisan, atau sebagai orangtua yang akan membagikan warisan," lanjut Sugiyanto.

Izin yang diberikan juga disertai surat pengantar dari pihak yang berwenang, seperti perangkat desa tempat warga binaan berdomisili.

Dari pengalaman selama ini, Sugiyanto mengakui peluang terjadinya kerusuhan di Rutan cukup besar jika ada alasan yang menjadi pemicunya.

"Mulai dari provokasi dari sejumlah warga binaan seperti selisih paham dengan rekan sesama tahanan. Bisa jadi persoalan makanan yang tidak manusiawi atau bahkan kurang enak, atau bahkan nasinya belum matang benar," kata mantan Kepala Rutan Kelas II B Siak, Sri Indrapura, Riau ini.

Untuk mengantisipasi peristiwa yang sama, Sugiyanto mengatakan, yang harus diutamakan adalah koordinasi dengan aparat kepolisian dan TNI. Selain itu, menjalin hubungan yang baik antara petugas rutan dengan warga binaan.

"Warga binaan bagi kami adalah sebagai didik, bukan musuh yang harus dijauhi. Semua kejadian yang pernah ada mungkin karena kurangnya pendekatan. Yang pasti kami harus lebih manusiawi menghargai keberadaan mereka, mendidik mereka dengan baik sebelum nantinya kembali ke tengah-tengah masyarakat," kata Sugiyanto.

Saat ini, jumlah tahanan di Rutan Kelas IIB Takengon sebanyak 452 orang. Sementara, saat kericuhan sebelumnya, jumlah warga binaan mencapai 545 orang. Sementara, petugas Rutan tercatat 47 orang.

https://regional.kompas.com/read/2018/12/01/16000631/kisah-rutan-kelas-ii-b-takengon-cegah-kerusuhan-yang-berulang-kali-terjadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke